Tidak Harus Senior Untuk Menjadi Kepala Sekolah
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya antara tahun 1999-2011 saat itu saya masih melakoni tugas murni sebagai guru. Kala itu saya tugas di SDN Kesambi Dalam II Kota Cirebon. Masa kerja saya dari mulai CPNS kurang lebih 12 tahun. Dalam pandangan saya, jabatan kepala sekolah itu usianya sudah matang jika tidak ingin disebut tua. Dari sisi penampilannya, sering saya perhatikan jika perempuan kebanyakan badannya gemuk berjalan dengan menenteng tas di tangan. Sedangkan Kepala Sekolah laki-laki cenderung cuek dengan penampilan. Namun yang jelas performance mereka terlihat matang juga. Hal yang menjadi pembeda, biasanya rambut sudah berubah warna serta pembawaannya berwibawa. Tidak seperti saya, seorang guru yang senang dengan tas tali terjuntai panjang.
Suatu ketika tahun 2010, saya mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan di daerah Cianjur Jawa Barat. Keberangkatan saya mewakili Kelompok Kerja Guru (KKG) karena saat itu saya sebagai Ketua KKG di salah satu kelompok kerja guru yang ada di Kota Cirebon. Kegiatan ini juga didampingi oleh pejabat dari unsur dinas pendidikan bagian Mutu Tenaga Pendidikan. Beliau adalah salah seorang pejabat yang low profile, dekat dengan semua guru pada khusunya dan tenaga kependidikan pada umumnya. Oleh karena itu, hampir semua insan pendidik yang ada di kota Cirebon sangat mengenalnya. Dan beliau pula yang senantiasa memberi motivasi kepada saya agar selalu aktif, kreatif dan inovatif di dunia kependidikan. Hal ini pun sejalan dengan prinsip saya bahwa saya harus selangkah lebih maju dibanding dengan guru-guru seangkatan.
Sebagai contoh dalam bidang akademik, saat guru sekolah dasar masih banyak lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) setaraf SMA tahun 2001 dan diwajibkan mengikuti pendidikan jenjang Diploma II, saya sudah lulus dari PGSD D-II. Saat guru lain masih mengejar D-II, saya mengikuti pendidikan melanjutkan ke jenjang S-1, lulus tahun 2003. Ternyata pemerintah terus melakukan perubahan-perubahan dan peningkatan kualitas guru dengan meningkatkan kualifikasi Guru Sekolah Dasar. Jika saya tidak salah dalam mengingat, tahun 2005, pemerintah mewajibkan guru sekolah dasar harus memiliki kualifikasi akademik S-1. Alhamdulillah....puji syukur saya panjatkan tak henti-hentinya kepada Allah swt atas langkah tepat yang saya ambil. Saya tidak harus repot seperti guru-guru lain mencari perguruan tinggi untuk menyelesaikan pendidikan S-1. Saya sudah berada di zona aman untuk saat itu. Setelah lulus S-1 tahun 2003 sampai dengan tahun 2008, saya lebih fokus ke pekerjaan. Selain itu, fokus pada kehadiran anggota baru di keluarga saya. Pertengahan tahun 2008, saya mulai memikirkan lagi untuk meningkatkan kualifikasi akademik. Mulailah saya melanjutkan pendidikan strata2 (S-2). Dan berhasil lulus dengan target yang diharapkan yaitu pada tahun 2010. Alhamdulillah.. Itulah sepenggal perjalanan saya dalam bidang akademik. Barakallah...
Selain dari sisi akademik yang menjadi fokus saya untuk selalu selangkah lebih maju yakni dalam hal penampilan. Saya harus bisa merubah mind set saya khususnya bahwa penampilan guru itu tidak terlihat loyo, wajah lusuh, nampak lelah dan lain sebagainya. Pokoknya penampilan yang tidak membuat menarik. Guru harus terlihat gagah, cantik, wangi, segar, dan menarik agar anak didik merasa betah dan nyaman dalam belajar. Dengan catatan tidak harus menor dalam berdandan. Tetap berpenampilan dalam koridor yang selalu mengedepankan etika sopan santun dan sesuai aturan. Mengapa saya berfikiran demikian?? Karena alasan di atas itu merupakan salah satu alasan mengapa saya dulu tidak mau menjadi seorang guru. Saya lebih tertarik dengan seorang dokter, perawat, pramugari, pegawai bank dan lain-lain yang mengutamakan penampilan. Guru juga merupakan pelayan anak didik harus selalu menjaga penampilan. Jikalaupun saya menjadi guru harus menjadi guru yang memiliki sesuatu yang patut dibanggakan. Dengan demikian tidak mustahil menjadi figur yang akan diingat selama hidupnya.
Hal-hal yang disampaikan di atas itulah yang membuat Bapak Kepala Seksi Mutasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Mutendik) terkesan dengan semangat dan rasa optimis yang selalu saya kedepankan. Sehingga disela-sela waktu senggang pendidikan dan pelatihan sambil menunggu sesi acara selanjutnya sering saya banyak berdiskusi dengannya. Terutama dalam kaitannya dengan segala sesuatu tentang peningkatan mutu pendidik di kelompok kerja guru. Pada satu moment saat berjalan menuju aula diklat, beliau berseloroh, Kalau Bu Novi sudah menjadi Kepala Sekolah bawa tasnya tidak akan diselendangkan lagi, bawa tasnya akan ditenteng begini..(beliau mencontohkan bawa tas ditenteng sambil berjalan), begitu selorohnya. Gerrrr....tawa dari teman-teman yang berjalan bersama-sama pecah... Oh..memang begitu ya Pak penampilan kepala sekolah? saya menyahut dengan tawa yang tidak bisa disembunyikan. Tak terbersit sedikitpun saat ini menjadi kepala sekolah, terlintaspun tidak.
Seiring berjalannya waktu, sejalan dengan tugas-tugas yang saya emban sebagai Ketua Kelompok Kerja Guru, banyak kegiatan-kegiatan positif yang dikemas dalam program peningkatan kualitas guru dalam mendidik maupun mengajar. Aktivitas ini mengantarkan saya menjadi Guru Berprestasi Peringkat Pertama tingkat Kota Cirebon dalam waktu dua tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Hal itu merupakan bonus dari apa yang telah saya kerjakan sepenuh hati. Karena dalam bekerja saya tidak bisa bekerja setengah-setengah. Adapun hasil akhirnya sangat memuaskan atau kurang memuaskan itu adalah urusan belakangan. Hal terpenting adalah melaksanakan proses dengan maksimal. Saya yakin hasil yang di dapat pun akan optimal.
Di penghujung tahun 2011 merupakan awal saya dalam mengembangkan karir sebagai guru. Saat itu hari Sabtu, Bapak Kepala Seksi Mutendik datang ke sekolah tempat saya mengajar. Beliau membawa satu bundel foto copyan yang berisi Petunjuk Teknis Seleksi Calon Kepala Sekolah. Beliau menyarankan bahkan mengharuskan saya untuk ikut dalam seleksi calon kepala sekolah yang akan digelar di dinas pendidikan. Ayo,,,Bu Novi, segera persiapkan syarat-syaratnya, ini juknisnya Bapak bawakan,begitu beliau berujar. Saya tertegun, karena dari awalpun saya belum tertarik untuk menjadi kepala sekolah. Apalagi mengingat usia dan masa kerja saya yang masih minim jika membaca dari juknis yang ada. Akhirnya saya berujar juga, Pak, apa Bapak yakin menyuruh saya ikut seleksi? Masa Kerja saya masih minim? Golongan dan Pangkat saya juga minim? Usia saya juga sepertinya belum layak jadi kepala sekolah? itulah pertanyaan beruntun saya kepada beliau. Dengan enteng beliau menjawab,Tidak Harus Tua Untuk Menjadi Kepala Sekolah. Dinas pendidikan membutuhkan pemimpin-pemimpin muda yang kreatif dan inovatif. Begitulah cara membesarkan hati saya. Beliau mengatakan masih banyak unsur-unsur penilaian selain yang saya pertanyakan di atas. Beliau meyakini unsur-unsur lain ada pada diri saya yang akan mendapat point lebih. Diantaranya dalam hal prestasi, pengembangan diri, organisasi, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan saya dalam waktu beberapa hari sebelum deadline seleksi dimulai.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar