Nono Purnomo

Nono Purnomo lahir di Cirebon 27 Nopember 1976, lulus S1 Pendidikan Biologi UNESA (2001) dan Lulus S2 Pendidikan Sains UNESA (2014). Penulis aktif dalam ke...

Selengkapnya
Navigasi Web
ASESMEN LITERASI SAINS

ASESMEN LITERASI SAINS

Pesatnya perkembangan industri pada abad XXI tidak lepas dari kemajuan sains dan teknologi. Berbagai penemuan di bidang Industri mampu memberi layanan kehidupan manusia ke arah yang lebih mapan. Begitu banyak keuntungan yang diperoleh manusia dengan temuan-temuan baru, namun demikian tidak sedikit permasalahan yang ditimbulkan, sebagai contoh adanya pemanasan global, pencemaran lingkungan, dan krisis energi serta dampak ekonomi politik yang menyebabkan permasalahan makin kompleks

Permasalahan yang terjadi akibat kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya Sains dalam menunjang segi kehidupan manusia. Selama ini sains hanya dipandang sebagai bidang keilmuan yang bertujuan untuk memahami alam semesta dengan cara menciptakan, membangun, dan mengorganisasikan pengetahuan secara sistematis. Pandangan ini berawal dari sifat dasar manusia yang penuh rasa ingin tahu. Dengan rasa ingin tahu inilah yang berlanjut pada penyelidikan untuk menemukan jawaban yang diinginkan.

Sayangnya beberapa produk dari hasil penelitian terlalu diexploitasi tanpa mempertimbangkan kondisi alam sehingga nasib lingkungan dan bumi di masa depan menjadi pertaruhan. Contoh dalam kasus ini seperti pemanfaatan bahan-bahan kimia dan produk-produk teknologi dalam kehidupan sehari-hari tanpa diimbangi dengan pemahaman dampak-dampak pemakaiannya terhadap diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Itulah mengapa sains menjadi sangat penting di pelajari secara utuh dan menyeluruh.

Jamak diketahui bahwa sains merupakan sebuah kumpulan pengetahuan (a body of knowledge), cara atau jalan berpikir (a way of thinking), dan cara untuk penyelidikan (a way of investigating) sehingga sains dapat dipandang dalam tiga kategori yakni, sains sebagai produk, sains sebagai suatu proses, dan sains sebagai sikap ilmiah.

Dari ketiga sudut pandang itulah seharusnya sains dipelajari secara utuh dan menyeluruh. Pertanyaannya sudahkah hal ini dilaksanakan di sekolah? Menjawab pertanyaan ini, tentu harus berangkat dari kajian literasi sains yaitu kehadiran sains yang membentuk perilaku dan karakter manusia untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap dirinya, masyarakat, dan alam semesta.

Saat ini diketahui bahwa literasi sains dalam pembelajaran di Indonesia dipersepsikan hanya dalam pembelajaran IPA. Sementara itu pembelajaran IPA sebagian besar terbatas pada buku ajar, hal ini disebabkan oleh adanya interpretasi sempit terkait dengan PP No. 13 tahun 2015 pasal I ayat 23 yang menjelaskan bahwa buku teks pelajaran adalah sumber pembelajaran utama untuk mencapai kompetensi dasar dan kompetensi inti. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar guru memahami bahwa buku teks pelajaran menjadi satu-satunya bahan ajar sehingga pembelajaran IPA belum menerapkan pendekatan saintifik dan inkuiri secara konsisten dan menyeluruh.

Kondisi ini sangat bertentangan dengan konsep literasi sains yang dilaksanakan oleh Programme for Internasional Student Assessment (PISA) salah satu program yang dilaksanakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) suatu lembaga Internasional bidang kerjasama dan pembangunan ekonomi yang dalam tahun 2019 beranggotakan 79 Negara.

Mengapa Framework PISA dirujuk dalam Asesmen literasi Sains ini? Hal ini dapat dimaklumi bahwa indikator yang diterapkan oleh kemendikbud dalam salah satu capaian literasi sains di sekolah berbasis kelas adalah adanya skor literasi sains dalam PISA/TIMSS/INAP.

Literasi Sains menurut PISA diartikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta mebuat keputusan tentang sains dan perubahan yang dilakukan terhadap sains melalui aktivitas manusia.

Definisi literasi sains ini memandang literasi bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu PISA juga menilai pemahaman siswa terhadap karakterisktik sains sebagai penyelidikan ilmiah, dan cara berpikir akan kesadaran betapa sains dan teknologi membentuk manusia yang reflektif akan lingkungan material, intelektual dan budaya.

Jadi hakikat literasi sains itu dapat dipandang sebagai kemampuan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan serta untuk menganalisis, bernalar dan berkomunikasi secara efektif apabila dihadapkan pada suatu masalah dan harus menyeleseikan serta menginterpretasi masalah pada berbagai situasi.

Melihat kondisi yang demikian, maka pembelajaran sains di sekolah harus didesain untuk mampu menerapkan ketiga aspek sains sebagai produk, sains sebagai proses, dan sains sebagai sikap ilmiah sehingga menghasilkan output peserta didik yang tanggap dengan perilaku sains dengan tantangan yang dihadapi masyarakat.

Adapun untuk mengukur sejauh mana keberhasilan pembelajaran sains dari ketiga ranah tersebut, tentu diperlukan asesmen yang menjangkau ketiga aspek itu juga. Tidak dapat dipungkiri seringkali asesmen yang dilaksanakan dalam pembelajaran sains masih bersifat parsial, belum menyentuh ketiga ranah, sehingga dapat ditebak hasil dari asesmen literasi sains juga masih rendah dan belum memberikan hasil yang memuaskan.

Mengutip hasil survey PISA dua periode terakhir diketahui bahwa pada hasil PISA 2015 menunjukkan rata-rata nilai sains negara OECD adalah 493, sedangkan Indonesia baru mencapai skor 403, sementara tiga tahun berikutnya di 2018 rata-rata nilai sains negara OECD sebesar 489 sedangkan Indonesia mendapat skor 379. Untuk itulah Asesmen literasi dalam bingkai pembelajaran harus diperkuat. Bagaimana caranya?

ASESMEN LITERASI SAINS

Untuk menghasilkan asesmen literasi yang baik tentu selain pola pembelajaran yang mengadopsi sains secara menyeluruh dari ketiga aspek sains, juga melibatkan asesmen yang mengukur ketiganya. Pembelajaran yang dilakukan mengarahkan peserta didik mampu menguasai sains sebagai ilmu pengetahuan, cakap dalam berpikir secara ilmiah, dan bersikap secara ilmiah dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi baik pada dirinya maupun permasalahan yang ada dimasyarakat.

Dalam mencapai kondisi tersebut haruslah asesmen yang dilakukan sesuai juga dengan pola pembelajaran yang diberikan, yaitu asesmen literasi sains yang harus menyentuh ketiganya. Selama ini proses penilaian yang dilaksanakan di sekolah sudah diarahkan pada 3 aspek penilaian. Dalam permendikbud no 23 tahun 2016, tentang standar penilaian pendidikan pasal 3 ayat 1 menyebutkan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah meliputi aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketiga aspek ini harus berlangsung semua dan tidak boleh ada satu yang ditinggalkan.

Apakah selama ini sudah berjalan sesuai dengan kaidah yang ada? Menjawab pertanyaan ini rasanya belum semua aspek yang dipersyaratkan untuk digunakan sebagai standar penilaian dilaksanakan sengan baik. Rendahnya hasil asesmen dari PISA sudah cukup menjadi bukti nyata bahwa penilaian masih harus diperbaiki kualitasnya. Salah satu upaya dalam perbaikan itu perlunya Instrumen literasi sains yang lebih baik dan bisa mengacu pada standar yang dimiliki PISA.

Adapun asesmen literasi sains yang perlu dilakukan agar peserta didik memenuhi kualifikasi asesmen PISA dan sejalan dengan penilaian sains yaitu berdasarkan tiga aspek antara lain; the knowledge of science (pengetahuan sains), The investigative nature of science (penyelidikan tentang hakikat sains), science as a way of thinking (sains sebagai cara berpikir). Ketiganya dapat diukur dengan tes obyektif (pilihan ganda), tes uraian, tes sikap dan keterampilan.

Tes obyektif dan tes uraian dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pengetahuan sains, sedangkan tes unjuk kerja dapat digunakan dalam menilai tes sikap dan keterampilan. Dari ketiga tes tersebut, tampaknya selama ini dominasi hasil tes masih ada pada pengetahuan sains, sementara unjuk kerja yang mampu memberikan hasil berupa proses sains dan sikap ilmiah sering kali masih terabaikan dan kurang dilaksanakan secara maksimal.

Hasilnya dapat ditebak, banyak peserta didik yang mungkin saja cakap akan pengetahuan sains namun banyak yang sulit bersikap ilmiah dalam menghadapi permasalahan kontektual yang ada di masyarakat. Momentum adanya pergeseran penilaian dari Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) berupa numerasi dan literasi serta survei karakter siswa akan menjadi landasan baru bagi Asesmen literasi Sains agar lebih optimal dalam menghasilkan tiga aspek sains sebagai produk, proses, dan sikap ilmiah. Tentu semua itu tetap harus berlangsung dalam bingkai pembelajaran, dan sudah saatnya kita perlu bertindak untuk mulai mencobanya. Bagaimana?!!!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Untuk penulisan.... Alurnya masih ada yang tumpang tindih dan juga beberapa maju...mundur...maju lagi.... Mungkin lain waktu diperhitungkan kerangka tulisannya agar pembaca lebih nyaman untuk berinteraksi dengan njenengan salal literasi

29 Sep
Balas

Terima kasih masukannya Bu Yeti....

29 Sep

Artikel yang luar biasa pak. Sangat bermanfaat. Terima kasih telah berbagi. Sukses selalu

29 Sep
Balas

Terima kasih Pak Sukadi, semoga manfaat....

29 Sep



search

New Post