N SUPRIATI

Terlahir sebagai sulung dari lima bersaudara dengan nama pemberian orang tua, N. Supriati, tapi, memiliki nama panggilan Yeti. Dilahirkan pada tanggal 09 Septem...

Selengkapnya
Navigasi Web

MENTARI RUNTUH

Terik Sang Surya masih menunjukkan keangkuhannya. Cuaca cerah, langit bersih tanpa tersaput awan hitam. Semua seolah bertolak belakang dengan suasana hatinya. Seorang perempuan muda dengan segala kesedehanannya tengah dirundung nestapa. Di hadapannya tergolek lemah sang suami yang sudah hampir 6 bulan menderita sakit. Entah apa penyakitnya. Berpuluh orang pintar sudah ia datangi, berpuluh kyai ia sambangi, untuk minta obat penawar sakit sang belahan hati. Tapi, bukannya sembuh, sakit yang diderita suaminya malah bertambah berat kelihatannya. Memang tidak banyak dokter yang bisa dikunjungi karena keterbatasan ekonomi. Ia teramat takut tidak bisa membayar biaya berobat ke dokter apalagi rumah sakit. Bukan tanpa sebab, dia pernah membawa suaminya ke seorang dokter spesialis penyakit dalam di kota sesuai petunjuk tetangga, ia memberanikan diri meminjam uang pada seorang kerabatnya untuk biayanya. Peristiwa itu sudah dua empat bulan berlalu, tetapi uang pinjaman itu belum bisa dia lunasi. Yang meminjamkan uang sudah berkali-kali menagih, apa daya memang ia belum bisa melunasi utang itu. Ia harus rela menerima caci maki dan sumpah serapah kerabatnya. Tidak tahu lagi bagaimana caranya mengembalikan uang pinjaman itu.

“Umi, hauuus,” terdengar lirih suaminya memanggil.

“Iya Abi, ini minumnya, pakai sendok atau pakai sedotan?”

“Sendokin aja,”

Dengan pelan dan hati-hati, ia menyendoki air sedikit demi sedikit ke mulut suaminya. Air itu bukan air biasa, kemarin ia membawa air dalam botol untuk minta dibacakan doa kesembuhan oleh Pak Kyai Sodik. Setelah diberi minum beberapa sendok, suaminya memberi isyarat untuk mendekat, suaranya sudah semakin pelan, hampir tidak bisa didengar. Hanya gerak bibirnya yang bisa dia perhatikan untuk memahami apa maksud perkataan suaminya.

“Umi, anak-anak mana?”

“Tanti dan Lala belum pulang dari sekolah, Dini sama Maya lagi nemenin Ridho di kamar depan.”

“Siti, sudah pu...lang be...lum?” dengan suara tersendat ia menanyakan Siti, adik bungsunya, yang memang tadi pagi datang menjenguk.

“Siti ada lagi di dapur, katanya mau bikinin bubur buat Abi.”

“Tolong, panggil, sa...ya mau bi...ca...ra!” dengan susah payah dia meminta dipanggilkan adik perempuannya.

Tanpa menunggu lama, ia bergegas memanggil adik iparnya sesuai permintaan sang suami.

“Abi, ini Siti sudah ada, mau bicara apa?” Ia membisikkan pertanyaan ke telinga suaminya. Mata yang tadinya tertutup perlahan terbuka. Dengan matanya dia memberi isyarat kepada Siti untuk mendekat.

“Titip anak-anak, bantu kalau me...reka butuh se...suatu!”

“Iya Kang, insyaallah, saya janji akan menjaga anak-anakmu.”

“Terima ka...sih.”

Matanya kembali tertutup, nafasnya semakin berat. Sesekali tersengal-sengal. Tubuhnya yang dulu berisi sekarang hanya tinggal kulit membalut tulang. Badannya habis digerogoti penyakit. Perutnya semakin hari semakin membuncit. Kalau ditekan terasa keras. Kulitnya pucat kekuningan. Mata dan kuku-kukunya kuning. Kata orang kampung suamiku terkena penyakit kuning. Ada sebagian lagi tetanggaku mengatakan mungkin suamiku diguna-guna orang. Hal ini dikuatkan dengan perkataan orang pintar yang didatangi, semuanya mengatakan penyakit suaminya adalah kiriman orang. Entahlah, mana yang benar. Ia tidak peduli, yang ia inginkan cuma satu, suaminya bisa sembuh. Tadi malam suaminya mengeluh mual, ingin muntah. Minta dibangunkan untuk duduk. Katanya minta ember untuk menadahi muntahannya. Ketika disodorkan ember, benar saja ia muntah. Yang membuat ia terpekik kaget, ternyata yang dimuntahkannya adalah darah segar, banyak sekali. Ia cuma bisa berucap istighfar sambil berusaha menutup mulutnya agar tidak berteriak, khawatir membangunkan tidur anak-anaknya. Hampir seperempat ember itu penuh dengan darah. Cepat-cepat ia buang darah itu di kamar mandi dan dibersihkan sisa-sisa darah yang mengotori lantai. Ia tak mau anak-anaknya tahu. Ia berjibaku berdua dengan ibunya membereskan semuanya agar tidak membuat anak-anaknya khawatir. Sekuat tenaga ia tahan tangis yang hampir meledak. Cukup dirinya dan ibunya saja yang tahu peristiwa tadi malam. Menurutnya tidak ada gunanya juga cerita pada orang lain. Hanya doa sujudnya yang semakin panjang dalam sholat malamnya. Hanya kepada Allahlah ia bisa mengadukan semua bebannya, semua keluhnya.

Semakin sore, semakin payah saja. Kalau tadi siang masih bisa bicara walaupun terbata-bata, sekarang sudah tak bisa lagi mengucap sepatah kata pun. Kesadarannya pun timbul tenggelam. Sudah habis air matanya menangisi kondisi sakitnya suami yang kian parah. Terbayang tanggung jawabnya membesarkan kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Tanti yang biasa dipanggil Nyai, si sulung, baru berusia 13 tahun, berurutan Lala (11 tahun), Dini (9 tahun), Maya (5 tahun), dan Ridho (8 bulan). Bukan semata biaya yang ia pikirkan, yang jauh lebih berat lagi adalah mendidik anak-anaknya supaya menjadi orang baik. Umurnya masih 30 tahun, harus menanggung beban hidup yang demikian berat, tidak ada saudara yang bisa dimintai tolong karena mereka pun sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang selalu sigap meringankan bebannya ikut menjaga anak-anak dan bergantian menjaga suaminya adalah ibunya. Yah, ibunya saja, seorang perempuan sepuh yang sudah hampir 70 tahun usianya. Yang lain tidak ada, bapaknya? Jangan ditanya, ia sendiri pun tak tahu bagaimana rupa bapaknya karena sejak masih dalam kandungan ibunya sudah menjadi yatim. Keluarga besarnya memang bukan orang berpunya. Hasil usaha mereka habis untuk kebutuhan sehari-hari, tidak bisa diharapkan untuk tempatnya bersandar. Keluarga besar suaminya? Setali tiga uang, malahan lebih parah lagi, mereka hanya buruh yang mengandalkan suruhan orang. Ada uang kalau ada yang nyuruh kerja. Lebih sering tidak ada penghasilan.

Menjelang Maghrib, kondisi suaminya kian memburuk. Sudah tidak bisa merespon apa-apa. Dipanggilnya Kyai Sodik untuk meringankan penderitaan si sakit. Setelah membacakan doa Kyai Sodik berpesan padanya untuk jangan meninggalkan si sakit. Bimbing si sakit mengucapkan Laailaaha Illallah Muhammadan Rosuulullah. Kalau tidak merespon, jangan berhenti membisikkan kalimat toyyibah tersebut di telinga si sakit.

Pesan Kyai Sodik dilaksanakan. Bergantian dengan sang Ibu, Ia terus berada di samping si sakit dengan tak henti membisikkan kalimat toyyibah di telinga suami tercinta. Selepas Sholat Maghrib, ditandai satu tarikan nafas panjang, nyawa orang terkasih itu pun terpisah dengan raga. Hujan tangis dan air mata mengiringi kepergian orang yang telah menyertainya selama 14 tahun. Kepergian suaminya meninggalkan lima anak yang masih kecil-kecil menyisakan gundah, kepada siapa lagi beban ini mau dibagi? Kalau tidak ingat malu, ingin rasanya ia berteriak sekedar sedikit melegakan beban yang menghimpit di dada. Kalau tidak ingat iman di dada, ingin rasanya menghujat Tuhan Yang Mahaesa, mengapa semua harus dia alami? Ya, kehilangan suami ibarat runtuhnya Sang Mentari Kehidupan. Innalillahi wa innailaihi roojiuun. Sesungguhnya semua milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya semua akan kembali.

Villa Pamulang, 11 Desember 2019

Mengenang wafatnya ayahanda tercinta. Salam hormat dan bakti untuk ibunda, wanita luar biasa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang keren. Turut berduka cita. Semoga almarhum bahagia di alam sana. Sukses dan salam kenal ya bun

14 Jan
Balas

terimakasih, Bunda komentarnya. Salam kenal kembali.

18 Jan
Balas



search

New Post