NISRINA,S.Pd

Nisrina,S.Pd. Kab Bireuen...

Selengkapnya
Navigasi Web
PATUNG KELUMPUHAN

PATUNG KELUMPUHAN

Namaku Alina, Aku gadis desa yang bekerja di rumah seorang majikan yang kaya raya disebuah kota besar. Disana aku cuma bertugas menjaga anak gadis majikanku yang lumpuh. Namanya Ningsih. Dia seumuran denganku. Katanya Nona Ningsih ini jatuh dari tangga ketika hendak memindahkan patung yang berada didalam kamarnya.

Majikanku selalu berusaha sepenuh hati membawa Non Ningsih berobat. Tak sengan-sengan keluar negeri pun sudah dia usahakan untuk kesembuhan putri tercintanya. Semua dokter saraf, pijat alternatif, dan terapi pun sudah pernah dijajalnya namun tidak menunjukkan hasilnya sama sekali. Yang paling anehnya disetiap diagnosa dokter menyimpulkan bahwa Non Ningsih itu tidak kenapa-napa. Akhirnya Non Ningsih di rawat di rumah saja.

Aku memang punya kebiasaan yang unik. Sehabis shalat aku senang sekali membaca Al-quran, tapi sering aku sir (melembutkan suara) agar suaraku tidak mengganggu Non Ningsih. Namun pada suatu malam aku terpaksa shalat di kamarnya non ningsih karena suhu tubuhnya naik turun dengan diselingi bahasa gawur yang tak temegerti.

Setelah shalat Insya, aku memeriksa suhu tubuhnya, berhubung suhunya sudah normal aku kembali duduk di sajadahku untuk melantunkan ayat suci al-quran. Baru beberapa ayat Yasin ku baca, aku melihat non ningsih menutup telinga dengan kuat.

Aku yang tidak mengrti terus melanjukan membaca quran. Ketika hampir habis ku baca satu lembar surat Yasinnya, ku mendengar teriakan yang lantang yang keluar dari mulut Nn Ningsih.

“Diam. Kamu diam” Non ningsih berteriak dengan mata yang melotot kearahku yang masih menggenakan mukenah.

Tuan dan nyonya dengan tergopoh-gopoh berlari kekamar Non Ningsih melihat apa yang terjadi.

“Ada apa Alina, tanya nyonya kepadaku yang masih diam tak bergerak mendengar teriakan dan melihat mata yang melotot kearahku penuh amarah.

“Gak tau nyonya. Saya cuma sedang mengaji. Baru satu lembar Non Ningsih sudah berteriak begini, saya pikir cuma mengigau.”

“Coba kamu lanjutkan lagi!” Kata tuan besar kepadaku dengan rasa ingin tahu.

Ku duduk kembali di sajadahku, kuulang kembali dari basmalah, kulantunkan ayat suci al-quran dengan rasa takut yang berkecamuk. Kini Non Ningsih berteriak semakin lantang dia meronta-ronta lebih hebat dari pada tadi.

Aku menghentikan membaca Al-quran karena rasa takut melihat tingkah Non Ningsih semakin menjadi. Namun tuan menyuruhku melanjutkan membaca Surat Yasin sampai selesai.

Teriakan demi teriakan kini berubah jadi umpatan. Kata-kata itu keluar dari mulut Non Ningsih tanpa sadar. Namun hal aneh pun terjadi ditengah umpatan kalimat yang terlontar tiba-tiba kaki Non Ningsih bergerak-gerak menghentak ranjang tidurnya. Tangannya yang lemas itu pun bergerak seperti mencari sesuatu agat bisa digenggam agar bisa menghentikanku mengaji.

Matanya mempelototiku tanpa berkedip. Akhirnya tuan memberi isyarat agar aku berhenti mengaji. Tak lama kemudian Non Ningsih diam, tenang dan kembali terkapar tidak berdaya. Kakinya kembali tidak bisa digerakkan. Suaranya kembali hilang entah kemana.

Tuan ku lihat menatap nyonya yang sedari tadi tidak berhenti menangis melihat anaknya yang bertingkah diluar nalar. Dia sangat kasihan melihat anak gadis semata wayangnya semakin terpuruk dengan penyakit yang dideritanya.

“Ma, apa sebenarnya yang tadi papa lihat” Tanya Tuan kepada Nyonya dengan penuh tanya.

“Mama juga bingung pa, kenapa Ningsih yang sudah 2 tahun lumpuh bisa menggerakkan tangan dan kakinya dengan penuh tenaga dan mengeluarkan kata-kata kotor dengan bahasa yang tidak bisa kita mengerti,” Jawab Nyonya dengan isak yang masih tersisa.

Keduanyapun pamit, karena Non Ningsih sudah kembali terlelap. Aku yang masih dengan wajah cemas pun mengajak bibi Imah menemaniku tidur di kamar Non Ningsih.

********

Keesokan paginya Non Ningsih bangun, langsung meminta makan. Dia memakan semua makanan yang ku suapi dengan lahapnya. Seakan-akan dia sudah tidak makan selama tiga hari. Padahal biasanya, makan lima suap saja bisa lebih satu jam.

Non Ningsih kembali tertidur setelah makan. Akupun menuju kembali kekamarku untuk membersihkan diri dan mungkin untuk rehat sejenak karena semalam aku bersama Bi Imah tidak bisa memejamkan mata karena takut.

“Aline, bila sudah siap mandi ke ruang depan ya ditunggu tuan dan nyonya.” Ku dengar suara Bi Imah di luar pintu kamarku.

“Ya Bi.” Jawabku singkat menuju ke kamar mandi.

Selesai mandi, aku langsung menuju ke depan menemui tuan dan nyonya. Ku lihat muka mereka sepertinya seperti sedang memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan kejadian tadi malam.

“Duduk Aline,” kata nyonya membuyarkan hayalanku.

“Saya mo nanya sesuatu sama Aline, tapi Aline jangan takut ya?” Ucap tuan yang lagi meneguk teh hangat di atas meja.

Aku cuma mengangguk sambil menunduk dengan wajah cemas yang mungkin sudah terlihat tak berwarna lagi.

“Kenapa Non Ningsih bisa seperti itu ketika mendengar ayat suci Al-quran ya?, mungkin Aline tau karena pernah sekolah di pasantren dulu?” tanya tuan dengan mimik muka serius.

“Non Ningsih mungkin kerasukan syetan tuan. Jadi harus dibawa ruqiah agar setan yang mengganggu itu pergi” Kataku spontan tanpa berpikir.

“Jangan ngomong begitu Aline, mana mungkin anak kami kerasukan setan. Kamu pikir ini desa yang masih percaya akan hal-hal mistik begitu,” Ucap nyonya dengan nada tinggi kearahku yang membuatku diam dan takut.

“Ma, mungkin benar juga kata Aline, kita khan belum mencoba mengobati Ningsih dengan cara ruqiah. Jangan marah-marah begitu, kita sedang mencari solusi untuk agar Ningsih bisa sembuh,” kata tuan mencoba menenangkan nyonya yang masih marah kepadaku.

“Ya sudah. Bereskan Non Ningsih sana. Kita bawa ruqiah hari ini juga. Kita lihat apakah perkataan kamu itu benar Aline.” Kata nyonya kepadaku sambil berlalu meninggalkan aku dan tuan yang sedang mencoba menelepon seseorang.

Aku pamit kepada tuan dan mempersiapkan segala kebutuhan Non Ningsih di dalam perjalanan nanti.

Di sepanjang perjalanan aku cuma diam sambil berdoa agar segala ketegangan ini cepat mereda dan Non Ningsih cepat sembuh. Agar kebahagian keluarga tuan dan nyonya kembali seperti dulu.

Setibanya di tempat ruqiah, Non Ningsih langsung di angkat sama pak Darmin masuk kedalam. Aku mengikuti langkahnya di belakang sambil terus berdoa agar ada kejelasan tentang penyakit yang diderita oleh Non Ningsih.

Setibanya di ruangan, mata Non Ningsih mulai melotot melihat ustad yang sedang duduk didepannya yang sudah memulai membaca basmalah. Tiba-tiba tangan Non Ningsih mengangkat tangannya seakan berusaha menampar ustad yang sedang khusyuk membaca ayat kursi. Ketika ustad melanjutkan ayat selanjutnya Non Ningsih mulai berteriak dan mengupat dengan sejadi-jadinya.

Kini pemandangan menjadi pemandangan langka selama dua tahun ini. Non Ningsih tiba-tiba duduk tanpa bantuan, kakinya yang lemas kini bergerak seakan ingin berdiri dan berlari dari hadapan ustad yang sedang meruqiahnya.

Aku kini ikut memengangi tangannya Non Ningsih yang meronta semakin menjadi. Kakinya bergerak tak karuan sambil terus berteriak kesakitan, padahal ustad Cuma membaca ayat quran sedari tadi tanpa memukul Non Ningsih.

Ketika ubun-ubunnya di pegang, kaki Non Ningsih seakan menendang sesuatu sampai-sampai tempat duduknya bergeser ke belakang. Aku yang memengangnyapun terperanjat tak karuan.

Mungkin sekitar satu jam kemudian Non Ningsih mulai agak tenang. Rancauannya mulai terdegar jelas.

“Aku tak ingin ada penghuni di rumah tuanku, apa lagi si perempuan ini ingin membuang rumahku yang khusus di ukir oleh tuanku.” Rancauan Non Ningsih sambil menunduk lemas.

“Memangnya siapa tuanmu?, dan yang diukir oleh tuanmu itu berbentuk apa?” tanya ustad dengan tegas.

“Tuanku sekarang sudah mati. Dia membuatku sebuah patung yang diletakkan didalam kamar pemujaan. Ketika keluarga ini datang dan menempati rumah itu. Patung yang menjadi rumahku hendak dibuang oleh gadis ini. Makanya aku mendorongnya hingga jatuh dari tangga dan membuat rumah baruku di tempurung lutut kakinya sehingga dia tidak bisa bergerak.” Jawab penghuni badan Non Ningsih dengan nada yang tinggi.

“Kini pergilah dari tubuh gadis malang ini. Biarkan dia hidup normal seperti naka-anak diusianya” rayu ustad itu kepada iblis yang ada di dalam tubuh Non Ningsih.

“Tidak, aku mau tetap di tubuhnya. Aku menyukainya. Badannya harum, makanan yang ada dirumahnyapun sama enak dengan makanan yang di sajikan dulu oleh tuanku,” bantahan Iblis itu dengan nada tinggi.

Penolakan itu membuat ustad melanjutkan ruqiahnya lagi, sampai akhirnya Non Ningsih tertidur mendengar lantunan ayat suci al quran yang dilantunkan oleh ustad tadi.

Kami akhirnya berangkat pulang. Alhadulillah, rona muka Non Ningsih akhirnya sudah mulai menunjukkan jati dirinya. Biarpun kini setiap hari selama seminggu kami selalu membawa Non Ningsih ke tempat ruqiah ustad itu.

Kini perubahan yang terjadi sungguh menakjubkan. Non Ningsih sudah mulai bisa berdiri walaupun masih memakai bantuan dari diriku. Wajahnya yang dulu pucat kini sudah kemerah merahan. Canda dan senyumnya kini merekah disetiap kebersamaan kami.

******

Dihari ketujuh ustad itu datang menjeguk Non Ningsih sekalian ingin memindahkan segala bentuk kesyirikan yang pernah ada di rumah tersebut. Ustad mengumpulkan seluruh benda-benda mistis disetiap sudut rumah bahkan ada yang berada didalam tanah.

Setelah terkumpulkan semua, ustad membawa benda-benda pemujaan tersebut ke halaman belakang rumah dan membakarnya sampai tidak tersisa.

Aku yang membantu ustad itu melihat kejadian aneh ketika proses pembakaran itu terjadi. Terkadang didalam asap yang mengepul dari barang-barang yang di jadikan pemujaan itu terbentuk bayangan seperti muka orang yang berteriak kesakitan, bahkan terkadang rasanya aku mendengar erangan itu seperti ingin meminta tolong kepada ustad karena kepanasan.

Muka ku yang berona berubah menjadi pucat pasi. Ustad yang melihat apa yang terjadi padaku langsung bereaksi dengan tenang.

“Minum ini nak, dan sebagian lagi basuhlah mukamu agar apa yang terlihat tadi tidak menghantuimu lagi” Ustad itu berkata sambil menyodorkan segelas air putih ke hadapanku.

Aku mengambil gelas yang berisi air putih itu tanpa basa. Ku minum air dengan membaca basmalah dan ku basuh muka ku dengan segera.

Tiba-tiba tubuhku kaku dan …

“Oh, dimana saya?” tanyaku

“Tadi kamu pingsan Aline, jawab Non Ningsih yang berada tepat di ranjang tidurku. Memangnya kamu lihat apa sih?” tanya Non Ningsih dengan penasaran.

Aku cuma bisa diam, kalau ku berkata jujur takutnya Non Ningsih ketakutan. Akhirnya ku jawab “Dak lihat apa-apa kok. Mungkin karena kepanasan karena terlalu lam berdiri dibawah terik matahari dan di depan api tadi”.

******

Hari berganti hari. Kini Non Ningsih sudah sehat seperti sediakala. Nyonyapun kini sangat baik kepadaku. Mungkin sudah bisa ku katakan seperti ibuku sendiri.

Kini aku sudah melanjutkan sekolah lagi berbarengan dengan Non Ningsih. Keakraban yang terjalin diantara kami seumpama adik kakak saja. Kami sering menghabiskan waktu untuk mengenal ilmu agama lebih dalam lagi.

Semoga kebahagian yang ku dapat ini menjadi sebuah awal baru untuk membentuk diri menjadi lebih tangguh dari yang dulu.

*****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post