HOROR SEPANJANG CIKARANG CIBITUNG (Tantangan hari ke9)
Pernahkah Anda melakukan suatu perjalanan yang semestinya bisa ditempuh dalam waktu tidak terlalu lama, tetapi karena satu dan lain hal harus menghabiskan waktu berkali-kali lipat? Bagaimana rasanya? Capek, iya, bete, iya, uring-uringan pengen marah, tapi nggak jelas siapa yang harus dimarahi, juga iya, pokoknya campur aduk deh! Seperti itulah yang kami alami pada tanggal 01 Januari 2020. Saya, suami, dan ketiga anak saya melakukan perjalanan dari Majalengka Jawa Barat, kampung halaman saya, menuju Jakarta.
Maksud hati mau nengok orang tua di kampung mumpung masih libur sekolah, jadilah kami berlima melaksanakan niat yang sudah tertunda berkali-kali. Perjalanan pergi menuju Majalengka lancar jaya. Dari Jakarta pukul 08.00 dan pukul 11.30 sudah sampai. Kami berpikir, asyik juga nih perjalanan pulang kampung kalau seperti ini, nyaris tanpa hambatan. Anak-anak saya bahkan sampai berkali-kali bilang, mau pulang kampung seminggu sekali kalau suasana jalanan seperti itu.
Karena masih siang, akhirnya anak gadis saya yang bawa mobil mengajak mampir makan dulu di daerah Plered Cirebon, menikmati makanan khas di sana, yaitu nasi lengko dan empal gentong. Lidah memang tak pernah salah membedakan makanan yang enak dan enak banget (bagi saya rasa makanan cuma dibedakan menjadi 2, yaitu enak dan enak banget!). Semua makanan yang disajikan di rumah makan itu maknyus, enak banget!!! Tapi, ngantrinya minta ampuuuun, untuk dapat parkiran aja susah banget!.
Setelah makan, anak bungsu saya pake ada acara minta jalan-jalan dulu ke Cirebon. Ya, sudahlah, hitung-hitung nyenengin anak, meluncurlah kami ke Cirebon dulu (berlawanan arah sebetulnya dengan kampung saya). Nggak lama sih, paling Cuma puter-puter kurang lebih satu jam. Kira-kira pukul 15.00 kami memutuskan pulang menuju jalan yang lurus, he,he,he, (menuju kampung saya sesuai rencana awal).
Seperti biasa, sampai di rumah masa kecil saya, anak-anak disambut neneknya dengan suka cita. Ngobrol ngalor-ngidul, makan ini itu yang sudah disediakan ibu saya dari jauh-jauh hari (ibu saya kalau anak cucunya mau datang, menyiapkan makanannya memang seminggu sebelumnya, dikumpul-kumpulin di kulkas). Saking senengnya kami datang, ibu saya sampe tidak melakukan rutinitasnya, seperti ke majlis ta’lim, pertemuan bulanan dengan teman komunitasnya. Tapi, itulah bukti kasih sayang ibu saya pada anak cucunya.
Tiga hari kami di sana. Pada hari keempat kami pamit pulang. Dari rumah kira-kira pukul 11.30, menurut perhitungan paling lambat kami sampai Jakarta pukul 16.00. Karena mendengar berita di TV bahwa jalan tol padat, maka kami memilih jalur non tol. Dari Majalengka lancar sampai Subang, bahkan kami sempat mampir makan siang sekalian sholat Dzuhur di sebuah rumah makan sate maranggi yang cukup terkenal di daerah Purwakarta. Kira-kira pukul 14.00 kami melanjutkan perjalanan kembali dengan tetap memilih jalur non tol. Sampai di daerah Cikarang sekitar pukul 16.00 WIB. Dari Cikampek sudah terasa arus kendaraan padat merayap. Melihat gogle Map jalur tol Cikampek Jakarta merah, artinya macet parah.
Dari Cikarang inilah bermula kisah horor kami. Kendaraan mulai stag, tidak bisa maju, tidak juga bisa berbalik arah. Terjebak dalam kemacetan yang baru seumur hidup kami rasakan. Bagaimana tidak horor, kendaraan Cuma bergeser maju mungkin hanya 2 meter setiap jam. Bahkan banyak kendaraan yang sengaja dimatikan mesinnya dan ditinggalkan di tengah jalan oleh pemiliknya untuk makan, atau untuk ke toilet. Yang lebih menakutkan, pom bensin di sepanjang jalan banyak yang kehabisan stok karena saking banyaknya kendaraan yang terpaksa mengisi bahan bakar ekstra. Dua pom bensin yang sempat kami singgahi, tetapi, dua-duanya memasang pengumuman, pertalite, pertamax kosong!!! Kebayang nggak, bagaimana paniknya kami dan pemilik kendaraan lain? Lagi-lagi kami cuma bisa mengucap, astaghfirulloh!!! Semoga kendaraan nggak mogok karena kehabisan bahan bakar.
Dari Cikarang sampai Cibitung yang jaraknya hanya 15,7 km, kami membutuhkan waktu tempuh 12 jam. Luar biasa! Jangan ditanya bagaimana lelahnya orang-orang yang terjebak dalam kemacetan tersebut. Anak gadis saya yang sudah sangat kelelahan menyetir mobil sudah uring-uringan. Mobil kami memang bukan mobil matic, melainkan manual, yang apabila terjebak dalam kemacetan membuat kaki sangat pegal karena harus menahan kopling. Saya berusaha sebisanya menenangkan, membujuknya, supaya memperbanyak melantunkan kalimat thoyyibah saja daripada marah-marah dan mengumpat. Sepanjang jalan itu, berkali-kali kami mampir ke warung makan yang ada di pinggir jalan untuk sekedar mengisi perut dan mengusir penat. Bolak-balik ke toilet nggak kehitung. Sepanjang jalan itu pula di tengah kemacetan kami menjalankan 4 kali sholat fardu, yaitu Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh. Subhaanallah!!!
Usut punya usut, berdasarkan info yang didapat dari beberapa pengendara yang sama-sama terjebak dalam kemacetan itu, rupanya ketka pukul 16.00 waktu kami tiba Cikarang, pada saat yang sama kendaraan dari tol arah Jakarta dikeluarkan di pintu tol Cikarang karena jalan tol banjir. Jadilah 2 arus kendaraan dari tol dan non tol bertemu di wilayah Cikarang. Ditambah lagi akses jalan lain di kabupaten Bekasi banyak yang banjir. Sempurnalah kemacetan terjadi di jalan raya Cikarang!
Akhirnya, selepas sholat Shubuh setelah berjuang dalam kemacetan selama lebih dari 12 jam, kami sampai di Cibitung. Atas saran masyarakat di sana yang berusaha membantu para pengendara mengatur lalu lintas, kami diarahkan untuk ke luar dari jalur yang biasa dan mengambil jalur alternatif ke kiri ke arah kali malang. Dengan berbekal google map, kami menyusuri jalan-jalan tikus yang sepi. Setelah dicekam ketakutan dan kelelahan yang luar biasa, tibalah kami di rumah pada pukul 07.00 pagi. Waktu tempuh yang biasanya 3 jam, hari itu kami harus menghabiskan waktu 15 jam.
Pada akkhirnya, apapun yang kami alami selama perjalanan, tetap kami syukuri karena kami sudah sampai ke rumah dengan selamat. Tidak ada yang kami persalahkan. Bencana banjir yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, harus diakui ada andil manusia di dalamnya. Manusia yang tidak pandai menjaga kelestarian alam, tidak bisa mensyukuri karunia Allah SWT yang telah memberikan semesta dan isinya untuk kemaslahatan makhluk hidup. Astaghfirullah!!!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar