Novia dwining wijayanti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pecinta Dunia pun MakhlukNya (part 1)

Pecinta Dunia pun MakhlukNya (part 1)

Lelaki setengah baya berjalan gontai menelusuri lorong Kota Malang. Legam wajahnya, lekuk garis wajah begitu terlihat, tanda kelelahan dalam menjalani hidup di kota besar. Suradi, lelaki berkumis tebal, muka garang, lulusan SD yang menggantungkan hidup di lahan parkir Pasar Besar Malang.

Malam itu, Ia baru saja menghabiskan waktu dengan menegak minuman keras bersama rekan kerjanya di pelataran Alun-Alun. Begitulah Suradi mengisi hari-hari seusai kerja. Tak terasa berpuluh air terlarang ia teguk malam itu. Hingga ia merasakan pusing yang tak terhingga.

“ Marni… Marni!” teriaknya sambil mengetuk pintu kontrakan. Seorang wanita muda, pemuja Suradi dengan keras membukakan pintu untuknya.

Awakmu iki, mabuk thok ae, penggaweanmu1!” jawab marni

Koen iku ojo kakean cocot!” balas Suradi sambil ia berlalu masuk rumah kecil itu. Aroma khas “Kuntul” sangat menyengat tercium kala Suradi mebuka mulutnya.

“ Aku minta uang belanja besok, Mas!” kata Marni menghampiri suami sirinya yang sedang tidur tengkurap.

“ Halah…. Kamu itu uang-uang mulu!” jawab Suradi dengan keras. Wanita jebolan kawasan Stasiun Kotalama itu hanya terdiam. Berkali-kali Marni meminta uang hanya sekedar untuk makan, Suradi tak pernah menghiraukan. Hal itu yang membuat Marni kadang ingin kembali ke lembah hitam itu.

“ Mas, aku belum makan malam.” bujuk Marni lembut merayu. Rayuan yang selalu membuat Suradi luluh. Rayuan yang membuat Suradi tetap di sisi Marni, meski kadang ia muak dengan sikap istrinya yang masih suka melirik lelaki hidung belang kala Suradi bekerja.

Mendengar rayuan Marni, Suradi menyodorkan uang lima puluh ribuan.

“ Hah…. Mas, beneran nih Mas kasih uang ini buat aku?” tanya Marni dengan heran.

“ Iya! Sudah kamu beli nasi di warung Mbok Legi. Aku mau tidur. Pusing.” Jawab Suradi.

Perempuan iitu berjalan, sinar bohlam menyinari kulit coklat seksinya. Bau busuk keringat Suradi bercampur bau minuman Ia tinggalkan.

Di tengah tidur pulasnya, Ia merasa ada yang membangunkan. Seorang lelaki tua, rambut beruban, berbalut kain putih sudah ada di depan matanya.

Le, bangun Le!” kata lelaki tua itu.

“ Heh.” Suradi bangun dari tidurnya tergagap-gagap. “ Siapa sampeyan, Pak?” tambahnya dengan heran.

“ Sudah, ayo ikut aku, Le?” ajak Bapak yang tak dikenal Suradi seraya memegang tangan Suradi keluar rumah. Tanpa penolakan Suradi mengikuti langkah kaki lelaki tua itu.

“ Ayo jalan-jalan denganku” kata Bapak itu.

Mendengar kata jalan-jalan Suradi merasa riang. “ Wah, bakal makan enak nih?” pikirnya.

Dalam perjalanan Suradi dan Bapak itu tidak menaiki kendaraan apapun. Mereka berjalan kaki. Di telusurinya seluruh sisi kota. Setelah berjalan berpuluh meter, Bapak itu berhenti.

“ Lihatlah Suradi, itu teman-temanmu sedang asyik minum.” katanya

“ Wah, Pak aku sudah gak kuat minum lagi. Tadi aku sudah habis sepuluh botol Kuntul dioplos dengan soda.” jawab Suradi.

“ Loh.. bukannya kamu maniak Kuntul?” tanya Bapak itu lagi

“ Ya suka, Pak! Tapi jangan sekarang. Kalau besok aku bisa, aku kuat.”

“ Kalau begitu kita duduk disini saja, melihat teman-temanmu dari jauh.” tambah Bapak tua.

Mereka berdua duduk tak begitu jauh dari teman-teman Suradi. Mereka berdua melihat apa saja yang terjadi di sana. Ada yang minum sambil terawa terbahak-bahak. Ada yang duduk bersila menegak minuman itu tanpa henti. Kira-kira ada lima orang menikmati malam dengan beberapa jenis minuman.

“ Kenapa kita duduk di sini, Pak?” tanya Suradi penuh tanya.

“ Sudahlah, kamu cukup diam dan lihat teman-temanmu di sana.” jawab Bapak.

Tak berapa lama Suradi melihat teman-temannya lari bak kuda liar Sumba.secepat kilat mereka menjauhi lingkar setan penggiur kenikmatan.

“ Lho, Pak? Apa yang terjadi pada mereka? “ tanya Suradi “ Mengapa mereka berlarian seperti maling yang tertangkap keamanan?” tambahnya

“ Lihat saja kamu akan tahu semua, Suradi” jawab Sang Bapak Tua.

Masih dengan rasa heran berkecamuk ingin memeluk sebuah jawaban, namun tercekik. Suradi menahan segala tetap dalam teremayam dalam seonggok daging merahnya.

Detik-detik waktu melaju bak seekor siput berjalan bagi lelaki kumis tebal itu. Kembali ia di cengangkan dengan apa yang terlihat di depannya. Suradi melihat teman-teman kentalnya menuju rumah yang taka sing lagi

“ Itu kan rumahku! Mengapa mereka mendatangi gubuk reot itu?’ pikirnya. “ Pasti tikus-tikus jalanan itu ingin menikmati keju dalam rumahku.” Tambahnya. Lelaki hobi Permanent Body Painting tak berani bertanya. Walau seribu tanya jejali pusat syarafnya, ia tetap diam.

Tak butuh waktu , Suradi menyaksikan tubuhnya digotong keluar para karibnya.

“ Hah, berani-beraninya krucuk-krucuk itu menyentuhkan tangan haramnya pada tubuhku!” teriaknya memecah sunyi malam. Badan bongsornya beranjak dari duduknya. Sebuah tangan halus Bapak tua berbalur aroma klasik menahan bahu Suradi.

“ Tetaplah duduk dan lihat.” Kata lembut Bapak tua.

“ Tapi mereka anthek-anthekku Pak Tua!. Tak pantas tangan kotor mereka menyentuhku.” Kali ini Suradi, bos mafia parkir Malang Kota, tak dapat membendung amarahnya.

“ Baiklah, dengarkan aku baik-baik Suradi!” kata Bapak tua. “ Tidakkah kau sadari dimanakah kamu saat ini?” tanyanya

“ Kenapa kau bertanya Pak tua? Engkau yang mengajakku duduk di atas rel Kali Brantas ini. Kau suruh aku untuk melihat temanku mengangkat tubuhku disana.” teriak Suradi.

Penuh kelembutan salju turun di musim dingin, Bapak tua kembali bertanya, “ jika kamu sekarang bersamaku disini, lalu siapa yang mereka gotong itu? Akankah Maha Agung menciptakan manusia yang sama menjadi dua?”

Suradi bingung.

“ Tahukah engkau anak lanang, itu adalah tubuhmu, jasadmu, sedang ini adlah jiwamu.” sambil menunjuk Bapk tua berkata, “ Aku adalah utusan Allah yang harus membawamu kembali kepada haqNya.” Tambahnya.

Daging putih yang bersarang di kepala Suradi tak mampu menerima penjelasan itu, Segumpal daging di tulang kerasnya mencoba berpikir keras.

“ Pak tua, jika dia adalah tubuhku dan aku jiwanya. Mengapa aku tidak bersatu dengannya? “ tanya Suradi. “ Untuk apa Engkau bawaku kembali ke Haqku? Siapa dia yang kau namai Haq?’” imbunya.

“ Manusia bisa dikatakan hidup jika jiwa raganya bersatu. Beberapa detik lalu jiwamu ku ambil dari ragamu, Suradi!”

“ Apa? Apa ini sama artinya aku sudah mati?”

“ Ya, Suradi.”

Petir menggelegar memecah cakrawala malam. Suradi tak dapat menerima apa yang telah di gariskan. Apa yang telah Allah kalamkan dalam balutan Qada dan Qadar. Lelaki kekar berbalut kulit terbakar terik panas aspal Malang, belum ingin kembali pada PenciptaNya.

Laksana gulungan klise yang tercecer kembali tersusun rapi, tontonan bioskop indah jalan hidup Suradi. Satu demi satu slide kehidupan kelamnya antri berjajar tampil di pelupuk mata. Frame-frame berpigurakan dunia terus menayangkan apa yang telah Suradi lakukan. Suradi teriak sekeras badai membawa bah yang membuncah dalam kalbunya. Derai air pelumas kornea tak kunjung berhenti dari pelupuk mata.

“ Gusti…… Allah, aku belum mau mati. Aku masih banyak dosa, padaMu Gusti.”pekiknya.

“ Semua sudah terlambat bagimu wahai seonggok daging dari tanah.” Ucap Bapak tua.

“ Jangan Bapak tua, aku ingin menemui istriku, Marni.” cetus Suradi merengek.” Aku belum pernah membahagiakan wanitaku itu.” tambahnya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post