[email protected]

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Petikan Nada untuk Senja

Bintang mungkin masih di sana. Temaram bulan mungkin masih ada. Bahkan mendung mungkin akan menyapa. Atau fajar yang akan menyingsing, aku nggak pernah tahu. Aku nggak tahu apa besok akan ada pelangi selepas hujan. Apa ada mentari di siang terik. Apa ada senja yang merona merah memancarkan kilau kemerahannya. Atau bahkan senja tidak lagi jingga?

Aku lupa rupa hujan.

Apa masih turun rintik-rintik atau demikian derasnya sehingga kilatan cahaya akan ikut melukis langit?

Arrrrrgggg!

Aku lupa. Sumpah aku lupa semua. Aku hanya bisa merasakan desiran angin. Aku hanya bisa merasakan dinginnya embun. Aku hanya bisa menyentuh air, tanpa tahu bagimana bentuknya.

Itu memang menyakitkan. Sangat menyakitkan.

Tapi aku masih ingat tiap sisi gitarku. Aku masih ingat warnanya. Coklat tua. Dan ada stiker-stiker yang kutempel di beberapa sisinya. Aku masih ingat aku memiliki beberapa gitar lainnya, tapi gitar tua itu yang paling sering ku gunakan. Ku petik dawai demi dawai demi mendapatkan untaian nada yang indah. Bukan semata-mata untuk kepuasaan orang lain, tetapi untuk diriku sendiri. Hidupku bersamanya. Hanya bersamanya.

Namun itu tidak berlangsung lama. Kebersamaan yang sudah belasan tahun itu hancur karena pertengkaran itu. Ingatanku mulai kabur tentang peristiwa itu. Yang aku ingat, ketika aku membuka pintu usai menonton orkestra Erwin Gutawa bersama teman-temanku, gelas atau apa lah namanya, yang pasti itu benda kaca, melayang mengenai kepalaku. Dan setelah itu aku tak sadarkan diri.

Kau mungkin menganggap aku orang yang putus asa. Hanya karena kepalaku kena pecahan kaca, aku berhenti berkarya. Tidak. Kau salah. Semua telah merenggutnya. Malam itu usai sudah kisah hidupku. Mimpiku hancur. Ya, hancur!

“Hai.”

Sapaan itu seringkali ku dengar setiap pagi. Entah dari mana datangnya gadis itu, setiap pagi ia selalu ada di taman kompleks. Dan setiap pagi ia akan menyapaku seperti ini. Aku tidak pernah membalas sapaannya. Untuk apa? Hanya untuk membuktikan padanya bahwa aku tidak mampu sepertinya?

“Kau masih bermurung?”

Aku hanya diam. Menatap ke depan. Tatapan yang entah apa kulihat. Hanya kepekatan yang mampu kupandang.

“Ah, kau terlalu kekanakan menghadapi masalahmu.”

Aku masih diam. Tidak ada respon untuknya. Karena ini bukan pertama kalinya ia menghujatku seperti saat ini.

“Ah, kau sudah dewasa. Dua puluh empat tahun cukup matang untuk menghadapi hidup sebenarnya. Kau tahu, masalah adalah sebuah pendewasaan.”

Aku tidak pernah mampu menjawab setiap tutur kata menyebalkan dari bibirnya. Ia sungguh membuatku kesal. Kesal yang aneh. Ada kenyamanan di sana. Ada keteduhan di setiap katanya.

“Hei, kau tahu?”

Aku menggeleng. Kadang ia begitu aneh, hanya dengan sepenggal kata tiada berujung yang mampu membuat aku merespon ucapannya.

“Aku punya lagu baru. Semalam ku tulis. Tunggu sebentar, aku mainkan!”

Terdengar grasak grusuk di samping kiriku. Gadis yang duduk di sampingku mungkin sedang melakukan sesuatu yang berhubungan dengan biolanya. Ya, dia pemain biola.

Jarak yang cukup dekat, dan suasana pagi yang lembab, lengang, senyap membuatku bisa mendengar hela nafasnya. Sepertinya ada yang membuatnya kesal, dan bangku taman yang kududuki ikut bergetar.

“Kenapa?” tanyaku cuek.

Ada jeda antara pertanyaanku dan jawaban klise darinya. “Tidak ada.”

Dan nada itu pun mengalir. Sendu. Sayu.

Sayup-sayup kudengar ada cerita di sana. Ada bisikan pelan. Semakin pelan. Namun terkadang seperti naga yang menghentak ke luar dari perut bumi. Ku tarik nafas panjang. Kurasakan kepalaku bergoyang pelan mengikuti irama khas biola yang mendayu-dayu ini.

Dan aku yakin, aku tersenyum.

Aku terhanyut. Pelan, aku rasakan muka ini memanas.

Entah apa. Buliran jernih di sudut mata ini berteriak bagai riak.

Dan nada itu pun diam. Sunyi. Senyap.

Kelam kurasa.

“Mengapa berhenti?” tanyaku sedikit gusar. Tak dapat kupungkiri, aku menikmati alunan itu. Menenangkan, walau ada kecewa yang kurasakan tersirat di dalamnya.

“Hei, mengapa diam saja? Biasanya kau paling cerewet!”

Kemudian nada itu pun kembali bergulir.

Aku kembali hanyut dalam rintihannya.

***

Sore ini aku duduk di tepi pantai. Adik perempuanku mungkin sedang asyik membuat istana pasir bersama teman-temannya, atau bermain ombak. Betapa mengasyikannya menjadi anak kecil seperti dia. Bebas, tanpa beban.

“Hei!”

Aku sedikit tersentak mendengar sapaan itu. Ah dia lagi. Mengapa dia selalu ada? Tiap sore dia selalu ada di pantai ini. Ah!

“Besok aku mau berangkat ke Wina. Aku mau belajar biola di sana. Kau pasti akan merindukanku. Aku dapat beasiswa sekolah di sana. Menyenangkan bukan?”

Aku menarik nafas pelan.

“Kamu nggak akan tahu rasanya jadi aku, Dinda. Ketika kamu dapat dengan leluasa menyentuh biolamu, lalu memainkan nada demi nada sambil menatap senja yang menjadi kesukaanmu. Sementara aku bisa apa? Aku bahkan tidak dapat menyentuh gitarku lagi!” Kata-kata ini ke luar saja dari bibirku. Pedih yang selama ini ku pendam seorang diri, ku lepaskan di depan seorang gadis yang baru beberapa bulan ku kenal tanpa sengaja di taman dan di pantai ini.

“Kau bahagia, Dinda? Kau beruntung bisa melihat dunia. Kau bisa melihat partitur-partitur yang kau tulis. Kau bisa mendengar segala jenis musik, memainkan biola kesayanganmu. Kau bisa mendengar lagu-lagu klasik, instrumental, bahkan kau bisa ke Wina karena biolamu!” Aku terdiam. Hanya semilir angin yang kurasakan. Tidak ada sanggahan dari gadis di sampingku.

“Rufan, kau tidak akan pernah maju jika terus meratapi masalahmu. Kau punya kemampuan yang tidak semua orang punya. Kau mungkin tidak bisa melihat dunia dengan matamu, tapi kau masih punya hati. Kau mungkin tidak bisa melihat gitar kesayanganmu, tapi kau punya hati untuk memainkan nada-nada yang kau suka. Kau mungkin tidak bisa menyentuhnya seperti dulu, tapi perlahan, kau pasti bisa melewatinya.”

Aku diam. Diam yang lama.

***

Aku tahu senja telah menua. Adik perempuanku menggandengku melangkah menyusuri pantai. Melangkah pulang ke rumah yang letaknya tidak begitu jauh.

“Kak, cewek tadi temen kakak?” Tanyanya pelan.

“Mungkin iya,” jawabku sekenanya.

“Kasihan dia ya kak,” gumammya pelan. “Aku pasti akan senang sekali kalau mengenalnya, kak.”

Langkahku terhenti. Pikiranku campur aduk. “Kasihan? Iya, kasihan dia, nggak ada kerjaan, bisanya hanya pamer kalau dia bisa main biola, sementara aku nggak. Tiap hari ketemu dia yang dia ucapkan hanya, hei aku punya lagu baru kau mau dengar? Ngomong sama dia kayak ngomong sama tembok. Cuma satu arah!” Aku kembali melangkah. “Dia itu memuakkan. Semua nasehatnya klise!”

“Kakak nggak tahu sih. Dari tadi aku perhatiin dia, sepertinya dia tuli kak, nggak bisa dengerin kata kakak. Udah gitu, kasihan dia kak, kakinya pincang, tangannya cuma satu. Tadi aku lihat dia megang biolanya susah banget. Pake kaki lho kak. Keren!”

Aku berhenti melangkah. Dinda…

Dan semua bayangan tentang Dinda yang utuh, menyebalkan segera hilang dari ingatanku.

Aku merindukan gitar kesayanganku. (Nola Pritanova)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post