Pria tua itu berbadan tinggi dan tegap. Rambut lurus, tipis beruban bersinar diterpa sinar matahari. Ciri khas yang membedakan dengan pria tua yang lainnya adalah kumisnya yang tebal. Selintas menambah kesan wibawa di wajahnya. Atau mungkin kesan menyeramkan lebih tepatnya. Duduk meyilangkan kaki sambil mengelus pelan dagunya.

Ketika para pria tua yang lainnya saling berpendapat kuat dalam obrolan itu, pria berkumis hanya mendengar dan menganggukan kepala, namun matanya menatap jauh menerawang. Entah dia berada dalam obrolan itu ataukah hanya raganya yang hadir disana, sementara fikirannya berada bersama imajinasinya di tempat yang lain. Hanya dia yang tahu.

Pria berkumis itu adalah guruku, guru sejarahku. Tatapan dan anggukannya sangat kukenal. Saat dia mencerikan kebudayaan India, dia bercerita seolah dia berada di tepi Sungai Gangga. Saat dia menceritakan sejarah Mesir, dia seolah berada di tepi Sungai Nil. Dia bercerita dengan jiwa dan seolah membawa kami semua ke tempat yang diceritakannya.

Pria berkumis dengan sejarahnya. Dia hanya akan menjadi pendengar saat dia dalam obrolan tanpa makna, tapi dia menjadi penutur saat dia bersama cerita sejarahnya. Sejarah adalah pekerjaannya dan dunianya. Tak ada tatapan kosong saat dia menuturkannya di kelas. Sangat berbeda dengan bahasa tubuh yang dia tampakkan dalam obrolan tersebut.

Sepuluh menit kemudian, dia berdiri… berpamitan kepada pria tua yang lainnya. Hanya sepuluh menit dalam obrolan itu, tidak lebih. Tidak selama dia berada di kelas, saat berbagi cerita sejarahnya kepada kami.