SANG KEPALA DUSUN
Massa berbondong-bondong mendatangi rumah Pak Kaslan sang kepala dusun. Mereka membawa alat-alat pertanian yang bisa mereka bawa. Ada yang cangkul, arit, ketam, parang, cungkil, caping, tampah, bahkan golok. Semua alat-alat pertanian itu diacung-acungkan ke atas disertai teriakkan yang bersahutan.
“Pak Kaslan, mana janjimu?”
“Pak Kaslan pembohong!”
“Pak Kaslan jangan ngumpet!”
“Keluar, kau Kaslan, hadapi kami!”
“Tangkap Kaslan si penghianat!”
“Turunkan Kaslan!”
Suara-suara orang penuh amarah, penuh dendam, penuh kesumat. Di belakang orang-orang yang membawa alat-alat pertanian itu ada barisan ibu-ibu berkebaya yang memukul-mukul alat-alat memasak mereka, dandang, panci, kuali, sodet, ada juga yang hanya membawa bakul kosong yang digendong dengan kain. Semua memperlihatkan ekspresi yang sama, marah karena dikhianati.
Orang yang dicari tak kunjung menampakkan batang hidungnya, yang ada para hansip berjejer membuat pagar betis di depan kediaman sang kepala dusun. Massa semakin emosi, merangsek maju menembus barikade para hansip yang berbaris tegap.
“Sabar, sabar, Bapak-Bapak, sabar-sabar Ibu-Ibu!” hansip-hansip itu berusaha menahan gelombang massa yang semakin merangsek maju.
“Minggir kau hansip, kami tidak bisa lagi bersabar, perut kami tidak kenal kata sabar.”
********************************
Dusun Kliwon yang sunyi tiba-tiba ramai didatangi oleh orang-orang asing yang mengendarai mobil-mobil bagus, mentereng, seumur hidup mereka belum pernah melihat mobil-mobil sebagus itu. Di dusun itu yang punya mobil hanyalah sang kepala dusun, itu pun mobil bak terbuka yang sekaligus biasa dipake untuk mengangkut hasil panen ke pasar di kota. Anak-anak berkerumun mengelilingi mobil yang terparkir di sisi jalan desa. Tangan-tangan mereka terulur menyentuh bagian mobil tersebut. Ada yang mengusap-usap badan mobil, kaca mobil, kap mesin mobil, bahkan ada yang sampai mengelap mobil itu dengan baju yang dipakainya. Seolah mereka tidak mau kehilangan moment penting ini. Anak-anak itu bergumam mengagumi kemewahan yang terpampang di depan mata yang tidak setiap hari bisa mereka nikmati.
Keriuhan itu mendadak berhenti seiring dengan munculnya sosok pendek, tambun, berkulit pucat, yang tiba-tiba ke luar dari dalam mobil bagus tersebut di kawal oleh sosok-sosok tegap berkulit agak gelap. Rombongan orang-orang asing berjalan menuju area pesawahan yang berada di ujung dusun. Anak-anak berbaju kumal bersandal jepit yang tadi mengerumuni mobil-mobil bagus tersebut tanpa dikomando berjalan mengiringi rombongan orang-orang asing tersebut. Anak-anak yang kebetulan berpapasan dengan rombongan tersebut sepanjang jalan yang dilewati ikut pula bergabung dengan teman-temannya yang sudah terlebih dahulu berada dalam barisan. Kalau dari jauh terlihat seperti pawai arak-arakan.
Setelah sampai di pesawahan, rombongan orang asing tersebut berhenti, ternyata di sana sudah ada Pak Kaslan sang kepala dusun yang amat disegani oleh seluruh warga di dusun tersebut. Sosok yang dianggap bisa membawa penduduk dusun menjadi lebih sejahtera. Sosok yang dipercaya sebagai pimpinan yang merakyat, sayang pada rakyat kecil. Karena anggapan itulah yang membuat mayoritas warga dusun tersebut sepakat mengangkatnya sebagai kepala dusun, jabatan terhormat di dusun tersebut. Pak Kaslan terlihat menunjuk-nunjuk ke areal pesawahan, sementara rombongan tersebut mengikuti arah yang ditunjuk kepala dusun dengan pandangan mata, sesekali terlihat mereka berbincang disertai gelak tawa. Anak-anak tak berani mendekat.
**********************************
Seminggu kemudian, tersiar kabar bahwa di dusun mereka akan dibangun hotel-hotel. Menurut kabar pula hotel-hotel itu dibangun di sawah-sawah mereka yang sudah puluhan tahun mereka garap dan jadi sumber penghidupan mereka Walaupun mereka tidak sepenuhnya paham apa itu hotel, untuk apa hotel tersebut, mengapa hotel dibangun di sawah mereka. Tetapi, sepintas mereka tahu, kalau sawah dibangun jadi hotel berarti mereka tidak bisa menggarap sawah lagi, kalau mereka tidak menggarap sawah berarti tidak ada sumber penghasilan, tidak ada yang bisa mereka makan, berarti keluarga mereka terancam kelaparan. Kabar itu rupanya bukan isapan jempol belaka, dusun mereka semakin banyak didatangi orang asing. Mobil-mobil truk pengangkut bahan-bahan bangunan banyak berseliweran siang malam. Bahan-bahan bangunan tersebut diturunkan di pinggir-pinggir jalan, tetapi sawah-sawah mereka yang sudah hampir menguning terinjak-injak oleh orang-orang yang menurunkan bahan bangunan dari truk. Warga dusun tak tahu harus berbuat apa, semenjak orang-orang asing itu datang sawah-sawah mereka dijaga orang-orang berbadan tegap, tak seorang pun warga diperbolehkan mendekat, apalagi turun ke sawah. Bahkan kini areal peesawahan itu sedang dipagari dengan seng setinggi 2 meter, nyaris tidak terlihat lagi hamparan sawah mereka. Tak tahu harus mengadu pada siapa, akhir-akhir ini Pak Kaslan sang kepala dusun pun semakin sulit ditemui, menghilang ditelan waktu. Mereka hanya bisa bergerombol di warung kopi milik Mbok Padmi atau di bale warga. Yang diperbincangkan tak lain soal sawah mereka yang tiba-tiba diserobot orang asing.
************************************************
Sudah tiga hari sejak sawah mereka dipagari orang-orang asing, warung Mbok Padmi semakin ramai didatangi bapak-bapak warga dusun tersebut, bukan untuk jajan, tetapi hanya untuk sekedar menghilanglan kesumpekan hati, biasanya setiap pagi sudah siap berangkat ke sawah sampai siang, pulang ke rumah sebentar untuk melepas penat sekalian makan siang yang sudah disiapkan istri di rumah, atau pergi ke warung Mbok Padmi kalau kebetulan ada uang untuk sekedar membeli segelas kopi, sebatang rokok kretek, dan satu dua potong gorengan. Ngobrol ngalor ngidul dengan sesama pengunjung warung yang juga sesama warga dusun tersebut. Menjelang sore kembali ke sawah memastikan sawah mereka aman, terairi dengan cukup, tidak ada hama yang akan merusak tanaman mereka. Setelah itu kembali pulang ke rumah dengan perasaan tentram dan damai. Rutinitas itu sudah mereka lakukan sejak berpuluh tahun lalu. Tiga hari ini mereka resah, gelisah, tercerabut dari rutinitas tanpa kejelasan harus berbuat apa besok lusa untuk mengganjal tuntutan perut. Para ibu pun sama resahnya, biasanya pagi-pagi sudah ke dapur menyiapkan sarapan untuk anak dan suami, siang hari memasak nasi dengan lauk sekedarnya, kini bingung karena suami mereka tiba-tiba tidak lagi pergi ke sawah, tidak ada lagi uang belanja yang diterima karena tidak bisa menjual hasil panen berupa palawija sebagai selingan padi yang biasanya secara rutin dibeli para tengkulak dari kota yang langsung ke sawah-sawah mereka. Sekarang sawah mereka tidak ada lagi. Ada memang simpanan beras dan sedikit uang yang bisa dipakai menyambung hidup, tapi hanya cukup untuk empat atau lima hari ke depan. Setelah itu mereka mau makan apa?
“Kita datangi aja rumah Kaslan, kita minta dia jelasin mengapa sawah kita tiba-tiba diambil orang asing!” Pak Bondan mengawali pembicaraan di warung Mbok Padmi tadi pagi.
“Bagaimana kalau dia tnggak ada di rumah? Sepertinya sudah beberapa hari ini saya nggak lihat kadus itu.”
“Kita tagih janjinya, dulu waktu dia mau jadi kadus dia janji akan melindungi sawah-sawah dan tanah peninggalan nenek moyang kita, dia janji akan membela kita sampai titik darah penghabisan kalau ada pihak lain yang akan mengganggu gugat tanah dan sawah kita. Memang kita tidak punya surat-surat yang membuktikan bahwa tanah dan sawah itu milik kita, tetapi kita sudah hidup di sini, mengolah sawah sejak puluhan tahun lalu. Itu sudah membuktikan kitalah pemiliknya.” Pak Bondan kembali bicara dengan berapi-api.
Memang di dusun ini yang paling pintar bicara sebetulnya Pak Bondan, laki-laki berusia 60 tahun itu kabarnya pernah merantau sampai ke luar negeri karena waktu muda pernah bekerja di kapal. Tetapi, warga dusun lebih menyukai sosok Pak Kaslan yang kalem, tidak banyak bicara, mukanya selalu tersenyum ramah pada siapa saja. Kata para ibu dusun Kliwon dulu waktu ada pemilihan kadus baru, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang ngayomi bukan tukang pidato.
“Kalau tidak sama Kaslan terus sama siapa lagi? Kita minta tanggung jawabnya, pasti dia tahu siapa orang-orang kota itu yang sudah ngambil sawah-sawah kita.” Pak Bondan kembali bicara.
“Betul, aku setuju, kita minta kadus bertanggung jawab. Jangan mau dibodohi sama Kaslan.” Pak De Karjo yang biasanya diam kini tampil bicara.
“Setuju! Kita datangi kadus!”
“Setuju! Ayo, kita ramai-ramai ke sana!”
“Akur, saya ikut ke rumah kadus!”
“Kita ajak juga anak istri kita, tuntut Kaslan supaya balikin sawah-sawah kita!”
“Kita minta kadus usir orang-orang asing itu dari kampung kita!”
“Kalau Kaslan nggak mau, kita turunkan dari jabatan kadusnya atau sekalian kita usir dia dari kampung kita!”
Tuntutan perut telah membuat masyarakat Dusun Kliwon marah pada kepala dusun yang dulu didukungnya. Mereka merasa sudah dikhianati dan ditinggalkan. Pembangunan hotel terus berlangsung, Semakin banyak orang berbadan tegap menjaga areal pesawahan. Tidak ada satu orang pun selain buruh bangunan di sana yang boleh mendekati proyek pembangunan hotel tersebut. Kemarahan pada kepala dusun yang tidak terlampiaskan membuat sasaran kemarahan berpindah pada orang-orang asing yang ada di sana. Ratusan orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan alat-alat pertanian dan alat masak yang dibawa mendatangi proyek pembangunan hotel yang dulu adalah sawah-sawah mereka. Masa depan yang suram dan rutinitas yang menjadi nyawa direnggut paksa ditambah kelaparan yang mulai mengancam membuat mereka nekad memaksa masuk ke areal proyek, mereka merobohkan pagar-pagar yang mengelilingi sawah-sawah mereka yang sudah berubah menjadi hamparan tanah yang telah diratakan. Kedatangan mereka disambut dengan senjata tajam dan senapan yang dipegang orang-orang berbadan tegap yang menjaga areal proyek. Warga dusun melawan dengan alat pertanian seadanya yang mereka bawa. Ibu-ibu di bagian belakang barisan berlarian menyelamatkan diri ketika mendengar letusan senjata api. Kerusuhan tersebut berlangsung dengan persenjataan yang tidak seimbang, banyak korban jatuh dari pihak warga dusun Kliwon. Rupanya kerusuhan itu sempat diliput oleh wartawan dari kota yang kebetulan sedang mengangkat berita tentang pembangunan hotel di lahan warga. Berita kerusuhan ditayangkan di televisi nasional. Di sebuah rumah mewah yang berjarak ratusan kilometer dari dusun Kliwon seorang laki-laki paruh baya sedang duduk di depan televisi besar di ruang keluarga bergaya modern, dengan ekspresi wajah yang tetap tenang dia menonton berita kerusuhan di dusun Kliwon. Senyumnya tersungging di bibirnya, senyum yang mirip seringai.
“Selamat jalan Bondan, semoga kau tenang di alam sana!”
Dialah Pak Kaslan sang Kepala Dusun Kliwon.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus
Terimakasih.