Nur Aisiyah

Menjadi guru IPA di MTs Darul Huda Ponorogo sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pemerhati lingkungan dan budaya. Tinggal di kabupaten Ponorogo....

Selengkapnya
Navigasi Web

Abakadabra Jejak Pelangi (3)

# Pov:  Kursi Pesakitan

Oleh : Nur Aisiyah

Kegiatan akhir tahun menjadi pekan pekan yang menyibukkan buat kami. Seluruh civitas akademik larut dalam euforia ini. Dan seluruh elemen terkait wajib menyelesaikan tugas dan peran masing masing. Atas imbalannya maka kegiatan melepas penat dan merecharge otak dan pikiran, semisal lomba classmeeting dan lomba antar guru menjadi alternatif pelampiasan. Seperti hari itu rasanya lelah sekali seharian mengikuti kegiatan sekolah. Ditambah malam harinya ada acara tasyakuran yang harus kami hadiri. Maka segera kumatikan hp dan aku memulai tidur lebih awal. 

Namun limabelas menit berlalu tak mau juga mata ini terpejam. Akhirnya kunyalakan kembali hpku. Rupanya ada beberapa pesan masuk. Biasalah, dari teman sesama guru mengirimkan foto foto kegiatan pagi tadi. Mataku menelusuri jejak rekam foto tersebut. Ada beberapa teman yang dulunya adalah muridku. Begitu cepat waktu berlalu. Namun entahlah, rasanya mengajar mereka seperti baru kemarin. Ternyata aku sudah dewasa terlalu matang. Ya Alloh, baru tersadar kalau aku sudah berumur 44 tahun.

Lamat lamat adzan subuh berkumandang. Segera aku bangun dan merapikan tempat tidur. Kulihat hpku tergeletak disamping bantal. Rupanya aku tertidur dan lupa untuk mematikan hp itu. Sebentar aku membuka hp dan terlihat ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari pihak sekolah yang mengundangku secara pribadi pagi ini jam 10. Agenda undangan adalah mendengarkan putusan pimpinan. Pikiranku menjelajah, ada apa ini?

Kubaca juga pesan dari teman temanku yang sebaya menanyakan waktu undangan. Oh, berarti aku tidak sendirian. Ada beberapa temanku yang diundang dengan agenda yang sama, cuma waktunya yang berbeda dan terkesan privat. Ok, segera ku tunaikan sholat subuh dan pekerjaan rumah lainnya.

Tepat jam 10 pagi aku memenuhi undangan dari sekolah.  Aku masuk ruang kepala sekolah dan ternyata sudah duduk Kepala Sekolah dan salah satu Waka Sekolah kami. Kebisuan membius untuk beberapa saat.  Aku berusaha duduk setenang mungkin. Rasanya seperti duduk di kursi pesakitan. Hanya kami bertiga, yah hanya bertiga. Tanpa basa basi sekalipun, kepala sekolah menyampaikan kepadaku tentang putusan pimpinan yang merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya. Oh, aku sedikit menelisik dan memutar ulang  memoriku. Sebulan lalu aku dan beberapa temanku sempat didatangkan untuk dimintai keterangan terkait anak anak kami yang bersekolah di luar.  Kami didakwa melanggar pasal loyalitas dan diharuskan mengisi surat pernyataan pelanggaran tersebut. Aku ingat betul ketika aku menanyakan apakah ada kewajiban bagi kami untuk memutasikan anak kami yang terlanjur sekolah diluar? Semua mendengar "tidak!". Maka sejak peristiwa itu hatiku tenang dan lega. 

Lalu ini putusan yang mana lagi?

Bapak Kepala Sekolah kemudian menyampaikan kepadaku opsi yang harus aku pilih. Antara memilih resign atau memutasikan anak kandungku ke sekolah ini. Dan putusan ini ditunggu jawabannya dua hari ke depan. Artinya aku hanya punya waktu dua hari untuk memutuskan pilihanku. 

Aku meminta kepada beliau untuk mengulangi perkataannya. Dan benar telingaku masih normal. Kupandangi kedua bapak dihadapanku itu. Meski yang satu hanya tertunduk. 

Anganku melayang. Ada rasa membuncah dan sesak didada.  Kutinggalkan ruangan itu dengan perasaan hampa. Kutahan sebisa mungkin agar aku tidak mengurai air mata disini. Ini bukan pilihan menurutku. Karena keduanya adalah pilihan yang sangat berat. Ini lebih kepada sebuah eksekusi. Ini sungguh tidak adil bagiku. Kalau keputusan ini disampaikan lebih awal mungkin aku bisa lebih bisa menata hati. 

Wajah anakku berkelebat di depanku. 

"Piye le, sampean apa mau ibu pindah ke sekolah ibu?"

Aku masih ingat betul saat engkau mengatakan, "Aku sudah kerasan mondok disini buk! Kemarin nilai rapotku juga bagus, lo." Matamu berbinar meski hanya terlihat via layar Hp.

Mungkinkah aku seret anakku. Ibu macam apa aku yang rela menggadaikan anaknya sendiri. Sementara kalau memilih resign. Aku harus bagaimana? Untuk mencoba melamar ke sekolah lain rasanya sungguh tidak mungkin. Sekolah sekolah di luar sudah dimulai kegiatan belajarnya. Jadwal sudah tertata. Selaksa dua dinding menghimpitku dari arah berlawanan. Hatiku hancur berkepng keping. Kutinggalkan gedung itu. Aku tak mau airmataku beranak pinak. Meski akhirnya pertahananku runtuh. Ya Allohu Robbi,,,aku berserah kepadaMu atas berlabuhnya takdirku ini.

 

Bersambung...

Graha Sekar Telon, 26 Agustus 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post