OBOR ITU BUKAN HANTU
OBOR ITU BUKAN HANTU
Dipengujung senja, langit seakan berwarna jingga. Awan berarak seperti sedang bertasbih dengan datangnya malam. Sesekali terdengar suara lantunan ayat suci mengalun merdu dari surau yang terbawa angin sepoi sepoi.
Entah kenapa senja ini aku betah berdiri mematung melihat keluar jendela. Ku terpana melihat keheningan senja yang disambut oleh suara-suara binatang malam yang baru menggeliat bangun dari tidurnya.
Ohh.. terasa indahnya senja ini, pikirku dalam hati.
Ku melepaskan tatapan keluar jendela. Ku melihat hutan yang masih perawan tepat berada di depan jendela kamarku.
Hutan itu terkenal angker bagi warga desaku. Mereka seolah enggan bertandang kesana bila tanpa keperluan yang berarti. Tapi aku penasaran akan hal itu, karena seumur-umur aku belum pernah melihat hal-hal yang membuat bulu kudukku berdiri.
Pikiranku bercabang memikirkan hal-hal diluar nalar. Akhirnya ku tarik jendela dengan perlahan.
Bleesss….
Mataku seakan menangkap bayangan hitam yang melesat cepat seperti kilat memasuki kawasan hutan belantara itu. Ku buka kembali jendela kamarku dengan cepat, seakan mataku mencari dengan seksama bayangan itu.
Lama ku mencari akhirnya kuputuskan lagi menutupnya kembali. Namun mataku menangkap hal yang sama lagi. Namun kini berbeda bukan bayangn lagi, tapi kilatan cahaya sepeti obor yang melayang-layang memasuki hutan seakan membuntuti bayangn hitam tadi.
“Hantu...” pekik ku tanpa sadar
Suara kaki yang terdengar sangat cepat masuk ke kamarku.
“Ada apa Intan?, kenapa kau memanggil ayah seperti orang kerasukan?” Tanya ayah ku dengan nada cemas.
“Iya, ibu saja hampir jatuh gara-gara lari mendengar kamu memanggil ayahmu sedemikian keras” Ucap ibuku yang tak kalah cemas dengan ayah.
“Yah, ibu, Intan melihat hantu yang berbentuk cahaya seperti obor masuk kedalam hutan itu. Tapi sebelumnya ada bayangan hitam yang berlari sangat cepat didepannya,” ceritaku dengan muka yang pucat pasi karena ketakutan.
“Tidak mungkin itu Intan. Masak obor terbang melayang-layang” ucap ayahku menepuk bahuku sambil berlalu menuju ke surau untuk menunaikan sahalat magrib.
“Makanya, besok-besok sedang azan magrib jangan menghayal yang bukan-bukan. Ya sudah, shalat dulu sana. Ibu tunggu dimeja makan ya,” kata ibuku mencoba menengkanku dan mengingatkanku dengan bijak.
Kulangkahkan kakiku menuju sumur dengan pikiran yang kalut. Ku basuh mukaku pelahan-lahan agar semua yang kulihat tadi sirna dari pikiranku.
Malam yang panjang yang kian mencekam membuatku tak bisa memejamkan mata. Suara-suara hewan yang terdengar seperti biasa di malam–malam yang lalu seakan menjadi suara yang begitu ngeri bagiku malam ini.
Ku pejamkan mata dengan paksa agar bisa terlelap. Namun yang terjadi semakin mata ini ku paksa semakin jelas bayang-banyan itu muncul dikelopak mata. Ku lawan dengan zikir hingga akhirnya aku terlelap.
“Assalatuhairuminannaum………Assalatuhairuminannaum …….
Suara muazzin terdengar lantang dari surau. Ternyata subuh sudah menggantikan malam. Kuangkat tubuhku berlahan-lahan bangkit dari tempat tidurku untuk segara menunaikan shalat subuh. Ibuku yang sudah di dapur tersenyum melihatku duduk di kursi sambil menguap tak henti-henti.
“Kenapa, masih ngantuk ya?” tanya ibuku kepadaku.
“Iya bu, tadi malam Intan tidak bisa memejamkan mata. Masih teringat kejadian tadi malam,” jawabku sembari mengucek mataku yang masih sembab karena kurang tidur.
Tiba-tiba urat rajinku muncul kepermukaan. Kuambil sapu, ku bersihkan rumah yang terbuat dari papan yang sudah nampak lapuk. Halaman rumah yang kecil pun kususuri dengan sapu lidi buatanku sendiri. Agar terlihat bersih di hari minggu ini.
Wieu… wieu….
Seperti suara serene polisi, pikirku dalam hari. Mataku mencari suara itu yang seakan semakin mendekat dengan keberadaanku kini. Kian dekat kian nyaring terdengar.
Trap..trap..
Suara langkah kaki mereka turun dari mobil dan berlari kearah hutan. Ku melihat polisi membagi diri menjadi beberapa kelompok tanpa komando. Senjata lengkap di badan menjadi penanda ada sesuatu yang akan mereka lakukan.
“Intan, jangan berdiri bingung di situ, masuk kerumah cepat,” terdengar suara ibuku memecahkan tekiku yang masih berdiri tegak tak bergerak.
Ku berlari masuk kedalam rumah, mencari keberadaan ibuku yang sedang bersembunyi di belakang lemari bajuku.
“Ada apa bu?” tanyaku dengan penasaran.
“Ibu saja gak tau. Tapi ibu melihat polisi bersenjata masuk kedalam hutan sejak subuh tadi. Yang baru datang ini mungkin gelombang kedua” kata ibuku memberi penjelasan dengan suara agak berbisik.
Suara tembakan terdengar seperti memecah keheningan desa kecilku. Hutan yang dianggap ngeri oleh masyarakat seakan kini dibanjiri oleh polisi.
Tiarap.. cepat…
Ku mendengar suara itu lantang dari arah luar jendela kamarku. Ku beranikan diri untuk sekedar mengintip apa yang sedang terjadi.
Bang Udin, Pak Nemo dan bang dedi sudah tiarap ditanah dengan tangan yang sudah di borgol. Kemudian mereka di bawa pergi oleh mobil polisi entah kemana.
Suasana sudah agak gaduh, kuberanikan diri untuk keluar kamar dan melihat apa yang terjadi diluar sana.
“Pak, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanyaku kepada bapak kepala desa yang berdiri tak jauh dari pintu rumahku.
“Ternyata di tengah hutan kita itu terdapat ladang ganja yang luasnya 2 hektar. Sudah siap panen.” Jawab kepala desaku dengan tak habis pikir
Rumahku yang sepi kini dipenuhi oleh warga yang penasaran tentang apa yang baru terjadi. Dua truk polisi kini sudah diisi dengan pohon ganja yang siap panen. Mungkin itu dijadikan sebagai barang bukti bahwa telah ditemukan ladang ganja didesaku.
Ku tinggalkan kehirukpukukan di halaman rumahku. Wargapu sudah kembali ke aktivitas masing-masing. Setelah shalat duhur dan makan siang akupun merebahkan badanku diperaduanku.
Pikiranku seakan mencoba menjawab apa yang kulihat tadi malam.
“Boleh ayah masuk,” suara ayahku memecahkan lamunanku disiang bolong
“Boleh ayah, silahkan,” jawabku dengan tersenyum kearahnya.
“Jadi yang Intan lihat tadi malam itu bukan hantu tapi obor yang di bawa oleh intel polisi yang sedang mengejar penanam ganja di dalam hutan. Dan yang lebih parahnya lagi mereka sudah lama menjalankan bisnis haram itu tanpa membuat masyarakat curiga. Mereka segaja menyebarkan isu tentang angkernya hutan agar tak seorang warga berani masuk ke dalam hutan tersebut.” Jelas ayahku panjang lebar tanpa ku minta.
“Bearti yang ditangkap tadi sama polisi yang menjadi tersangkanya ya ya,” tanyaku ingin mendapat kepastian.
“Itu bukan urusan kita, kalau sudah ada keterangan dari polisi baru kita tahu apa yang terjadi.” Jawab ayahku yang tidak ingin menuding.
Ayah menepuk bahuku dan keluar dengan tersenyum penuh arti. Ku kembali memeluk gulingku untuk melepas segala rasa penat yang memeluk tubuh tanpa rasa penasaran.
.......................................
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar