Nitanel Imanuel Nokas

Lahir Di SoE, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Propinsi Nusa Tenggara Timur. pada Tanggal 01 Juni 1991. bekerja sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) di SMA Negeri 1 So...

Selengkapnya
Navigasi Web
SETITIK CAHAYA TERAKHIR

SETITIK CAHAYA TERAKHIR

Langit, kemudi dan jalanan. Teman jejaka dipangkalan sang penganggur. Yah. Itulah yang terlintas ketika ku coba mengingat ayah dari sisi realitasnya. Ini yang mungkin disebut kerasnya hidup, nasihat para tetua yang perna melewati lika-liku kehidupan terasa monoton penuh luka putus asa, akhirnya disini masih tersisa bara yang terpendam. Mungkinkah langkah yang dipaksakan pada jalan yang salah menghasilkan roda yang begitu kaku untuk melaju lebih kencang.? Yah. Menjalani kehidupan tak semudah kata-kata yang terucap. Mungkin tidak semunya benar.

Disana, di bangku pangkalan dengan cueknya dia masih duduk berpangku tangan, menanti sang penumpangnya, sorot matanya seringai penuh kesakitan nun jauh disana, perih terlihat di luka bakar kakinya yang terbuka, piluh terasa saat ku pandang. sebatang gudang garam dijepitnya diantara jari tengah dan telunjuk. Sesekali asapnya di kepul dan dengan seenaknya di hembuskan ke ruang terbuka, gelembung-gelembung asap putih membentuk bola-bola Kristal berterbangan bebas di udara dan di hempaskan sang angin dengan kekuatan penuh. Kristal-kristal itu jatuh berkeping-keping, hilang tak berjejak bersamaan dengan begitu banyaknya mimpi yang perna hadir, hari yang perna dijalanai, dan waktu yang perna diperjuangkan. Taman bunga yang pernah menghiasi jalanan kini layu termakan aspal. Kawan, ku mau bilang kalau hidup itu tak berpatok pada nasib, atau berpetak pada tanda lahir dan tak bergerak mengikuti rel yang tersimpan dikayal. Mungkin filososi Cicero terlalu tua untuk diterapkan, tapi hidup yang terkandung dalam jagat ini patut untuk disyukuri sebagai anugerah.

Arloji ditangan terus berdetak, matahari pun bertukar tempat semaunya. pangkalan masih disana. Seperti bulan yang tak pernah meninggalkan bumi dan bintang yang tak pernah meninggalkan langit atau Laut yang tak pernah meninggalkan pantai. dengan kemudinya, ayah menjejaki belokan, jalanan penuh lubang, kadang menanjak, menurun, menghempas dan tak berujung, begitu sesaknya napas yang di hela, tertunjuk rasa kecewa untuk di hembuskan kembali, setetes air mungkin menghapus raut mengjengkelkan, panas menggertak tapi gigi tak terhentak. Lukisan di wajahnya bergaris layu, kusut dan memudar, berabstark keras dan begitu kuat menghapus kontras yang memicu senyum, sepertinya pelangi tak perna datang ketika hujan berhenti tapi selalu ada syukur di setiap berkat yang datang.

Suaranya gemetar saat membagikan kisah yang penuh dengan petuah

kamu lihat jalan itu?” Tanya ayah, suatu sore di bangku pangkalan ketika matahari perlahan-lahan menghilang sambil menunjuk ujung jalan.

iya” alisku terangkat urat testaku membentuk gulungan kubik balok.

jalan itu tak berujung.!” Aku terdiam, ayah memandangku “tapi pasti ada tempat untuk disinggahi. Disitulah kamu akan merasa sedih, tangis, tawa atau senang. dan nak syukur adalah cara yang tepat ketika kita tak bisa berbuat apap-apa”

begitu menusuknya, aku terpana, dibangku itu dia masih terus mengoceh. Ketika bumi menjotos langit, warna dalam hari-harinya penuh kenikmatan ingin ku jaga nilai itu sebagai harga yang paling berharga. Ayah memang sudah terlalu tua untuk mengayuh pedal gasnya, tapi ketika dia melihatku, mimpi itu tumbu kembali, berkeliaran dalam deyut nadi dan jantung ku betul-betul berdenyut kencang ketika ku tau bahwa akulah harapan yang hidup itu.

Ketika sinar matahri hampir menghilang, dan senja melahirkan malam, ayah masih terus bercerita, aku terdiam menyimak di sampingnya.

“nak matahri itu seperti harapan, sinarnya adalah angan-angan. Ketika dia datang, kita tidak bisa mendekat, tapi kita bisa merasakan hangatnya, ketika dia tertidur, dia pergi untuk sementara. Kamu harus tau kalau terang hanyalah masalah masa dalam periodik. Dan percayalah sinarnya mampu membuat kamu bertahan dalam menepaki hidup. Setitik cahaya dapat mengalahkan berlaksa-laksa gelap.”

Sekali ini ku kembali lari bersama mimpi, melaju diantara benang-benang sejarah yang kusut, ku coba menyulam kembali satu persatu memori yang masih tersisa, dan waktu yang mungkin sudah larut saat ayah tak bercerita lagi. Tidak untuk menyesal, tapi setitik cahaya yang terpancar dari dalam kegelapan mungkin perlu untuk ku pertahankan seperti kata ayahku. Dan ayah masih disana dengan sejuta narasi yang unik, jalanan dan kemudinya adalah inspirasi. Berharap alur yang begitu kuatnya berpengaruh untuk menghasut diri ku yang terpengkal-pengkal dan hampir menyerah menghadapi hidup. Aku tak bermaksud untuk mencuri setiap bait dalam prosanya, juga tak berniat menghapus jejaka yang pernah membuat tawa. Tapi ingin ku bukukan setiap lembaran syahdu dalam kalbu, tak ingin setiap rimanya dihapus hujan yang turun. Ku ingin resapi semua memorinya dan ku pahatkan pada hari-hari ku. Karena setiap lukisan hidupnya adalah ukiran yang begitu indah, semangatnya tak pernah padam walau begitu gelapnya jalan menuju kebahagiaan. Aku sadar, ternyata kehidupan tidak di munafikan dengan taburan bunga agar terlihat indah, padahal tidaklah demikian.

Ku tau kenapa ayah selalu bergairah ketika aku disampingnya, atau saat aku menemaninya di pangkalan bahwa aku adalah harapan, aku adalah angan-angannya, aku adalah semangatnya menjejaki jalanan yang tak berujung. Karena akulah sinar itu. Iya namaku Nur, yang berarti cahaya. Cahaya yang selalu di artikan ayah sebagai harapan. Cahaya adalah kekuatan, cahaya adalah semangat dan sinarnya adalah angan-angan, dialah sinar masa depan yang harus di kejar.

Kini aku teringat akan kisah ayah, saat melewati sore dan bertemu senja, saat hujan besar mengguyur, warung kopi kita singgahi. Semua kisah itu begitu menjengkelkan untuk di ingat kembali. Ingin ku maki, dan ku teriak sekeras-kerasnya, semua kasih sayang mu adalah kepalsuan, semua pelukan mu bukan tertanda kau mencintai ku. Ingin ku pecahkan kepala ini, ku buang semua kisah itu, dan tak ku ingat lagi.

“waktu itu ayah sedang mangkal, dari kejauhan ada suara teriak, suara bayi, ayah mendekat, bayi itu di simpan dalam Dus, dan Cuma beberapa kain selimut badannya. Ayah begitu senang, ayah kira inilah Anugerah Tuhan buat ayah. Semenjak itu ayah Cuma punya kamu satu-satunya”

Jantung ku berdetak keras, kepala ku hampir pecah, saat ayah menjawab Tanya ku.

kenapa aku tak punya ibu yah?”

Di sore ini, di bangku ini, masih seperti biasanya saat ayah duduk menunggu penumpanya, sebatang gudang garam dihisapnya begitu nikmat, dan aku disana seperti yang ayah pernah lakukan.

Kupang, April 2017

Untuk Nikodemus Danial Nokas dan Yuanita Agraini Nokas (terus peliharalah harapan)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang menyentuh. Saya suka.

05 Aug
Balas

terima kasih Ibu Diana.

05 Aug

tulisan yang menginspirasi....

05 Aug
Balas

Terima Kasih Ibu Nuraeni.

07 Aug

mantap/... bawaan nih

12 Oct
Balas

Saya menikmati tulisan anda dan saya menantikan tulisan berikutnya

01 Oct
Balas



search

New Post