nikmatul khoiroh

Guru TIK yang diberi amanah tugas tambahan Kepala Sekolah di SMPN 3 Puger, Kab. Jember. Bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Guru biasa yang masih dan akan teru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kidung Rindu Zahra (Part 2)

Kidung Rindu Zahra (Part 2)

Kidung Rindu Zahra (Part 2)

Lho mau kemana Mbak ?” aku terkejut ada yang menepuk pundakku. Suaranya seperti suara Mas Diaz di telpon tadi. Segera aku membalikkan badan. Subhanallah, benarkah ini mas Diaz, wajahnya sangat bersih, tampan dan berkarisma. Kaca mata yang dipakainya membuat dia kelihatan menjadi pria dewasa yang mapan dan berwibawa. Dia memakai kaos casual putih dan celana jeans biru, memakai sepatu kets warna navy. Tampaknya dia juga sangat menjaga penampilannya. Bayanganku berbalik 180 derajat terhadap Mas Diaz. Sosok di depanku tidak seperti Mas Diaz dalam telpon yang menjengkelkan.

“Mbak Zahra kan?” tanya laki-laki  tampan di depanku itu.

“Oh iya, saya Zahra. Apakah  jenengan Mas Diaz?”

“Iya, kenalkan  nama saya Diaz.” 

Lelaki ganteng itu mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan melemparkan senyum termanisku.

“Zahra. Senang bertemu Mas Diaz.” Jawabku basa-basi. Eh, tidak juga sih sejujurnya tidak basa-basi, tapi aku asli senang bertemu Mas Diaz orangnya ganteng, penuh karisma ini. mudah-mudahan saja dia masih jomblo. Eitsss, pikiranku kok kemana-mana.

“Ayo kita ngobrol di Gazebo di ujung timur.” Ajak Mas Diaz. Aku mengekor saja di belakangnya.

“Ohya, makanannya sudah aku pesankan  nasi goreng, koloke asam manis dan jus apokat dengan es sedikit. Benarkan, ini menu favorite  mbak Zahra?”

Aku mengangguk membenarkan. Jujur, aku kaget Mas Diaz bisa tahu makanan favoritku, wah aku jadi ge-er kalau begini.

“Jangan bingung, sekarang sudah era digital. Saya bisa tahu makanan favoritmu, kegiatan sehari-harimu. Ohya Zahra. Ayo silakan dinikmati.”

Wuihh, orang ini kok seolah sudah kenal banget denganku. Tadinya dia panggil Mbak Zahra, e sekarang Cuma panggil Zahra aja.

“Gakpapa kan aku panggil Zahra saja, biar lebih akrab. Kamu boleh panggil aku Mas Diaz atau Diaz saja.”

“Baik Mas Diaz, bukan Pak Diaz kan?” 

Mas Diaz tertawa, terlihat lesung pipinya. Duh ini cowok, kok ya ada lesung pipinya sehingga tampak lebih manis.

“Iya Mas saja, saya belum punya istri. Kecuali kalau di sekolah anak saya banyak hehehee.”

“Alhamdulillah.”

“Lho kok alhamdulillah?” 

“Alhamdulillah, masih ada harapan untuk banyak cewek pedekate dengan mas Diaz hehee,” jawabku untuk mengimbangi gurauannya. Walaupun aslinya aku juga berharap sejak tadi Mas Diaz masih jomblo.

“Termasuk Zahra yang mau pedekate?”  

Aku sedikit tersedak, jadi salah tingkah begini. Padahal biasanya juga bertemu dengan siapapun  aku tidak merasa segrogi ini. Mungkin wajahku sedikit berubah merah, tapi aku mencoba mentralkan dengan tersenyum dan mengimbangi gurauannya. 

“Oh ya pasti, aku ikut ngantri hahahaa.”

Mendengar jawabanku, Mas Diaz tersenyum.

“Yakin?”

Dia semakin menggodaku.

“Yakin. Tiga rius bukan hanya se-rius.” Jawabku sekenanya saja.

“Alhamdulillah Zahra, aku senang mendengarnya.”

“Kok alhmadulillah Mas?”

“Bales ya. Hehee”. Kembali Mas Diaz tertawa, duh jadi meleleh melihat wajahnya yang memesona.

“Gak juga.” Jawabku agak salah tingkah.

“Sejujurnya sejak lama aku menjadi pengagum rahasiamu. Tulisan-tulisanmu membuat aku jatuh cinta. Acara besok itu memang sengaja aku buat spektakuler dan aku ingin Zahra yang datang meliputnya. Alhamdulillah hari ini aku bisa bertemu di dunia nyata, ternyata kamu orangnya humoris, supel, dan sangat cantik.”

Ya Tuhan, dipuja Mas Diaz aku seolah terbang, detak jantungku tak karuan. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Atau hanya kekaguman sesaat saja.

“Terimakasih banyak sanjungannya Mas, aku bahagia dan bangga sekali. Ohya untuk besok aku minta run down acaranya, sehingga bisa menyiapkan dengan baik.” Aku mencoba mengalihkan pembahasan soal hati. Aku  tidak mau ge-er, dan tidak mau bertepuk sebelah tangan. Iya kalau benar Mas Diaz serius, aku kawatir dia hanya guyon saja.

“Rund down  nanti aku kirim WA, tapi hatiku tidak bisa dikirim WA.” Duh duh, rayuan Mas Diaz membuat aku tambah ge-er. Tapi sebisanya aku menyembunyikan perasaanku, kalau aku bahagia.

“jadi ceritanya, mengajakku ke sini untuk berwisata hati?” tanyaku mengimbangi guyonannya.

“Aku sudah tidak mau berwisata lagi, karena hatiku sudah berlabuh padamu Zahra. Mungkin kamu menganggap aku guyonan, tapi ini kenyataan. Jauh hari aku sudah mengamatimu dari jauh, sengaja aku sering ke kampusmu, ke kantormu hanya untuk melihatmu dari jauh.”

Aku melihat ada keseriusan Mas Diaz dari sorot matanya. Sejujurnya hatiku berbunga-bunga, tapi aku masih tidak percaya, kawatir Mas Diaz hanya bercanda.

“Ah, Mas Diaz pasti bercanda.”

“Aku serius Ra. Kalau aku harus menunjukkan rasa seriusku, aku siap datang melamarmu.”

“Apa, melamar?”

“Iya. Aku tahu kamu masih semester 3. Aku siap menunggumu sampai lulus kuliah. Andai kamu setuju pernikahan dini, itu malah membuatku senang hati. Secara usia, aku sudah cukup matang untuk membina rumah tangga. Bahkan ibuku berkali-kali bertanya kapan mengenalkan calon menantunya.”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, Mas Diaz membuatku bingung. Baru saja bertemu malah mengajak menikah. Aku tidak tahu siapa dia, dari mana asalnya, seperti apa keluarganya, apakah dia memang masih jomblo atau sudah pernah menikah? Ya Tuhan, berikan hamba kekuatan, petunjuk. Tiba-tiba kepalaku terasa sedikit pusing memikirkan kejadian yang tidak pernah aku duga. Ditembak cowok ganteng yang berkarisma. 

Dari pada penasaran aku browsing sosok Diaz dari website labschoolnya. Ternyata dia Waka Kesiswaan disana. Sayangnya tidak ada informasi detail siapa dia.

“Ra, kenapa kamu pucat. Kamu sakit? Aku antar pulang ya. Biar saja nanti motormu dibawa oleh Rendy temanku.” Mas Diaz tampak bingung melihat wajahku yang memucat. Sejujurnya aku shock dengan apa yang barusan terjadi, semua begitu cepat.

“Gak usah Mas, aku bisa pulang sendiri. Baiklah, aku pamit pulang dulu ya.”

Baru saja aku berdiri, tiba-tiba sekelilingku terasa gelap. Aku hampir terjatuh jika Mas Diaz tidak menangkapku.

“Ra, kamu sakit. Sudah jangan ngeyel, aku antar pulang.” 

Tampak Mas Diaz menelpon temannya Rendy. Dia meminta membawakan motorku dan membawakan mobilnya ke depan Gazebo.

“Maaf, Ra. Boleh aku antar kamu? Aku bukan orang jahat, aku tidak akan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.”

Aku hanya mengangguk. Mas Diaz menggandengku menuju mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku. Cara dia memperlakukanku membuatku merasa menjadi orang yang sangat berharga. 

Aku sedikit terkejut, lelaki yang barusan mengemudi mobil Mas Diaz adalah Rendy. Dia juga tidak kalah terkejutnya denganku.

“Zahra?”

“Mas Rendy?”

Melihat kami saling mengenal, Mas Diaz heran. Ada perubahan air muka padanya. Tampaknya Mas Diaz tidak begitu suka, entah karena apa. Tapi dia berusaha untuk tetap tersenyum.

“Kalian sudah saling mengenal ya?” tanya Mas Diaz.

“Iya, dia adik kelasku zaman di SMP dan SMA,” jawab Rendy datar. 

 

Aku hanya mengangguk saja. Dalam hati kecilku, ada sedikit rasa sakit. Rendy tampak lebih dingin, seolah aku tak pernah ada di dalam hatinya. Sungguh bodoh dulu aku pernah memujanya, mencintainya.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post