Nining Suryaningsih

Guru Bahasa Inggris SMP di Bandung Barat ini tak pernah merasa bisa menulis, sampai akhirnya MediaGuru mendongkrak rasa percaya dirinya untuk menghasilkan karya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tahan Diri dari Amarah, Memang Susah

Tahan Diri dari Amarah, Memang Susah

Sekitar sepuluh tahun lalu saat aku memasuki kelas itu suasana masih terasa asik walau siswa sedikit berisik. Tatkala kuminta siswa berkelompok lima-lima ada siswa yang tak mau menggeser bangkunya. Kutanya mengapa, dia hanya menggelengkan kepala. Kuminta menghampiri grup terdekat dia tetap tak bergerak. Kukeluarkan jurus ancaman, "Kalo kamu melawan, Ibu tak segan berbuat kekerasan." Jawaban yang kudengnar sungguh di luar dugaan, "Silakan Ibu mau ngapain aja ke saya. Saya g takut," ujarnya sambil tampak sedikit beringsut. Saat itu kurasakan getaran di tangan. Aku tahu ini emosi. Lalu kutarik napas dalam-dalam. Kususun kalimat yang lebih memanusiakan, "Kalau kamu gak mau belajar sama Ibu mending Ibu keluar saja dari kelas kamu ya." Di malah meletakkan tangannya di dada, sambil mengatakan, "Silakan saja."

Semua siswa terutama yang wanita memintaku tak menggubrisnya. Mereka meminta pelajaran dilanjutkan. Sebagai guru muda dengan sekian idealisme dan cita-cita aku tak mau kalah di depan siswa. Aku sampaikan permohonan maaf kepada siswa-siswa bahwa aku harus keluar kelas karena seorang siswa tak mau mengindahkan permintaan guru. Pikirku si siswa penantang akan segera meminta maaf. Ternyata keinginanku tak terwujud. Dia masih duduk di kursinya dengan tampang sok menang. Getaran di badanku semakin kuat. Aku merasakan emosi memuncak. Aku tahu aku marah luar biasa. Emosiku kusalurkan dengan berjalan keluar kelas, melintasi lapangan basket, lalu memasuki ruang guru. Aku ambil tempat duduk. Laku kubaca banyak kalimat dzikir, memohon agar Tuhan meredakan emosiku. Darahku terasa mendidih. Kuperhatikan tanganku pun gemetar. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa aku sedang dikuasai emosi. Dan menurut Nabi, bila emosi sedang menghampiri saat kita berdiri maka duduklah. Dan sekarang aku duduk agar terhindar dari melampiaskan emosi kepada siswa tadi.

Setelah keadaan lebih tenang dan emosiku bisa kukendalikan aku meminta siswa yang lewat di depan Ruang Guru untuk memanggil Ketua Murid dari kelas yang kutinggalkan tadi. Setelah sang KM datang kuminta dia mengumpulkan tugas yang tadi kuberikan. Sebenarnya dia meminta aku memasuki kelas lagi agar keadaan terkendali. Menurutnya siswa banyak yang bercanda dan bermain saat gurunya keluar ruangan, alih-alih mengerjakan tugas yang diberikan.

Aku menolak. Aku katakan, "Sebelum si A meminta maaf dan meminta Ibu kembali Ibu sepertinya tak perlu ke kelasmu lagi." Sang KM terhenyak. Mungkin tak menyangka jawaban yang meluncur dari mulutku akan seperti itu. Dengan lunglai dia kembali ke kelas. rasanya aku bisa membuat mereka terpana. "Aku lho guru, bisa ambil keputusan apa saja di kelasku. Aku lho guru, bisa berbuat apa pun yang mengenakkan diriku. Kamu sebagai siswa terima saja. Dan kamu aka tahu akibatnya kalau kamu tak menurutiku. Nilaimu di tanganku," begitulah pikiranku waktu itu.

Saat menceritakan kejadian hari itu pada sang suami, dia seperti hanya mendengarkan. Setelah aku puas bercerita dan dengan bangga mengatakan bahwa siswalah yang akan membutuhkanku beberapa saat ia tak menjawab.

Malamnya aku diskusi tentang pelajaran dan cara menangani siswa yang tak mau terlibat di kelas. Suamiku lalu mengajakku mengevaluasi diri. Kami terlibat percakapan, panjang lebar. Aku mendengarkan ide-idenya untuk memperlakukan siswa bukan sebagai pesakitan. Menurutnya guru tidaklah perlu baper sampai harus meninggalkan kelas saat siswa ada yang tak suka pelajaran atau tidak ikut terlibat kegiatan.

"Sudah berapa cara Ibu gunakan agar mereka terlibat pembelajaran?" Ah, pertanyaan yang sepertinya malah menghakimiku. Aku tahu dia hanya ingin mengatakan kalau aku guru yang baperan, gampang menghakimi siswa yang tak suka pelajaran, tanpa mencari tahu cara lain selain yang sudah diterapkan, yang jelas-jelas tak efektif membangun kesadaran akan belajar.

"Pandanglah mereka sebagai siswa yang hanya butuh perhatian. Mungkin mereka sudah kehilangan itu dari orang tuanya, di rumah, atau dari lingkungannya. Kalau guru sebagai orang dewasa yang dianggap lebih paham pendidikan juga tak berbeda dengan mereka di luar sana trus mereka akan lari kepada siapa?"

Jleb!

Gitu deh dia, menggampangkan persoalan. Dia tak tahu betapa stressnya kita dengan sekian tingkah siswa. Bukan hanya satu dua atau sepuluh dua puluh siswa yang kutangani, tapi bisa sampai 250 orang. Bayangkan ....

Ah, tapi di manakah nilai pahala kalau kesulitan tidak bisa kita taklukkan? Konon guru itu profesi yang akan mendekatkan kita ke surga. Tapi bila perlakuan kita kepada siswa hanya menyuruh, melarang, bahkan mengancam, apakah Tuhan meridhoinya? Rasanya tidak. Tuhan akan memberikan pahala pada perjuangan, bukan pada kemudahan. Marah, memberi tugas, memberi PR, menyuruh,melarang, dan mengancam itu gampang. Apakah dari sana kita mendapatkan ganjaran kebaikan yang kan mengantar kita ke surga Tuhan? Rasanya tidak demikian.

Menahan amarah memang susah, tetapi yakinlah bahwa pahalanya sangat besar saat kita berjuang melakukannya. Saat kita menarik napas dalam-dalam melihat tingkah siswa yang dianggap tak karuan, semoga napas kita dihitung sebagai dzikir. Saat kita memikirkan ratusan cara yang tepat untuk menangani setiap tingkah siswa yang kadang tak bisa kita terima, semoga itu menjadi ratusan kalimat dia yang didengar Tuhan. Saat kita menangis dalam doa meminta Tuhan menggerakkan hati mereke menjadi lebih baik, Tuhan pasti sangat menikmatinya.

"Ad du 'aau mukkhul 'ibadah" katanya. Doa itu adalah ruhnya ibadah. Kalau kita meniatkan mengajar adalah ibadah berarti doa-doa yang kita panjatkan untuk mereka akan mengiringi langkah kita lalu menjadi ruh pembelajaran. Semoga ....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Super sekali Bu Butuh nafas panjang tuk meredam emosi ya Kembali ke niat memang jadinya lebih plong.

04 Feb
Balas

Amiin. Ok, Teh! Mantapkan hati yuuu! Mendidik dengan doa....tulisan menggugah...saya blm bisa lepas dr marah...

04 Feb
Balas

Amiin. Ok, Teh! Mantapkan hati yuuu! Mendidik dengan doa....tulisan menggugah...saya blm bisa lepas dr marah...

04 Feb
Balas

Makasih bu nining, menginspirasi

04 Feb
Balas

Setuju bu nining..memang sangat sulit menangani siswa yang bermasalah butuh kesabaran ekstra

04 Feb
Balas

Emosi saja tanpa akal untuk mengaturnya mungkin kita hanya akan menjadi baper ya Bu...I like it. So inspiring to me

04 Feb
Balas



search

New Post