Nining Suryaningsih

Guru Bahasa Inggris SMP di Bandung Barat ini tak pernah merasa bisa menulis, sampai akhirnya MediaGuru mendongkrak rasa percaya dirinya untuk menghasilkan karya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Mungkin Lagi

Tak Mungkin Lagi

HPku bergetar. Ada telepon masuk dari sebuah nomor tak kukenal. Kuabaikan.

Tak lama nomor yang sama kembali menghubungi. Akhirnya kuangkat juga.

“Maaf, ini dengan Kak Visya?” terdengar suara seorang gadis di ujung telepon.

“Iya. Saya Visya. Dengan siapa ya?” tanyaku.

“Saya Rahmi, adik Raditya,” jawab suara lembut si gadis.

Raditya .... Sesosok pemuda berkulit putih bersih berambut lurus agak sedikit pirang menghampiri memori ini. Angin apa yang membawa adik Raditya menghubungiku? Pertanyaan tak henti berseliweran di kepala.

“Halo, Kak Visya, masih di sana?” suara itu membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya. Raditya yang tinggal di Bogor?” tanyaku lagi.

“Iya, Kak. Benar. Saya adik Raditya, teman kuliah kakak dulu. Ada yang ingin saya sampaikan. Kakak masih tinggal di Sukabumi, kan?”

“Eh, iya. Saya tinggal di Sukabumi. Maaf, ada apa ya kok pengin ketemu saya?” tanyaku penasaran.

“Kak Raditya, Kak ...,” suaranya tiba-tiba parau. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba ada orang mengaku adik Raditya menghubungiku, dan sepertinya dia panik. Seingatku Raditya sedang menempuh S2. Itu pun kutahu dari Nico, teman kerjaku sekarang. Nico dulu sekelas dengan Raditya. Aku sih beda kelas. Tapi kami bertiga ikut aktif di BEM jadi aku sering terlibat kegiatan bersama Raditya.

“Maaf, Dik. Raditya kenapa?” tanyaku penuh selidik.

“Sekarang dia di rumah sakit, Kak ...,” suaranya yang parau bertambah tak jelas saat mengucapkan kata “rumah sakit”.

“Oh ya? Semoga cepat sembuh ya. Sakit apa?” tanyaku masih heran. Kok bisa adik Raditya menghubungiku hanya untuk memberi tahu kalau kakaknya sakit. Aku sudah lama tak berkomunikasi dengannya, sejak kami lulus kuliah 4 tahun lalu.

“Kak Visya bisa datang ke rumah sakit?” tanyanya dengan suara seperti ditahan.

“Hah, ke rumah sakit? Rumah sakit tempat Raditya dirawat?” tanyaku heran.

“Iya, Kak. Saya tuliskan alamatnya ya. Tolong Kakak sempatkan ya Kak. Besok juga gapapa. Sekarang kan sudah siang. Saya mohon ya, Kak. Nanti kita ngobrol. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.

“Oh , eh, saya .... Duh, besok ya. Mmh .... Baik, kebetulan besok saya tidak ada acara. Paling saya ke sana jam 10an, gapapa ya?”

“Ya, Kak. Gapapa jam segituan. Saya tunggu banget ya, Kak,” jawabnya lalu menutup telepon setelah mengucap terima kasih.

Raditya. Ada apa dengannya? Aku makin heran karena seorang perempuan yang mengaku adiknya menghubungi dengan cara yang tak biasa. Setahuku aku tak pernah memberi nomor teleponku ke Raditya. Atau jangan-jangan ..., Nico yang memberikannya? Ah, pikiranku jadi tak karuan. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi otak ini.

Senja yang indah dengan semburat warna orange di langit ufuk Barat tak lagi bisa kunikmati. Angin semilir yang mempermainkan rambut sebahuku tak lagi membuatku segar. Ada rasa tak nyaman yang kurasa. Tetiba memoriku tentang Raditya muncul satu-satu.

Kami berkenalan saat ada pertemuan pengurus BEM delapan tahun lalu. Tak disangka kami satu divisi, bersama Nico. Sejak itu kami sering bersama. Aku suka dengan kepribadiannya. Selain sopan, pintar dan jarang bicara, pembawaannya yang kalem membuat banyak rekan perempuan menaruh hati padanya. Beberapa di antaranya sering menitip salam padaku. Aku memang dekat dengannya. Sebagian rekan menganggap kami cocok sebagai pasangan. Ah, aku sih tertawa saja. Aku tahu kami hanya partner. Kebetulan kami memang sering sejalan dalam banyak hal. Pemikiran-pemikirannya tentang cara menangani masalah sering sejalan denganku ide-ide yang kumiliki. Maka tak heran kami selalu dimasukkan dalam tim atau kepanitian yang sama. Walau begitu aku tak pernah merasa punya hati berbeda padanya selain sebagai teman. Ya, HANYA TEMAN.

“Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan gerbang rumah sakit yang disebutkan Rahmi. Aku langsung menuju ruangan yang tertera di sms yang dikirim Rahmi sore kemarin.

“Kak Visya?” tanya seorang perempuan imut berkulit putih. Wajahnya mirip Raditya. Hanya saja Rahmi memiliki tahi lalat kecil di bawah mata kanannya.

“Eh, iya. Adik ...,” belum sempat kutebak siapa gadis itu, ia yang menemuiku sekian langkah sebelum aku memasuki ruangan yang akan kutuju segera mengajakku menjauh dari pintu kamar pasien. Aku bingung. Dia setengah menyeretku menjauh dari sana.

“Ini Rahmi, adik Raditya?” tanyaku saat tanganku digandengnya.

“Iya, Kak. Kak Visya jangan masuk dulu. Kita ngobrol dulu ya, Kak. Kita ke kantin saja. Di dalam ada dokter sedang meriksa Kak Raditya. Dia ngedrop lagi tadi.”

“Raditya sakit apa sebenarnya?” tanyaku.

“Ntahkah, Kak. Dia sering menyebut nama Kakak,” ucap Rahmi dengan wajah serius sesaat setelah kami duduk di kantin rumah sakit.

“Hah ...??? Yang benar?” tanyaku benar-benar terkejut.

“Kakak mau pesan apa? Kita ngobrolnya sambil minum ya, biar agak santai,” ujar Rahmi tak menghiraukan kekagetanku tadi.

“Apa aja, terserah Dik Rahmi,” aku jawab sekenanya.

Rahmi berjalan mendekati pelayan. Tampakmya dia memesan minuman, entah apa. Ketegangan di wajah imut Rahmi tampak mulai memudar. Tak lama dia duduk di hadapanku. Dia menatapku lekat.

“Kakak pasti kaget ya?” tanyanya dengan wajah yang masih menampakkan sedikit kekhawatiran.

“Iya. Ada apa kok Kakak diminta datang ke sini? Belum Kakak masuk ke kamar Radit kamu malah minta kita menjauh dari kamarnya.

“Kakak sudah lama ya kenal dengan Kak Radit?” tanyanya lagi.

“Iya. Kami kenal sejak kami jadi pengurus BEM, sekitar 8 tahun lalu. Kenapa?” selidikku.

“Kakak punya pacar?” tanya Rahmi tanpa kuduga.

“Lho, kok malah tanya itu?” aku tersenyum geli.

“Serius, Kak. Kakak punya pacar? Atau mungkin sudah bertunangan?”

“Ya, Kakak sudah punya pacar. Tapi kami belum bertunangan. Kami masih dalam proses menjajagi,” jawabku panjang lebar.

“Kakak pernah pacaran sama Kak Radit?” tanyanya tanpa kuduga.

“Hah, pacaran? Hehehe. Gak ah, anak manis .... Radit dan Kakak gak pernah punya hubungan spesial. Kami sekadar rekan sesama pengurus BEM. Dan kami saling menghargai sebagai sesama aktivis kampus. Radit tahu Kakak tak suka pacaran. Kakak punya prinsip tak akan pacaran sebelum lulus kuliah. Kak Radit juga tahu itu. Kakak sering diskusi dengannya. Kami seoring ngobrol banyak hal di luar aktivitas di BEM. Radit itu pinter, enak diajak diskusi. Kakak nyambung kalo ngobrol sama dia,” lagi-lagi aku harus panjang lebar menerangkan bagaimana hubungan aku dan kakaknya pada gadis imut ini.

“Kakak berarti gak tahu kalo ...,” Rahmi tak meneruskan kata-katanya. Dia membuka tabletnya.

“Kenapa? Tahu apa?” tanyaku penasaran. Apalagi dia lantas menyodorkan tabletnya padaku.

“Kakak baca ini. Ini semua tulisan Kak Radit. Dia sering menyebut-nyebut nama Kakak di situ. File di laptopnya dinamai dengan dua huruf awal nama Kakak, VW. Nama Kakak Visya Winanda, kan? File ini saya temukan kemarin pagi di laptopnya. Ini saya pindahkan ke tablet karena tak mungkin saya bawa laptopnya, berat.

.Aku tatap tablet itu. Kubuka file dengan nama VW. Tulisan di dalamnya seperti diari. Setiap tulisan diakhiri tanggal.

Aku termenung. Tanggal itu mengingatkanku pada masa-masa kebersamaan kami di BEM. Begitu runut cara Radit menuliskan kalimatnya. Hingga sebuah kalimat kutemukan ....

Oh Tuhan, mengapa dia tak pernah menyadari kalau aku suka, aku menaruh hati padanya? Aku memang tak bisa menyatakannya dengan kata-kata. Aku tahu dia tak akan suka. Aku hanya menunggu. Aku harus menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkannya, agar dia tak kecewa denganku. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa menahannya. Aku ingin dia tahu kalau aku ingin dia tak hanya melihatku sebagai rekannya di organisasi. Aku ingin dia tahu kalau aku bisa lebih dari itu. Aku ingin menjadi a shoulder to cry on buatnya. Seperti sore itu ....”

Aku tertegun. Aku ingat suatu sore usai rapat sebuah kepanitiaan aku dipanggil Kak Cantika, ketua panitia. Kak Cantika memanggilku ke teras depan sementara yang lain sedang bersiap-siap pulang. Waktu itu Kak Cantika memberitahuku tentang isu ketidakjelasan laporan keuangan di kegiatan sebelumnya. Aku kaget. Bendahara kegiatan itu aku. Tapi aku sudah setorkan semua uang plus berkas laporannya kepada Kak Nita, sekretaris kegiatan.

Sungguh waktu itu aku merasa aku dituding korupsi. Kak Cantika memang tidak mengatakannya. Namun aku sungguh tak enak. Aku yang sedang tak bisa mengendalikan diri saat itu lantas berlari ke dalam, menyambar tas, lalu pergi keluar sekretariat sambil setengah berlari.

“Vi ...!” suara Raditya terdengar memanggilku saat aku sudah jauh dari sekretariat. Aku tak mau menengok. Aku masih tak bisa mengendalikan diri yang sakit hati. Aku tahu itu suara Radit. Lagipula hanya dia yang suka memanggil namaku seperti itu. Teman lain tak ada yang memanggilku begitu.

“Vi .., tunggu!” Radit berhasil menghentikan langkahku. Genggamannya yang erat di pergelangan tangan kanan membuat aku harus berhenti. Tak sadar aku menangis. Radit lalu melepaskan pegangannya. Dia seperti merasa bersalah. Aku lalu menutup muka dan terisak di sana.

“Kamu kenapa? Apa yang diomongin sama Kak Cantika sama kamu tadi?” tanya Radit penuh perhatian.

“Aku gak korupsi, Dit. Kenapa Kak Cantika menanyakannya padaku? Kan sudah kusetor semuanya sama Kak Nita,” aku berbicara sambil terisak.

“Eh, duduk dulu di sana yuk, ntar ceritanya,” ajaknya menunjuk bangku di taman tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku nurut. Dia berjalan mendahuluiku. Setelah dia duduk aku pun duduk. Dia memandangku lekat. Dia tampak kasihan padaku.

“Kalau menurutmu kamu tak melakukan kesalahan ya sampaikan saja," usulnya.

“Kamu gak ngerasain sakit hati ini, Dit. Aku merasa aku dipitnah. Aku ...,” panjang lebar aku menerangkan kegiatan di mana aku jadi bendaharanya. Raditya sungguh pendengar yang baik. Dia tak memintaku berhenti bercerita hingga aku benar-benar puas melepaskan semua yang mengganjak di hatiku.

“Eh, sudah ah. Aku mau pulang. Makasih ya dah mau dengerin aku cerita ke sana kemari. Aku lega sekarang. Aku tidak seharusnya begitu tadi. Benar katamu. Aku tinggal sampaikan pertanggungjawabannya, disertai bukti-bukti laporan. Sekali lagi makasih ya, Dit,” ucapku sambil menyeka air mata.

Raditya tampak berseri sambil berkata, “Nah, sudah lega ya. Aku ikut bahagia. Kamu mau pulang sama siapa? Mau kuantar?” Raditya menawariku.

“Eh, gak ah. Kamu kan rumahnya beda arah sama aku. Jangan merepotkan diri. Aku gapapa pulang sendiri, dah biasa kali ...,” ucapku sambil mendelik.

Radit tak memaksa. Dia tahu aku gak suka diperlakukan bak putri raja. Aku pamitan lalu pergi meninggalkannya yang masih duduk di taman.

“Kakak sepertinya menempati posisi spesial di hati Kak Radit,” tiba-tiba suara Rahmi membuyarkan kenangan itu.

Kututup tablet yang tak kutahu berapa lama ada di tanganku. Aku balik menatap Rahmi.

“Mengapa Radit tak pernah mengungkapkan isi hatinya padaku ya?” aku bertanya tak jelas pada siapa.

“Kak, kita ke kamar Kak Radit. Mudah-mudahan setelah melihat Kakak penyakitnya sirna,” ajak Rahmi sambil tersenyum.

“Oh ya, boleh. Tapi Kakak harus gimana? Kakak tak bisa menjadi apa yang diinginkannya. Kakak ke sini juga tanpa sepengetahuan ...,” belum selesai kalimatku Rahmi memegang tanganku.

“Gapapa, Kak. Kehadiran Kakak semoga memberi semangat baru untuknya agar bisa segera sembuh.”

“Baiklah kalo begitu. Kakak akan menemuinya. Semoga semua segera kembali normal,” ujarku sambil beranjak dari tempat duduk.

HP Rahmi berdering.

“Iya, kami segera ke sana, Ma ...,” seru Visya dengan panik.

“Kenapa?” tanyaku ikut panik.

“Kak Radit, Kak ...! Ayo, Kak, kita harus segera ke sana,” ajak Visya setengah menyeretku.

Sesampai di depan pintu kamar perawatan, terdengar tangis seorang perempuan. Rahmi melesat masuk, meninggalkanku yang menyusulnya dengan setengah berlari. Sesampai di depan sebuah bangsal aku melihat pemandangan yang menyedihkan, seorang ibu paruh baya menangisi seorang lelaki yang terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya yang putih bersih tampak pucat sekali. Rahmi pun menangis keras sambil menyebut nama Raditya. Di sampingnya berdiri seorang dokter dan suster yang tampak turut berduka.

Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Raditya berpulang ....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Haish, tau dr mana itu kisah pribadi? Hihihi

13 Jan
Balas

Cerpennya bagus bu nining, ikut terhanyut dengan flotnya. Jadi ingat masa kuliah dulu

13 Jan
Balas

Makasih. Ingat kuliah ingat si dia ya, hahaha

13 Jan

Cerpennya bagus bu nining, ikut terhanyut dengan flotnya. Jadi ingat masa kuliah dulu

13 Jan
Balas

Merambah ke cerpen ya Bun? Cerpennya asyik....anak muda banget

13 Jan
Balas

Eh B Dyah. Lagi belaja nih Bu. Hehehe. Mksh dah mampir

13 Jan

Cerpen yang mampu bangkitkan gemuruh di dada, akhirnya Visya terkambat tuk temui Raditya yang pergi membawa cintanya. Luar biasa, Bu Nining pandai mengemas cerita dengan kalimat asyik, hingga tak bosan membacanya. Sukses selalu dan barakallah

13 Jan
Balas

Uhuy, ada yg dadanya bergemuruh. Wkwkwk

13 Jan

Wow keren......aku baca tuntas ... Rupanya kisah pribadi ya Bu?

13 Jan
Balas

Haish, tau dr mana itu kisah pribadi? Wkwkwk

13 Jan



search

New Post