Jawaban Air Mata Lelaki Kecil

Beberapa menit usai bel istirahat berdering, kelas sepi. Kulanjutkan mengoreksi hasil kerja anak-anak didikku. Tiba-tiba mataku tertuju pada satu sosok di tempat duduk paling pojok depan, menunduk dengan wajah sendunya. Pemandangan tak biasa. Jika pun sendiri, ia suka membaca atau menggambar. Kuhampiri dengan beribu tanya dalam benakku.

"Nggak main atau beli kue sama teman, Nak?" tanyaku.

Tak ada suara, hanya gelengan kepala jawabannya. Belum sempat kulanjutkan bertanya, air matanya perlahan keluar. Kududuk disampingnya dan kupeluk dia untuk menyibak rasanya tanpa bertanya.

Benar dugaanku, lelaki kecil berseragam putih merah itu dengan tenangnya mengurai isi hatinya. Sebelum berangkat sekolah. Ibunya marah-marah pada ayahnya sejak bangun pagi. Ayahnya dituduh sang ibu selingkuh dengan budhenya. Perabot rumah ikut jadi sasaran empuk ibu berputra empat tersebut. Kubayangkan, betapa getirnya situasi demikian di mata anak sulung ini.

Sedikit banyak kutahu keluarga kecilnya karena hampir setahun aku membersamainya dalam pembelajaran di kelas. Kupahami, ibundanya memang akhir-akhir ini depresi akibat dilarang bekerja kantoran oleh sang ayah. Lelaki kecil itu mengakhiri ceritanya, bahwa ibunya tahu ayahnya selingkuh dalam mimpi. Namun, ekspresi kemarahannya diluapkan dalam nyata dan disaksikan anak-anaknya. Lega rasa hatiku. Sang ibu hanya mimpi. Kupuas-puaskan merangkul, menghibur, menguatkan hati, dan memotivasinya agar selalu mendoakan ibu-ayahnya.

Driyorejo, 21 Juni 2020_02:54