Novia Elga Rizqiya

Guru muda biasa yang senang menulis dan membaca....

Selengkapnya
Navigasi Web

Insecure

INSECURE

“Pernah nggak sih ? kamu ngerasa menjadi manusia paling buruk di dunia ini. Manusia yang paling nggak berguna dan mungkin nggak pantes buat dicintai siapa aja.”

“Eh buruan, kurang satu stasiun lagi kita turun nih !” Leksa menyeru Ara.

“Eh beneran. Cepet banget nyampeknya.” Ara membereskan headset dan bukunya.

“Ra, kita udah 13 jam di kereta kamu bilang cepet ?”

“Hehe.” Ara tersenyum sambil merapikan kacamatanya kembali.

“Sa. Habis ini kita kemana ?”

“Ke temen-temenlah. Mereka udah nungguin kita dari jam 10 malem.”

Saat itu Jakarta sedang berada di pukul 02.00 dini hari. Jujur saja, Ara sebenarnya malas bertemu orang lain. Bahkan kegiatannya kali ini saja hanya karena Ia ingin mencari suasana baru. Selain di kosannya yang sempit dan penuh buku usang yang selesai dibacanya.

“Sa. Aku nggak ikut ya. Nungguin di masjid aja.”

“Dih, ngapain sih Ra. Kan mau ketemu temen-temen kita. Anak Jakarta, Semarang, Yogya, Makassar, Solo. Kamu nggak tertarik ketemu mereka ?”

“Enggak.” Ara masih sibuk dengan headset dan smartphone nya seakan acuh dengan suasana Jakarta yang cukup dingin.

“Pokoknya kamu harus ikut.” Leksa memaksa Ara.

“Ya deh.” Akhirnya ia pun mau ikut menemui kawan-kawannya bersama Leksa.

Kereta sudah tiba di Stasiun Pasar Senen. Leksa dan Ara membawa kopernya masing-masing. Ara yang sangat malas menemui orang pun melangkah pelan bersama lagu klasik kesukaannya.

“Buruan ah Ra. Lama banget jalannya. Wkwk.” Leksa menggoda Ara yang sedari tadi bermuka malas.

“Iya.” Singkat. Ara tidak ingin bertemu dengan orang lain bukan karena dia sombong atau acuh. Hanya saja, ia tidak percaya diri dengan apa yang ada padanya saat itu.

“Hei ! ini ya yang anak dari Surabaya.”

“Iya nih.” Seperti biasanya, Leksa sangat humble dengan orang lain. Entah sudah kenal lama aau bahkan baru ketemu lima menit yang lalu.

“Aku Dhito. Kenalin ini Rey, ini Hima, ini Jo, ini Nay, dan ini Rizky.” Dhito mengenalkan sekumpulan anak muda yang kebetulan akan menjadi kawan Ara untuk sebulan ke depan.

“Lah kamu siapa namanya ?” Dhito memberikan tangannya ke Ara. Ingin bersalaman.

“Aku Ara.” Ia hanya senyum saja. Hari itu, dia benar-benar merasa capek. Ditambah lagi dengan melihat kawan-kawannya yang ternyata sangat cantik. Ya. Tidak ada yang jelek bagi Ara. Hanya dia saja yang gemuk, hitam, dan bermata panda. Ia hanya terdiam.

“Sini dong Ra. Ada roti nih. Udah makan belum ?” Nay menyodorkan roti bekalnya dari Solo.

“Udah makan. Makasih”. Ara hanya tersenyum. Ia merasa salah ruang. Salah memilih event. Dia yang sebelumnya sangat tidak suka keramaian menjadi harus berkomunikasi dengan banyak orang. Sesekali, Ia melihat sekitarnya. Menunduk kembali. Melihat lagi dan menunduk lagi.

“Kalian berangkat dari Surabaya jamberapa nih ?” Dhito memecahkan keheningan.

“Jam 11 Siang nih. Sampek sekarang baru nyampek disini. Gokil banget. Si Ara bisa tidur tiga kali di kereta. Aku boro-boro mau tidur, duduk di kereta ekonomi aja bikin sakit encokku kumat.” Leksa tertawa.

“Siapa suruh naik kereta ekonomi Sa. Hahaha.” Dhito menjawab leksa dengan tertawa juga. Akhirnya Rey, Hima, Jo, Nay, dan Rizky pun ikut tertawa. Namun, tidak dengan Ara. Ia hanya tersenyum biasa untuk mengimbangi kawan-kawannya yang tertawa lepas.

“Eh yaudah ya. Kita mau sholat dulu.” Leksa berpamit pada kawan-kawannya yang baru saja menyapa untuk pergi ke masjid dekat tempatnya berkumpul.

“Oke Sa.” Hima menjawab.

“Kamu ikut Ra ?” Rey bertanya pada Ara.

“Cieee. Cuma tanya ke Ara doang nih. Gercep amat bro.” Jo mencoba untuk semakin mencairkan suasana kembali.

“Yeilah. Baru aja ngomong.” Rey menggaruk-garuk kepalanya.

“Iya ikut.” Ara menjawa Rey yang tadi bertanya.

“Tasnya taruh sini aja kali.” Rey mengingatkan Ara yang masih menenteng tas besar miliknya.

“Tuh kan. Ara lagi…!” Jo menertawakan Rey yang sedari tadi hanya diam dan baru bicara karena bertanya kepada Ara.

“Ah. Gak jadi ngomong deh.” Rey merapikan jaketnya.

“Dah yuk Ra. Eh kita duluan ya. Dah mau subuh. Kita belum sholat dari Maghrib nih. Hahaha.” Leksa bergegas menarik tangan Ara.

“Oke oke. Kamu inget jalan balik kan ?” Dhito meyakinkan Leksa.

“Inget.” Akhirnya Leksa dan Ara pun ke mushola.

Leksa dan Ara segera mengambil air wudhu. Tiba-tiba Leksa memulai pembicaraan.

“Eh Ra. Kamu kenapa tadi kayak nggak ngikutin pembicaraan sih ? Orang pada ketawa, kamu diem aja.” Leksa penasaran dengan Ara.

“Nggakpapa.” Ara menjawab.

“Galau ? Gara-gara jomblo ? Yeilah sama kali Ra. Nggak usah galau.” Leksa meledek dengan niat bercanda.

“Bukan Sa.”

“Lah trus apa ?” Leksa masih saja penasaran.

“Nggakpapa.” Ara menjawabnya kembali dengan wajah datar.

“Yuklah sholat dulu.” Ara menimpali pembicaraan Leksa sebelum Ia kembali menanyakan banyak hal pada Ara.

“Ya deh…” Leksa tersenyum.

Sepuluh menit kemudian. Ara dan Leksa merapikan mukenanya dan kembali melihat kaca untuk sekedar memakai hijab yang dikenakannya.

“Ra.” Leksa memulai pembicaraan kembali.

“Paan ?” Ara menjawabnya. Tetap dengan wajah datarnya.

“What do you feel Ra ?”

“Nggakpapa.” Ara menjawab dengan jawaban yang sama untuk ketiga kalinya.

“Eh Ra, aku mau tanya dong.” Leksa kembali menjawab Ara yang masih merapikan pakaiannya.

“Iya apa Sa ?” Pandangannya beralih ke Leksa.

“Kenapa kamu makan ?” Tanya Leksa.

“Karena lapar lah.” Ara tertawa.

“Nah… Maksud aku, kalo ada orang nanya kenapa itu jawabannya karena. Bukan Nggakpapa…” Leksa tertawa.

“Iya Leksa…” Ia tersenyum.

“Senyum kamu manis banget loh Ra. Aku aja kalo jadi cowok bakal nembak kamu. Wkwk. Senyum dong.” Leksa menggoda Ara.

“Aku gak pede aja Sa.” Ara kembali murung.

“Kamu tau sendiri kan ? anak-anak tadi gimana. Cantik banget mereka. Nggak ada yang kucel kayak aku.” Ara menambahkan kalimatnya.

“Lah. Kayak aku apa kayak kita ?” Leksa tertawa.

“Kayak Aku Sa.” Ara murung.

“Dih Ara. Kamu ngapain sih jadi gak pede gitu. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing kali Ra…” Leksa tersenyum pada Ara.

“Iya. Tapi… Aku ngerasa kayak salah room aja disini.” Ara menatap Leksa.

“Udah…Dibawa santai aja Ara. Kita kan kesini buat seneng-seneng sebulan ke depan. Kita bakal ke luar negeri sama mereka loh selama sebulan. Masak kamu mau terus-terusan murung kayak gitu ?” Leksa menenangkan.

“Aku ngerasa jadi manusia paling burik aja sih Sa.” Ara menjawab Leksa sembari memakai kaos kakinya.

“Ara… Jangan gitu ah. Cantik itu relatif. Senyum dong.” Leksa mencoba menghibur Ara.

“Makasih Sa. Udah peduli.” Ara kembali memakai headsetnya.

Setelah selesai sholat, Ara dan Leksa pun kembali ke tempat berkumpul teman-temannya. Jo dan Rizky sudah tertidur di kursi panjang sebelah tas Dhito. Dan Rey masih sibuk bermain smartphone.

“Udah sholatnya ?” Rey bertanya pada Ara.

“Udah.” Ara menjawab.

Leksa, Nay dan Hima ke toilet, Akhirnya Ara pun duduk di kursi panjang. Musik yang didengarkan sedikit lebih kencang volumenya. Sengaja karena memang hari itu adalah hari yang tidak terlalu baik baginya.

“Rey. Aku tidur dulu ya.” Dhito pamit pada Rey yang masih sibuk bermain smartphone.

“Ra. Duluan ya.” Ia juga berpamitan pada Ara.

“Okey.” Tanpa disengaja, jawaban Rey dan Ara serempak, kemudian mereka berdua bertatapan. Dan saling tersenyum.

“Ara ?” Rey mengirim satu pesan singkat kepada cewek yang baru saja datang dari luar kota itu. Ya. Kontak yang sebelumnya masih tanpa nama. Menjadi tertulis “Ara”.

Pesan itu masih belum terbaca hingga pukul 06.00 pagi. Maklum, smartphone Ara hanya digunakan untuk memindah musik kesukaannya. Lagian tadi ketika chatt Rey masuk juga Ara sudah tertidur di pojokan.

“Ya. Aku.” Akhirnya pesan Rey dibalas oleh Ara pukul 06.09 Pagi.

“Kita turun Citayam kan Rey ?” Balasnya lagi.

“Iya Ara. Dua stasiun lagi.” Rey membalas pesan Ara.

KRL melaju dengan cukup cepat. Penuh dan sangat padat. Hari itu cerah, namun tetap saja membuat Ara semakin tidak percaya diri. Ia memandangi dirinya sendiri, kemudian melihat sekitarnya. Teman Ara yang lain sangat ceria, dengan smartphone canggihnya dan gaya model kekinian. Sangat berbanding terbalik dengan Ara. Pesan Rey hanya dibaca oleh Ara. Ia pun kembali membalas dengan mengirim gambar rute KRL Jakarta menuju Depok.

“Ini Ra.” Rey mengirim gambar pada Ara.

“Makasih.” Ara menjawab.

“Sama-sama Ara.” Rey langsung menjawabnya.

Akhirnya mereka sudah sampai di stasiun citayam. Ara yang dengan wajah murung membawa tas besarnya.

“Mau dibantuin ?” Rey menawarkan bantuan pada Ara.

“Nggak usah.” Ara menjawabnya dengan sedikit tersenyum

“Okey. Aku di belakang kamu.” Rey menjawab.

“Ngapain ?” Ara heran.

“Kalau kamu butuh bantuan sewaktu-waktu, tinggal nengok ke belakang aja.”

“Oh.” Ara akhirnya melanjutkan langkahnya.

Hima, Nay, dan Leksa daritadi sudah berada di depan bersama Jo dan lainnya. Hanya Ara dan Rey saja yang sedikit tertinggal di belakang.

“Kamu duluan aja.” Ara menyuruh Rey untuk jalan lebih cepat.

“No. aku disini aja” Rey menjawab.

Jujur saja, Ara merasa tidak percaya diri dengan adanya Rey di belakang Ara. Ia merasa seperti salah dalam mengikuti acara ini. Bajunya yang sederhana dan wajah yang menurutnya tidak secantik teman-teman lainnya, membuat semakin kesal dan ingin kembali saja. Ara terus saja murung dengan atau tidak adanya Rey di belakangnya.

“Ra. Kamu nggak laper apa ?” Rey memulai pembicaraan.

“Laper sih.” Ara menjawab.

“Yaudah kita mampir dulu ke warung depan situ yuk.” Rey mengajak Ara.

“Enggak deh.” Ara menolak Rey. Sekali lagi, ia sangat tidak percaya diri untuk bergaul dengan teman-temannya.

“Ayolah Ra. Enak loh pagi-pagi makan nasi padang.” Rey tersenyum pada Ara.

“Trus temen-temen gimana ?” Ara menoleh ke belakang.

“Mereka udah pada gede kali Ra. Kita kabarin Jo aja nanti kalo belakangan ke tempat pelatihannya.” Rey mencoba meyakinkan Ara.

“Hmmmm oke baiklah.” Ara akhirnya menyetujui ajakan Rey untuk makan nasi padang di pagi itu.

Rey mengeluarkan smartphone-nya dan memulai percakapan Whatsapp pada kontak yang dinamainya “Jo”.

“Jo. Aku sama Ara beli makan. Kalian duluan aja.” Pesan itu dikirimkan Rey kepada Jo.

“Oke Rey.” Tidak ada sepuluh menit jawaban Jo masuk di smartphone Rey.

Ara masih saja memakai headsetnya dan mengotak-atik smartphonenya yang sebenarnya tidak ada notifikasi apapun kecuali lagu yang dinyalakannya. Rey pun kembali memulai pembicaraan.

“Lepas dong headsetnya Ra. Ada manusia nih di samping kamu.” Rey tertawa kecil.

“Hmmmm. Iya” Ara tersenyum malu sambil perlahan melepas headsetnya.

“Ra. Maafin aku ya ngajakin kamu makan.” Rey mencoba memulai pembicaraan kembali.

“Nggakpapa.” Ara menjawab.

“Aku tertarik sama kamu Ra. Boleh aku deketin kamu ?” Rey mengatakan sesuatu yang membuat Ara langsung terdiam.

“Ra. Ada manusia lagi ngomong sama kamu.” Rey kembali menambahi.

“Aku jelek.” Ara menjawab.

“Ra. Boleh aku deketin kamu ?” Rey kembali bertanya.

“Aku nggak secantik mereka. Aku gendut, kusam, nggak modis lagi. Aku malu Rey. Bahkan untuk memulai pembicaraan dengan mereka aku nggak tau mau ngomong apa.” Ara kembali murung.

“Kamu cantik Ra. Menarik.”

“Rey asalkan kamu tau. Bahkan sampai saat ini aku masih ingin kembali ke kotaku. Aku seperti salah ruang. Aku…. Ah sudahlah.” Ara tiba-tiba menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Ra. Boleh aku deketin kamu ?” Untuk ketiga kalinya Rey mengatakan itu kepada Ara.

“Apa kamu sedang bercanda ?” Ara mencoba meyakinkan dirinya.

“Kamu menarik Ra. Sejak kamu datang pertama kali di hadapanku, hingga saat ini. Terima kasih Ra, sudah hadir.” Rey tersenyum.

“Apa kamu tidak melihat bahwa aku sangat buruk rupa ?”

“Ra. Boleh aku deketin kamu ?” Rey kembali bertanya.

“Terima kasih sudah menganggapku ada Rey.” Ara tersenyum.

“Kamu tau ? Senyum kamu manis banget Ra. Aku suka. Jangan ngerasa insecure lagi. Saat kamu dan Leksa ke mushola kemarin aku kepoin kamu lewat ig, twitter, dan profil kamu di media sosial loh. Kamu pinter nulis juga ya. Udah manis, pinter nulis lagi. Semua orang punya kelebihan dan gayanya sendiri-sendiri Ara. Dan aku menyukai segala yang ada pada dirimu.”

Percakapan keduanya berlanjut. Hingga sebulan di negeri orang pun masih tetap berlanjut. Rey tetap seperti yang Ara kenal. Hanya saja sekarang Ara tau bahwa semua pasti pernah ngerasa lebih buruk dari orang lain. Entah sepintas, atau bahkan sampai sekarang. Dan… disaat seperti itu, berarti diri kita sedang membanding-bandingkan dengan orang lain. Yang jelas-jelas tidak akan pernah sama dengan kita. Orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kita dengan segala perbedaan yang tentunya juga memiliki kelebihan.

Rey mengajarkan kepada Ara bahwa diantara milyaran manusia yang hidup di dunia. Kita hanya perlu untuk menerima dan bukan menuntut diri kita untuk menjadi sama dengan mereka. Just be your self ! dengan apa adanya diri kita. Bahkan ketika Ara menganggap dirinya sangat buruk, ada seorang Rey yang mampu mengalihkannya menjadi lebih baik. “Terima Kasih Rey” Ucap Ara dalam hati.

Ara tau bahwa di dunia ini tidak akan pernah ada yang sempurna. Ia hanya tau bahwa semua orang memiliki jalan cerita hidupnya masing-masing. Melakukan apapun dengan sebaik-baiknya dan mencoba bersyukur atas segalanya adalah cara untuk tidak merasa terus-terusan insecure.

“Cukup berdamai dengan diri sendiri. Jangan bandingin orang lain dengan diri sendiri”

ARA.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yg dikemas dg apik. Sukses Bunda

01 Sep
Balas



search

New Post