Noerhayati

Guru MAN 1 Model Bukittinggi ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Oh, Sabaruddin!

Oh, Sabaruddin!

Si Sabaruddin tampak berjalan hilir mudik. Dulu jualan panci. Karena tak sabar, dia berganti profesi, lalu jualan kacang abuih di bawah Jam Gadang. Kini, hendak merantau ke Jerman pula katanya, mencari salju.

Entah apa yang merasuki si Sabaruddin. Hingga negara Jerman pula yang menjadi incarannya.

"Sudah kau pikir-pikir betul untuk berangkat ke Jerman?" Tanya Abaknya petang ini.

"Sudah, Bak. Saya coba pulalah mengadu untung perasaian di nagari orang. Untung-untung terpijak pula tanah tepi."

Abak Sabaruddin diam sejenak. Ia tak mau langsung menjawab. Ia beri jeda agar air deras itu berlalu ke muara. Bak kata orang, air yang deras jangan disonsong. Bisa hanyut nanti.

Sambil memutar-mutar rokok daun nipah dengan jarinya, ia perhatikan Sabaruddin dengan sudut matanya. Ada semangat membara yang sedang menguasai diri anaknya.

"Kau pikir-pikir betullah dulu. Jangan seperti ilmu koncek (katak). Langsung melompat saja."

"Tenang sajalah, Abak. Insyaallah saya akan menjadi orang di sana."

Abak Sabaruddin semakin tak kuasa menahan keinginan anaknya yang begitu kuat untuk berangkat ke Jerman. Sementara hati kecilnya tak rela melepas anak semata wayang merantau sejauh itu. Sementara dirinya yang tua ini sudah sering sakit-sakitan.

"Apa tak ada pekerjaan lain di sini, makanya Jerman pula yang akan kau jelang?"

"Pekerjaan banyak, Bak. Cuma tak ada yang mengena di hati."

"Kalau bekerja itu kudu harus sabar. Tak bisa langsung berhasil. Ini baru sehari menggalas kacang abuih, sudah patah pucuk sekali."

"Sabar macam apa lagi ini, Bak. Sudah tipis tarompa japang saya dek berjalan, nan kacang abuih belum juga terjual agak satekong."

"Ya sabarlah. Kalau tidak sekarang, besok pasti ada yang membeli."

"Itu mah teori, Bak, teori. Kenyataannya orang lebih suka belanja di supermarket yang asoinya bermerk."

Abak Sabaruddin tak meneruskan perdebatannya. Percuma menyongsong air gadang. Jangankan surut, awak malah yang akan dihanyutkan.

Abak berdiri. Lalu, meninggalkan anaknya yang asyik bermain hp. Entah apa yang sedang dilihatnya.

"Kau tungguilah rumah sampai Amakmu pulang. Abak akan ke rumah Tek Nun sebentar."

Tek Nun adalah adik dari Abak Sabaruddin. Saudara perempuan satu-satunya. Abak sering bertandang ke rumah Tek Nun. Minimal sekali dua hari.

Sabaruddin menatap Abaknya sambil mengangguk beberapa kali.

Saat Abaknya melangkah ke halaman depan, seketika Sabaruddin teringat sesuatu.

"Abak carikan sajalah pitih untuk membeli tiket kapa tabang. Biar nanti saya telepon Uni Esty di Jerman," ucap Sabaruddin setengah bersorak.

Abak tak menyahut. Ia langsung meninggalkan Sabaruddin tanpa menoleh sedikit pun.

"Sabar. Itu kunci sukses. Pun sebagai penulis. Sabar itu berat. Bahkan si Sabaruddin pun tak kuat. (Subhan)

Abak : panggilan untuk orang tua laki-laki di Minangkabau.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennyo buk. Langsuang taragak pulang kampuang. Sukses selalu buk

23 Feb
Balas



search

New Post