Nining Suryaningsih

Guru Bahasa Inggris SMP di Bandung Barat ini tak pernah merasa bisa menulis, sampai akhirnya MediaGuru mendongkrak rasa percaya dirinya untuk menghasilkan karya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Segi Tak Dimengerti di Geometri

Segi Tak Dimengerti di Geometri

Pak Agus memasuki kelas 10 IPA 4. Tetiba beliau mengambil kapur warna merah dari dalam tasnya.

“Sret, sret, sret ...,” terdengar suara kapur dituliskan ke papan tulis. Huruf yang muncul adalah B I R U. Siswa-siswa yang sedari tadi memperhatikan tampak kebingungan. Tak lama Pak Agus mengambil kapur biru. Dengan gerakan yang dibuat lucu Pak Agus menuliskan huruf M E R A H dengan kapur biru. Semua siswa tertawa. Pak Agus membalikkan badan lalu bertanya, “Ini apa?” sambil menunjuk ke tulisan Merah. Sebagian siswa menjawab “Merah!” namun sebagian lain menjawab “Biru!”

Pak Agus hanya tersenyum. Lalu beliau menghapus kedua tulisan itu. Siswa yang sedang ramai memperdebatkan kebenaran jawaban mereka langsung berhenti lalu tertawa bersama.

Begitulah kelucuan sore itu. Pelajaran Matematika di jam terakhir hari Jumat tampaknya tak membuat siswa kelas 10 IPA 4 lesu. Sebaliknya, dengan pembawaan yang santai dan humoris Pak Agus menyihir para siswa agar tetap bersemangat mempelajari Matematika.

“Baik, anak-anak, setelah di pertemuan lalu kita membahas Segitiga Sama Kaki dan Segitiga Sama Sisi maka hari ini kita akan membahas Segitiga Siku-Siku. Dalam pembahasan Segitiga Siku-Siku nanti kita akan menggunakan Hukum Pitagoras. ....,” Pak Agus mulai menjelaskan konsep Matematika.

Beberapa saat kemudian sebgaian siswa mulai mengantuk. Walau Pak Agus yang lucu itu sudah berusaha agar pelajarannya diminati, beberapa siswa mulai gelisah, tak minat lagi menyimak pemaparan sang guru. Kalaupun bertahan mendengarkan, saat diminta mengerjakan soal latihan banyak yang mengerjakan dengan asal-asalan.

Pratama yang mulai bosan menyimak pelajaran mempermainkan ballpoinnya. Awalnya ia hanya corat-coret di buku. Lalu dia melirik ke beberapa siswa yang tampak sama seperti dirinya, tak antusias. Dia lihat ke sebelah kiri, Fitri sedang menulis. Namun terlihat jelas kalau apa yang ditulis Fitri bukanlah latihan soal yang ditulis Pak Agus di papan tulis. Fitri tampak menulis beberapa kata, bukan angka.

Pratama menikmati raut wajah Fitri. Semakin dipandang wajah Fitri semakin menarik hatinya. Yang sedang diperhatikan tak menyadari rekan sekelas yang berada dua meja di kanan belakangnya itu memperhatikannya. Pratama tiba-tiba mendapat ide untuk menggambar wajah Fitri. Dia pun mulai menarik garis-garis di bagian belakang bukunya. Garis dan lengkung yang dibuatnya begitu mirip membentuk garis-garis dan lekukan wajah Fitri. Pratama memang terkenal jago menggambar. Tak heran di pelajaran Seni Rupa dia selalu mendapat pujian Pak Budiman.

“Kamu itu lucu, namun aku malu kalau bertatapan denganmu. Jadi kusembunyikan diri saat kau mengajakku berdiskusi tentang pelajaran siang tadi,” tulis Fitri di bukunya. Walau bukan buku diari, Fitri tak tahan untuk menuliskan perasaannya pada seseorang. Dia memang sedang suka pada salah seorang cowok di kelasnya. Tapi sebagai cewek tentu saja Fitri tidak ingin mengungkapkannya secara jelas. Maka tak heran kalau Fitri ikut ekskul yang juga diikuti sang lelaki. Sebenarnya ekskul itu tak terlalu diminatinya, namun demi sering berjumpa dan melihat sang lelaki Fitri pun bersedia datang ke sekolah setiap Minggu sore untuk berlatih.

Tak disangka Pak Agus memanggil Aryo untuk maju ke depan mengerjakan satu soal latihan. Fitri cepat-cepat membuka buku pelajaran. Dia berusaha memahami langkah-langkah yang dituliskan pujaan hatinya itu. Walau tak terlalu paham apa dengan soal yang sedang dikerjakan Aryo, dia berusaha menatap papan tulis dan mengikuti langkah-langkan penyelesaian soal yang dituliskan sang lelaki di papan tulis hitam itu. Aryo menoleh pada Pak Agus, seperti meminta pendapat tentang pengerjaan soal yang baru dituliskannya. Pak Agus mengangguk tanda setuju lalu menyuruh Aryo kembali ke tempat duduk. Sepasang mata Fitri mengikuti sang lelaki hingga dia duduk di bangku tak jauh dari tempat duduk Pratama.

“Fit, kamu sudah sampai nomor berapa?” tanya Ryani yang dari tadi memperhatikan Fitri.

“Eh, baru ini ..., eh nomor ...,” Fitri yang ditanya gelagapan sambil menunjuk nomor 1 yang dikerjakan Aryo di papan tulis.

“Tumben kamu langsung nyalin jawabannya. Kan belum tentu bener,” bisik Ryani sambil tersenyum penuh arti.

“Ah, salin aja dulu. Ngerti nggak sih urusan belakangan,” jawab Fitri, sambil cekikikan.

“Kamu merhatiin soalnya atau orang yang ngerjainnya?” tanya Ryani lagi.

“Ih, apaan sih? Awas kedengeran Pak Agus, Yan. Ntar kita disuruh ngerjain soal lain,” ujar Fitri sambil telunjuknya ditempelkan ke bibirnya yang mungil.

Bell berbunyi tiga kali, pertanda pelajaran hari itu berakhir. Tentu saja hal ini memberi semangat baru untuk beberapa siswa yang sudah tak betah dengan pelajaran terakhir, terutama bagi siswa kelas 10 IPA 4 yang tak suka Matematika. Tapi satu hal pasti, siapa pun akan bahagia saat mendengar bel pulang berdentang.

Saat Ryani mendekati pintu, Aryo memanggil.

“Ryani, besok jangan lupa ya. Pukul 8. Dah aku daftarin kamu ke Teh Anne,” ujarnya sambil menunjuk jam tangan warna silver yang melingkar di tangan kanannya.

“Siap,” Ryani menjawab pendek.

“Eh, kamu mau ngapain besok pagi sama Aryo?” bahu Ryani ditepuk Fitri.

“Itu, LDKS. Dari kelas kita aku yang didaftarin sama Aryo. Tau tuh kenapa aku. Kamu jangan cemburu ya,” jawab Ryani sambil menatap Fitri sambil nyengir.

“Huh, kamu tuh ya. Aku kan ...,” belum sempat Fitri meneruskan kalimatnya Pratama tetiba mendekat.

“Fitri mau pulang bareng?” tanya Pratama sambil memperbaiki letak tas gendongnya.

“Eh, enggak. Eh, iya mau pulang. Tapi aku mau nunggu ...,” jawab Fitri gelagapan.

“Mau nunggu siapa emang?” tanya Pratama lagi penasaran.

“Itu, si Rike, anak kelas IPA 1. Dia biasa pulang bareng aku,” Fitri mulai tidak nyaman dengan pertanyaan Pratama.

“Oh, kirain pulang sendiri. Aku temani kalau mau pulang sendiri,” Pratama menawarkan diri.

“Eh, gak usah. Makasih. Si Rike deketan rumah sama aku. Ntar kalau aku gak pulang bareng dia aku bisa ditanyain emaknya. By the way thanks tawarannya ya. Maybe some other time,” jawab Fitri berusaha mengatur suara agar tak terdengar gugup.

“OK, aku duluan kalau gitu. Hati-hati ya ...,” Pratama berseru sambil melambaikan tangan ke arah Fitri.

“Ehem, ada yang punya penggemar nih ye, hahaha ...,” Ryani tetiba berkata sambil tertawa.

“Hush, jangan keras-keras. Malu dilihat orang,” Fitria mendelik ke arah Ryani.

“Lucu ya, ada segitiga di kelas kita,” kata Ryani sambil berjalan di samping Fitri. Mereka menunggu Rike di depan perpustakaan, karena pintu kelas Rike terhalang perpustakaan kalau dilihat dari kelas mereka.

“Maksudmu?” tanya Fitri menatap Ryani tak mengerti.

“Ya, sudut A suka sama sudut B, eh sudut B sukanya sama sudut C,” Ryani menjawab penuh teka teki.

Fitri mengernyitkan dahi. Dia tampak tak mengerti dengan kata-kata Ryani.

Tak lama dari kejauhan Rike berlari mendekati Fitri.

“Fit, kamu duluan aja ya. Aku ada perlu dulu, diminta nunggu sama Barry, buat acara besok katanya,” Rike memberi penjelasan lumayan panjang.

“Ntar kalo Mama kamu nanya aku jawab apa?” tanya Fitri.

“Bilang aja mau urusan OSIS buat besok. Kamu gapapa ya pulang sendiri?” tanya Rike dengan nada sedikit khawatir.

“Oh, OK deh. Aku duluan kalo gitu,” jawab Fitri ngeloyor pergi.

Ryani yang menyaksikan itu melihat Rike lalu bertanya, “Kamu mau ikut LDKS juga?”

“Tadi sih KM-ku bilang gitu, tapi gak tahu. Aku balik dulu ke kelas ya, biar dapet kepastian dari juragan aku di kelas yang lagi melototin temen yang piket kebersihan,” ujar Rike sambil buru-buru berjalan ke arah kelasnya.

***

“Ryani, sini ...!” Aryo memanggil Ryani dari depan pintu ruangan yang digunakan LDKS.

“Kenapa?” tanya Ryani.

“Eh, yang duduk deket kamu siapa?” Aryo yang baru datang dan berdiri di dekat pintu menunjuk ke dalam ruangan.

“Oh, itu Rike. Anak kelas 10 juga, IPA 1. Temannya Fitri tuh. Dulu satu sekolah dengan Fitri di SMPnya,” jawab Ryani polos.

“Salam ya, dari si ganteng kalem,” Aryo berkata sambil memperbaiki rambutnya yang masih rapi.

“Hahaha, kamu tuh ya. Napa gak salamin sendiri? Sana, berani gak?” tanya Ryani menantang.

“Eh, kamu kan duduk deket situ, sesama perempuan. Yang cowok kan pada duduk di belakang,” Aryo menggerakkan kepalanya untuk menunjuk arah tempat cowok-cowok duduk. Benar, sebagian besar peserta laki-laki duduk di bangku belakang.

“OK. Cuma bilang ada salam kan? Gak ada tambahan?” tanya Ryani berusaha melucu.

“Sementara itu dulu. Thanks ya,” sambil mengatakan itu Aryo melesat pergi ke dalam ruangan dan bergabung dengan para peserta laki-laki.

Ryani geleng-geleng kepala. Dia ingat kejadian kemarin di kelas. Pratama tampak suka sama Fitri, lalu Fitri suka memperhatikan Aryo, eh sekarang Aryo malah titip salam untuk Rike. Ah, segi Geometri apa yang bisa menjelaskannya?

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Inspiratif. Betul betul sarapan yg sarat gizi.

20 Jan
Balas

mksh ....

20 Jan

Segi tak beraturan ya Bu Nining...Cerita yang asyik....

20 Jan
Balas

Hehehe, segicinta kali ya. Mksh ....

20 Jan



search

New Post