N SUPRIATI

Terlahir sebagai sulung dari lima bersaudara dengan nama pemberian orang tua, N. Supriati, tapi, memiliki nama panggilan Yeti. Dilahirkan pada tanggal 09 Septem...

Selengkapnya
Navigasi Web
TEGAR  (Tantangan hari ke-86)

TEGAR (Tantangan hari ke-86)

Menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan, kini kualami pekerjaan paling membosankan itu. Hampir satu jam aku duduk di bangku ini. Susah silih berganti orang datang di bangku-bangku sekelilingku, tapi orang yang kutunggu belum muncul juga. Bangku di pojok ruangan kios bakso yang ada di dekat sekolah SMP-ku dulu. Kemarin, dia mengajakku ketemu di sini. Melalui line, dia bilang ada yang mau disampaikannya padaku.

“Hai, lama nunggu ya?” sapanya renyah.

“Banget, lagian ngapain sih pake janji-janji segala kalau kira-kira nggak bisa.” kataku jengkel.

“Aduh, maaf ya, nggak disengaja. Beneran, tadi waktu mau ke sini ngedadak dipanggil guru disuruh bantuin ngecek buku tugas yang belum ngumpulin. Jangan marah, dong!”

Selalu aku nggak bisa marah kalau menghadapi makhluk manis yang satu ini. Berteman sejak TK sampai SMP membuatku amat hapal semua kebiasaannya. Baru dua tahun ini saja kami beda sekolah. Dia masuk di salah satu SMA favorit di kota ini, sementara aku, di SMA Negeri saja. Walaupun beda sekolah, kami tetap menjalin komunikasi. Seperti tadi malam si Manis ini minta aku menunggunya di sini.

“Udah pesan makanan?” tanyanya basa-basi, padahal tanpa bertanya pun dia sudah tahu, aku sudah menghabiskan semangkuk bakso urat dan segelas es teh manis.

“Baru bakso, siomay sama mie ayam belum.” Jawabku sambil nyengir.

“Boleh, mau mesen siomay atau mie ayam?”

“Ngaco, ah, emang lu pikir perut gue segede gentong, baru semangkuk bakso udah mesen mie ayam lagi.” Kataku sambil manyun.

“Lha, emang lu nggak nyadar, perut lu lebih gede dari gentong.”

“Sialan lu!” Aku memukul pahanya. Dia meringis sambil mengusap-uasap pahanya yang sakit karena pukulanku.

Setelah pesanannya datang, dia makan dengan lahap. Seleranya tidak berubah, sepiring siomay yang hanya terdiri dari siomay sama beberapa potong pare yang pahit itu. Kuperhatikan, dia menikmati banget suapan demi suapan siomay terenak di dunia, katanya. Sambil mengunyah, dia melanjutkan kalimatnya.

“Makasih lho, lu udah nyempetin datang ke sini. Gue udah yakin, bahwa Lu bisa bantu masalah gue.”

“Sama-sama, kita bersahabat dari kecil. Masa gue tega ngebiarin Lu punya masalah, sementara gue diem aja.”

“Sekali lagi makasih!” katanya sambil menyentuh tanganku dengan mata berkaca-kaca.

Aku jadi terhanyut terbawa suasana. Aku bertahan sekuat tenaga supaya nggak mengeluarakan air mata. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskan kembali nafas dari mulut.

Rupanya, Sarah, temanku yang manis ini, minta saran dariku, orang tua Sarah memang telah bercerai, Sarah harus ikut ayahnya karena pertimbangan ekonomi, demi kelanjutan pendidikannya. Sementara ibunya, waktu itu hanyalah ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan apa-apa. Tetapi setelah kurang lebih 5 tahun, ayahnya kena PHK . Ibunya yang kini sudah punya usaha dan cukup mapan berniat membawa Sarah pindah ke Surabaya. Sarah merasa tidak sampai hati meninggalkan ayahnya yang telah membiayai dan memberinya kasih sayang. Karena rasa sayang dan tanggung jawabnya pada Sarah, ayahnya rela tidak menikah lagi. Kalau Sarah pergi, ayahnya pasti sedih, tidak ada yang menguatkannya. Kalau Sarah tetap sama ayahnya, dia terancam tidak bisa melanjutkan sekolah. Sungguh pilihan yang sulit, bagaikan makan buah simalakam.

“Gue harus gimana, Ris?”

“Kalau menurut gue, dua-duanya mengandung konsekuensi, sekarang Lu pertimbangkan, apa yang Lu prioritaskan. Kalau Lu lebih memprioritaskan kelanjutan pendidikan, maka Lu harus ikut mama Lu dan meninggalkan ayah. Tapi kalau Lu, merasa nggak tega sama ayah, berarti Lu harus merelakan cita-cita Lu untuk jadi psikolog itu.”

Akhirnya Sarah mengabarkan padaku bahwa dia memutuskan tetap menemani ayahnya dan bersama ayahnya pindah ke kampung halaman ayahnya untuk melanjutkan kehidupan di sana. Sebagai sahabat, aku hanya bisa mendoakan. Kami nggak sempat ketemu langsung karena kepindahan mereka memang tiba-tiba. Stelah kepindahan Sarah, komunikasi kami terputus, Sarah seperti sengaja tidak mau berhubungan lagi denganku. Nomornya tidak aktif. Aku pun tidak tahu alamat persisnya kampung ayah Sarah, yang kutahu hanya nama kabupatennya, Tasikmalaya.

***************************************

Aku tidak salah lihat. Perempuan yang sedang diwawancarai oleh reporter TV itu adalah Sarah, sahabatku yang hilang bak ditelan bumi 20 tahun yang lalu. Rupanya dia telah menjelma menjadi pengusaha sukses, terpilih menjadi Wanita Inspiratif tingkat nasional. Tak henti aku bersyukur pada Allah atas kenyataan ini.

Aku berusaha mencari tahu di google informasi tentang Sarah. Karena telah menjadi orang sukses, tentu saja info tentang dirinya aku dapat. Dari mulai profil perusahaannya, keluarganya, sampai lokasi perusahaannya. Ternyata Sarah masih di Tasikmalaya. Setelah aku mengontak perusahaannya, aku dapat juga nomor HP-nya.

Seperti dalam sinetron-sinetron TV, akhirnya kami bisa ketemu lagi setelah 20 tahun, di sini, di warung bakso yang sama dan di bangku yang sama kami duduki ketika terakhir kami be”rtemu. Seperti dulu, aku telah duduk di sini hampir satu jam lamanya menunggu Sarah yang kebetulan ada urusan di kota ini.

“Assalaamu’alaikum, Riska, ya?”

Aku terpana. Si Manis Sarah telah menjelma menjadi seorang wanita dewasa yang cantik dengan dandanan berkelas. Tetapi, tunggu dulu, ada yang berubah dari Sarah ....

“Ya, Allah, Sarah!” Kami berpelukan melepas kangen.

“Kamu hebat sekali, Sarah. Hampir aku tak mengenalimu. Apa kabar ayahmu?”

“Ah, biasa aja. Mungkin tadi kamu kaget ya, lihat aku jadi orang cacat seperti ini. Nanti aku ceritain. Alhamdulillah ayahku sehat walafiat. Oh, ya, nanti ayah nyusul ke sini, tadi beliau nemuin temen kerjanya dulu, kangen-kangenan juga seperti kita.”

Kami berbincang-bincang tentang banyak hal, terutama perjalanan hidup Sarah. Rupanya pahit sekali perjalanan hidup Sarah sebelum jadi seperti ini. Sarah sempat menyelesaikan SMA-nya.kemudian bekerja di sebuah konveksi. Kecelakaan kerja membuat Sarah harus kehilangan sebelah kakinya. Diberhentikan dari tempat kerja karena cacat, membuat Sarah mencoba membangun usaha konveksi sendiri Setelah jatuh bangun sekian lama, maka perusahaan Sarah menjadi besar dan banyak menyerap tenaga kerja anak-anak muda di kampungnya. Yang membuatku kagum adalah banyak pegawainya orang-orang yang tunadaksa.

Ayahnya Sarah datang menyusul. Tidak sendiri, bersama seorang wanita cantik yang tidak kukenal. Mereka berdua diperkenalkan padaku.

“Riska, ini ayahku dan ini mamaku. Yah, Mah, ini Riska sahabatku.”

Ternyata, Ayah dan Ibunya Riska yang dulu bercerai sudah berjodoh kembali. Subhaanallah, alangkah banyak nikmat yang Allah limpahkan untuk Sarah karena ketabahannya.

SELESAI

(Villa Pamulang, 09 April 2020)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kerenn Bu...episode kehidupan tidak ada yang bisa menebak...

09 Apr
Balas

Ya Allah, hikmah dari suatu peristiwa, denhan mengalahkan egonya masing masing demi anak danklrga..bisa jd pembelajaran semuanya..crita bagus..salam

10 Apr
Balas

Cerita yang inspiratif bahwa kita harus kuat dan sabar menghadapi cobaan hidup ini

11 Apr
Balas



search

New Post