nikmatul khoiroh

Guru TIK yang diberi amanah tugas tambahan Kepala Sekolah di SMPN 3 Puger, Kab. Jember. Bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Guru biasa yang masih dan akan teru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dengan Basmallah Aku Mencintaimu, dengan Hamdalah Aku Menjaganya (Part 2)
Foto hanya pemanis

Dengan Basmallah Aku Mencintaimu, dengan Hamdalah Aku Menjaganya (Part 2)

Dengan Basmallah Aku Mencintaimu, dengan Hamdalah Aku Menjaganya

(Part 2) Biarkan Aku Menjadi Hujan

Satria, semakin aku ingin membuang rasa ini, semakin aku rindu. Cukup melihat senyummu dari jauh, aku sudah merasa bahagia. Seolah Mas Diaz kembali di dunia ini. Entah apa yang aku rasakan, apakah rasa rindu ini untukmu atau untuk Mas Diaz? Entahlah, aku tak bisa membedakannya, yang jelas ada desir bahagia di hatiku. Ada getaran yang begitu kuat ketika duduk bersamamu. Seperti malam itu, pada sebuah kereta dalam perjalanan pulang menuju kampungku. Tanpa sengaja, kita dalam kereta yang sama. Aku bisa duduk begitu dekat dengannya sambil menikmati bakso hangat dan segelas kopi.

AC kereta ini sangat dingin, jaketku terasa tak mampu menghangatkan tubuhku, Tapi berada disamping Satria, aku merasa hangat, bahkan jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. Kebetulan kami duduk satu meja di gerbong restorasi, itu pun tanpa sengaja kami bertemu.

“Duh gak nyangka Ra, kamu naik kereta ini juga. Turun stasiun mana?” Tanya Satria

“Turun Jember,” jawabku sedikit gugup.

“Lho, sama dong.”

“Kok turun Jember?”

“Emang gak boleh aku mengikutimu?” guyonan Satria membuat wajahku merona, aku jadi salah tingkah dibuatnya. Selama ini aku memang tidak tahu siapa Satria, dari mana asalnya dan anehnya aku tidak perlu mencari tahu. Aku cukup mengaguminya dalam diam, mencintainya dalam sunyi.

“Rumahku Jember Ra, dekat Kafe Sedoyo. Dekat gunung kapur. Gunung yang kini masih bisa aku nikmati, tapi entah sepuluh tahun mendatang, apakah gunung itu masih ada, atau hanya cerita untuk anak cucu kita. Setiap hari, diambil batu-batuan dari gunung itu untuk bahan baku semen, pasti kamu tahu. Termasuk juga awal berdirinya pabrik semen itu banyak penolakan dari warga. Aku lama tidak pulang ke Jember, baru hari ini karena umiku sakit.” Satria memberikan penjelasan panjang kali lebar.

Aku sangat terkejut mendengar jawaban Satria. Kafe Sedoyo adalah tempat awal pertemuanku dengan Mas Diaz, owner kafe itu dan owner hatiku. Lalu apa hubungannya Satria dengan Mas Diaz? Mengapa wajah, sikapnya hampir sama? Apakah Satria ada hubungan saudara dengan Mas Diaz? Entahlah.

“Hai, kok melamun? Kamu mikirin apa?” Tangan Satria menyenggol tanganku, aku sedikit terkejut.

“Ah nggak. Ohya semoga Umi-mu segera sehat kembali ya.”

“Amin.”

Sesaat suasana menjadi hening, aku sibuk menata ritme jantungku sehingga aku tidak fokus dan tidak bernafsu lagi untuk menghabiskan baksoku. Memandang wajahnya saja, aku sudah kenyang dibuatnya. Ya Tuhan, kegilaan apa ini? Kalau setiap hari aku bisa bertemu dengannya, bisa jadi program diet berhasil, kenyang tanpa harus makan, cukup dengan memandang wajahnya yang memesona hehehe

Kenapa aku bertambah penasaran dengan sosok Satria ini. Mengapa aku punya pemikiran gila jika Satria adalah anaknya Umi Sarah. Ah, semoga saja tidak. Tapi wajah tampan Satria, sama persis dengan Mas Diaz. Seandainya Satria adalah anak Umi Sarah, maka pupus sudah harapanku untuk bisa bersamanya.

Dari pada aku penasaran, aku mencoba mengmpulkan keberanianku untuk bertanya.

“Siapa nama Umimu? Mungkin aku mengenalnya?” tanyaku dengan nada rendah.

“Umiku adalah …”

Belum sempat Satria menjawab, gawainya berdering. Dia meminta maaf memohon izin untuk menerima telepon dan beranjak meninggalkan aku yang masih diliputi tanda tanya.

Biarkan Aku Menjadi Hujan

Aku akan melukismu dalam muara air

Menghujam sendu, terus jatuh mengalir kelu

Mematung, menatap tiap tetesku

Mengingat yang selalu ada rindu

Mencumbui cinta tersisa

Meskipun semua hanya tinggal cerita

***

Kamu adalah sabda yang berbeda

Selalu mencaci hujan yang membasahi kalbu

Menatap seruan hina menatap jiwa

Datang selalu beribu alasan

Aku hanya bisa terdiam

***

Kala itu

Cintamu adalah janji masa depan

Dalam buaian lembut sang bayu

Berharap ada restu Sang Pencipta Alam Raya

Dalam tiap rintik-rintik yang menyapa

Namun, hujan bertukar air mata semu

Menjadi pemisah saat temu

Tak bisa mencumbuimu dalam dinginnya malam.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post