Nike Ringgawany

Penyuka rindu, alat musik, especially piano, biola, gitar akustik dan saxophone. Nggak pernah kenyang untuk soal nulis dan baca. Hobi nonton film horor dan dram...

Selengkapnya
Navigasi Web
Terjawab Sudah!

Terjawab Sudah!

Aku memandang ke arah jam dinding kamarku. Sudah pukul 02.00 WIB dini hari. Mataku masih terjaga, setelah beberapa menit yang lalu aku terbangun dari mimpi buruk yang tiba-tiba menghiasi tidur lelapku. Entah mengapa ia selalu datang dalam mimpiku. Memenuhi perjalanan cerita di alam bawah sadarku. Sudah beberapa hari ini, aku bermimpi hal yang sama. Dengan tema yang sama. Ya. Seseorang yang sangat dekat dalam hari-hariku. Bahkan hampir 12 jam bersamaku. Baik dalam kehidupan nyata, maupun pada aplikasi chat yang banyak digunakan orang-orang. Dalam mimpi itu, aku bersama dengannya, bersama teman-temanku yang lain tentunya. Kami tertawa bahkan dihiasi canda. Tiba-tiba aku didatangi segerombolan orang, aku ditanya hal yang tidak aku mengerti sama sekali. Aku bertanya pada teman-temanku yang lain, mereka menjawab tidak tahu. Aku butuh bantuannya. Mataku terus mencari sosok itu. Namun aku tidak kunjung menemukannya. Ia hilang. Ia pergi. Lama aku mencari. Lalu aku menemukannya. Aku bersemangat. Aku memanggilnya. Aku berteriak menyebut namanya. Namun, ia terus berjalan. Apa ia tidak mendengarku? Apa ia tidak ingin menungguku? Apa ia meninggalkan aku? Aku mengejarnya. Ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Nafasku mulai terngengah-engah. Aku menghentikan langkahku. Aku melihatnya. Ia terus menjauh. Hingga tubuhnya lenyap di balik bangunan itu. Aku bersimpuh dalam rintik-rintik dan sedu sedan. Dan aku terbangun dengan suara parau bersama tubuh yang sangat lelah. Ah.. mimpi buruk apa ini? Apakah ini suatu pertanda? Aku terdiam. Aku merenung dalam kesunyian malam dan dengan segudang pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Pagi hari. Aku memantik diriku dengan semangat sebab sebentar lagi akan bertemu dengannya. Aku sudah siap memenuhi kewajibanku. Satu hal, ia menjadi salah satu alasan mengapa aku lebih siap menghadapi hari. Senyum itu. Ya. Senyum itu. Senyum itu yang ingin kulihat setiap hari. Di awal pagi hingga senja nanti. Walau tak jarang, senyum itu hilang, senyum itu tak ada. Aku tak apa. Sebab juga ada mata teduh yang selalu kutunggu kerlingannya. Kuakui. Aku terlalu jujur. Aku sangat terbuka. Sedang ia, sebaliknya. Menurutnya, tidak penting diungkapkan. Mengalir saja. Hingga kini, aku masih bertanya-tanya siapakah sebenarnya aku baginya? Apakah ia menganggap yang sama? Selalu, bahkan dari dulu, sejak kedekatan itu tercipta, sejak kenyamanan itu ada, aku selalu bertanya-tanya sebab ia tak pernah mengungkapkannya. Ia suka bercanda. Kadang inilah yang membuatku menjadi tak yakin. Aku takut, aku saja, sedang ia tidak. Namun, ada satu hal yang baru kulihat dengan mata, baru kusadari dengan jiwa. Ada suatu peristiwa, di mana ban sepeda motorku tidak mau bekerja sama.

Sebelumnya. Hari itu, hari telah senja. Sepulang dari membeli buku, kami singgah ke suatu tempat, walau lebih dulu ada urusannya yang harus diselesaikan. Di sana kami bercerita, apapun. Apapun kami bahas. Masalah kehidupan untuk kami petik pelajarannya. Es kelapa muda dengan gula aren membasahi tenggorokan kami. Pisang goreng panas yang masih mengepul asapnya, kentang goreng kesukaannya, udang goreng mentega dan belut cabe hijau yang lezat menurutnya menemani cerita kami. Pada suatu ketika entah apa dari ceritaku yang membuatnya tak bisa menahan tawa. Ia tertawa terpingkal-terpingkal. Aku juga. Ya. Pada senja itu aku melihatnya tertawa sangat lepas. Dan aku bahagia bisa melihat tawa lepasnya itu. Banyak hal. Sangat banyak yang tidak sempat aku utarakan. Sebab aku masih menganggap aku tak pantas berada di didekatnya. Walau aku masih saja selalu berusaha menyesuaikan sikapku. Senja semakin meronakan warna jingganya, kami memutuskan untuk kembali. Namun, di tengah perjalanan, ban sepeda motorku bocor. Entah karena jalan yang tak bersahabat dengan kami atau memang ban ku layak untuk diganti. Aku menghentikan laju sepeda motorku. Ia turun dan membungkukkan sedikit tubuhnya sembari memastikan memang ban sepeda motorku bocor. Alhamdulillah, tak jauh dari tempat kami berhenti ada bengkel untuk memperbaiki ban sepeda motorku. Aku memutuskan untuk mendorong sepeda motorku ke tempat tersebut. Tak lama, selesailah perkara ban bocor itu. Kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak menyadari ban sepeda motorku bocor lagi. Namun, aku bersyukur, ia telah kuantar lebih dulu ke rumah orang tuanya. Aku merasa hariku terlalu sial hari ini. Aku memutuskan untuk menempel ban sepeda motorku lagi. Walaupun warna jingga mulai berubah menjadi abu-abu. Walaupun aku tahu, kali ini, aku harus menghadapi ini sendiri. Sebab tak mungkin untuk mengajaknya kembali untuk menemani, sebab ada hal yang tak mungkin aku pinta untuk disetujui. Tanpa basa-basi, aku langsung menghidupkan sepeda motorku, dengan sedikit melirik ke arahnya. Aku melihat gerak-geriknya, ia memasang resleting jaketnya. Ada sedikit pembicaraan di depan pintu dengan orang terdekatnya. Kondisi saat itu agak alot. Jadi aku memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu, tanpa menunggunya. Tanpa menunggu tatapan terakhir dari mata yang biasa kulihat saat aku akan pergi meninggalkannya. Aku melajukan motorku dengan perlahan sembari menahan perih di dada. Ah... Mengapa begini? Sudahlah. Aku menampik rasa yang tak biasa ini dengan segera. Tiba-tiba aku seperti mendengar sesuatu. Suara sepeda motor itu. Suara sepeda motor itu terdengar dari arah belakangku. Ya. Ia. Ternyata ia. Ia ada di belakangku. Menemaniku. Menemaniku hingga tiba di tempat penempelan ban. Ia berdiri di sebelah sana. Sedang aku memilih duduk di sebuah kursi kayu panjang. Sementara kendaraan terus berlalu lalang seolah-olah mereka menertawaiku nasib sepeda motorku hari ini. Di ujung sana. Ia terus memperhatikan seseorang yang tengah memperbaiki ban yang bocor itu. Sementara aku, di balik maskerku, dari kursi kayu, aku mencuri pandang ke arahnya. Aku masih terus memperhatikannya. Sambil bergumam, terbuat dari apa hati orang ini? Mengapa ada orang sebaik ini? Apakah ia bersikap seperti ini ke semua orang? Ataukah hanya pada diriku saja? Aku masih saja diselimuti rasa penasaran. Padahal, saat itu sang surya mulai tenggelam, namun ia memilih untuk menemaniku. Meninggalkan apa-apa yang seharusnya ia hadapi. Sejak hari itu, sejak peristiwa itu. Aku baru menyadari. Aku telah menemukan jawaban dari segala pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Meskipun nanti ia tidak mengakui. Meskipun nanti tanpa pasti. Biarlah bahagia itu kunikmati. Izinkan aku menghibur hati. Medan, 23 Januari 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post