Ketika Tuan Sharkan mengantarku ke kamar, beliau menceritakan pengalamannya bekerja di istana terapung ini. Karena kebaikan paman dan Nyonya Dilvica. Sebuah nama yang tak asing bagiku. Di dinding kafe, ada Dilvica, sang Violinis. Ketika paman ngobrol bersama abi dalam perjalanan ke rumah, aku mendengar paman menyebut nama Dilvica. Apakah beliau pemilik kapal ini? Sehingga namanya disebut‐ sebut oleh orang di sekelilingku? “Oh ya, bakda Isya, saya akan menjemputmu menemui keluarga Tuan Akhyar bersama Tuan Eko. Pukul 24.00 (waktu Dubai) kita harus berlabuh ke Turki. Sudah tujuh hari kapal ini bersandar di pelabuhan di Dubai. Dan, kamu wajib panggil saya dengan Sharkan saja. Jangan sebut tuan, saya malu. Posisi kita sama, sebagai sous chef. Dan gunakan bahasa Indonesia. Saya lebih suka dengan bahasa itu. Sebab, bahasa Inggris dan India saya sudah mahir, apalagi kamu. Sembari mengajari dan memfasihkan saya menggunakan bahasa Indonesia, hihihi.” “Baiklah, Sharkan. Kamu sahabatku saat ini. Mengenalmu beberapa jam saja, keakraban kita seperti terjalin beberapa tahun,” ujarku seketika ingat Jefri. Si perut gendut yang suka makan dan bercanda. Kamu sedang apa, Jefriiiiii?   Menunggu azan Magrib, Aku tertidur sejenak, namun pikiranku dihantui gadis yang bermain biola di ujung tadi. I’m Curious. Sayang, wajahnya tidak tampak olehku. Apakah dia seorang wisatawan di kapal ini? Atau dia pemilik istana terapung ini? Atau dan atau? Ah. Kok aku mikirin orang yang tak penting bagiku. Baiknya aku menelepon ke rumah. Pasti mereka menanti kabar dariku.

Bersambung....