Prinsip Percakapan dalam Ilmu Pragmatik
Judul artikel : Prinsip Percakapan dalam Ilmu Pragmatik
Penulis : Nur Amiliya
Penerbit : Kampus STKIP PGRI TRENGGALEK Provinsi Jawa Timur
Kota Terbit : Trenggalek
Tahun terbit : 2023
BAB I
PENDAHULUAN
Dari sisi ragam, sejalan dengan pemikiran Joos (1962),terdapat tuturan yang dikemukakan dalam ragam beku (frozen),misalnya tuturan penghulu pada saat menikahkan pengantin,tuturan khatib pada saat menyampaikan rukun khutbah, dann tuturan pendeta saat pembaptisan; resmi (formal), misalnya tuturan presiden dalam rapat terbatas dan tuturan kedinasan lain dalam rapat bertopik sensitif; konsultatif (consultative), misalnya tuturan dosen dalam pembimbingan skripsi dan tuturan guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas; informal (casual), misalnya tuturan antarteman saat mengobrol atau membahas topic-topik ringan dalam situasi nonkedinasan; dan akrab (intimate), misalnya tuturan keseharian dalam komunikasi internal anggota keluarga dan tuturan ekspresif curahan hati antarteman yang kuat ikatan emosionalnya atau yang banyak common sense di antara mereka. Dari sisi motif, sejalan dengan pendapat Leech (1983), terdapat tuturan bermotif interaksional dan transaksional. Tuturan interaksional berciri “mengesampingkan konten” dan mengedepankan usaha menjaga keharmonisan hubungan sosial, misalnya tuturan “Akan mengajar, Ibu?” yang disampaikan mahasiswa kepada dosen dalam keadaan ia mengetahui dosen akan mengajar. Tuturan transaksional, berkebalikan dengan tuturan interaksional, berciri mengedepankan konten komunikasi dan mengesampingkan motivasi sosial, misalnya tuturan dalam transaksi jual-beli, ceramah, dan tutorial.
Dari sisi partisipan, terdapat tuturan yang dikemukakan oleh pria kepada wanita atau kebalikannya, sesama pria, dan sesama wanita; orang yang lebih tua ke yang muda dan kebalikannya serta sebaya; orang berpendidikan kepada orang biasa dan kebalikannya, orang berpendidikan kepada orang berpendidikan, orang biasa kepada orang biasa; orang bertingkat sosial tinggi kepada orang biasa dan kebalikannya, dan sebagainya. Demikian kompleks varian tuturan bila dikaji dari partisipan dan unsur-unsur SPEAKING lainnya. Kekompleksan tersebut bertambah bila dikaitkan dengan jenis kecerdasan yang melekat pada partisipan seperti yang dikemukakan oleh Gardner (1993), keterampilan akademis yang sedang diaplikasikan oleh partisipan seperti yang dikemukakan Bailey (2003, 2011) dan Sharpe (2007), dan sebagainya karena hal-hal tersebut berpengaruh pada performansi tuturan. Dari sisi kecerdasan, tuturan orang yang berkecerdasan linguistis tinggi, misalnya, biasanya menampakkan keterperincian deskripsi objek, sedangkan tuturan orang berkecerdasan logiko[1]matematis biasanya menampakkan dominasi argumen. Dari sisi keterampilan akademis yang sedang diaplikasikan penutur, tuturan produk pencatatan (note-taking) bertipe garis besar (highlights); tuturan produk peringkasan (summarizing) bertipe ringkas dan memertahankan organisasi teks sumber; tuturan produk pemarafrasaan (paraphrasing) bertipe memertahankan konten teks sumber, tetapi terdapat substitusi, adisi, atau pun delisi redaksi; dan tuturan produk sintesis (synthesizing) berciri memuat butir-butir parsial dari minimal dua teks sumber yang disitasi.
Dalam perspektif pragmatik, cabang linguistik yang berkonsentrasi pada fenomena penggunaan bahasa (Wilson, 2009), fenomena tuturan yang dipaparkan di depan dikaji dari sisi internal tuturan. Sebagai contoh, tuturan “Kemarin saya pakai bayar iuran, Ayah.” dikaji dalam tindak ilokusi, prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, implikatur percakapan, eksplikatur, presuposisi, deiksis, struktur percakapan, dan sebagainya. Dalam hal ini penting untuk dikedepankan tiga catatan tentang jumlah kajian yang dapat digunakan untuk menganalisis data tertentu. Pertama, dalam praktik berbahasa terdapat fakta bahwa data tertentu memiliki kekhasan sehingga potensinya tinggi untuk dikaji dengan banyak teori. Seperti yang diuraikan di depan, data “Kemarin saya pakai bayar iuran, Ayah.”, misalnya, dapat dikaji dengan setidak-tidaknya enam teori, yaitu tindak ilokusi, prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, implikatur percakapan, eksplikatur, presuposisi, deiksis, dan struktur percakapan. Datalain yang diuraikan di depan, yaitu “Masih, Ayah.”, tidak dapat dikaji dengan teori implikatur dan eksplikatur. Data berikutnya,
Percakapan merupakan sebuah interaksi bahasa yang dilakukan oleh duaorang atau lebih antara mitra tutur dengan lawan tutur yang bertujuan untukmenyampaikan gagasan, perasaan, keinginan, ataupun informasi agar tercapainyasuatu hubungan yang berkolerasi (Yule, 2014:69).Rusminto (2009:70) menyatakan bahwa implikatur percakapan adalahsusuatu yang disembunyikan dalam sebuah percakapan, yakni suatu cara implisitterdapat dalam penggunaan bahasa secara aktual. Implikatur percakapan dapatterjadi dalam percakapan pada proses pembelajaran. Dengan adanya implikaturpercakapan yang terjadi dapat menyebabkan semuabagian yang ada di dalamlatihan menjadi ikut terlibat dalam kejadian tersebut.
Contoh dialog percakapan di atas terjadi ketika murid Taekwondo sedangbertatap muka dengan pelatih di saat latihan segera dimulai. Konteks percakapanyang terjadi pada dialog di atas adalah membahas masalah hasil seleksi salah satumurid. Keingintahuan murid tentang hasilnya membuat murid ingin menannyakanbagaimana hasil seleksinya. Dalam konteks di atas hasil seleksi yang dimaksudtanpa disadari diketahui oleh kedua penutur dan mitra tutur. Jawaban dari mitratutur dapat dilihat terjadi implikatur. Implikatur merupakan ujaran yang kadangtidak dinyatakan langsung oleh penutur atau mitra tutur. Disamping itu, agarimplikatur-implikatur dapat ditafsirkan maka beberapa prinsip kerja sama dasarharus lebih dini diasumsikan dalam pelaksanannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Prinsip Percakapan dalam Ilmu Pragmatik
Frekuensi percakapan yang dalam kehidupan sehari-hari tinggi menginspirasi banyak pakar untuk memberikan perhatian khusus. Sebagian di antara mereka membahasnya dalam forumforum informal dengan cara memberikan nasihat kepada orang lain agar berkomunikasi secara efektif, tidak melukai perasaan orang lain, fokus pada tujuan dan tidak berbelok ke mana-mana, dan sebagainya. Sebagian yang lain melakukan kajian serius secara formal. H. P. Grice dalam hal ini dapat disebut sebagai satu di antara orang pada kelompok terakhir.
Tujuan yang menjadi orientasi penutur dan petutur dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu tujuan yang berbasis transaksi konten komunikasi dan fungsi sosialkomunikasi. Tujuan yang berbasis transaksi konten komunikasi berorientasi pada pemahaman petutur terhadap tindak ilokusi penutur melalui pemaknaan terhadap tuturan dalam tindak lokusi dan perlokusinya yang kemudian dikaitkan dengan konteks tuturan. Kedekatan hubungan kedua maksim itu tersaji pada unit percakapan (1) berikut.
(1) Adit : Mas Cakra tinggal di mana sekarang?Bobby : Dekat Badut sana. Konteks: Adit dan Bobby bertemu di suatu tempat setelah bertahun-tahun berpisah. Mereka dulu satu kos dengan Cakra di suatu daerah, sekitar dua km dari daerah Badut.Jawaban Bobby mengisyaratkan bahwa dia tidak mengetahui secara pasti alamat Mas Cakra. Informasi yang diberikan Bobby dengan demikian kurang dari yang diperlukan Adit. Dengan kata lain, melalui tuturan yang kontennya terbatas tersebut Bobby dengan sengaja melanggar maksim kuantitassubmaksim “usahakan sumbangan informasi Anda sesuai.
Prinsip kerja sama yang dikemukakan Grice (1975) terdiri atas empat maksim atau aturan yang berfungsi mengatur konten dan cara bercakap-cakap. Lebih daripada itu, seperti dinyatakan Wahab (1990), prinsip yang diperinci menjadi empat maksim itu berfungsi mendasari kinerja percakapan agar berlangsung kooperatif dan efisien. Karena itu, kepatuhan penutur dan petutur terhadap prinsip itu, dalam pandangan Yule (1998), merupakan prasyarat percakapan dalam arti bahwa pada satu sisi penutur dan petutur terikat oleh “perjanjian kerja sama” hingga tujuan kedua pihak tercapai dan pada sisi lain lebih baik tidak bercakap-cakap bila memang tidak ingin bekerja sama.
Jika Smith dan Wilson menginterpretasi konsep relevansi seperti yang dipaparkan di depan, interpretasi Leech berbeda. Leech (1983) menginterpretasi konsep itu dengan cara mengaitkannya dengan situasi tutur. Menurutnya, tuturan X dipandang relevan dengan situasi tutur tertentu jika interpretasi terhadap X mendukung ketercapaian tujuan percakapan. Dalam hubungan itu, kasus dalam (5) berikut, menurut Leech (1983), memerlukan penjelasan yang lebih kompleks.(5) A : Di mana catatan rapat tadi?B : Taksinya sudah datang.Dalam (5), tuturan B tampaknya tidak dapat dianggap sebagai jawaban yang menunjukkan kerja sama karena tidak membantu A untuk menemukan yang ditanyakannya. Akan tetapi, tuturan B tetap dapat dinilai relevan jika jawaban tersebut diinterpretasi sebagai suatu alasan B untuk tidak menjawab secara pasti pertanyaan A karena ia harus melakukan aktivitas mendesak, yaitu naik taksi yang aka mengantarkannya.Relevansi memunyai hubungan positif dengan kelangsungan penyampaian maksud dan memunyai hubungan negatif dengan panjang rantai cara-tujuan yang merepresentasikan daya ilokusi suatu tuturan. Dengan kata lain, makin relevan suatu tuturan makin bersifat langsung penyampaian maksud dan makin pendek rantai cara-tujuan yang merepresentasikan daya ilokusi.
Dasar-dasar teori relevansi di antaranya sebagai berikut. Pertama, konteks tuturan bersifat apa adanya (given) dan tidak problematis. Dalam suatu interaksi kedudukan fitur-fitur konteks tidak sama sehingga perlu diseleksi fitur yang dipandang relevan. Kedua, tidak terdapat definisi relevansi yang baku sehingga kerelevanan suatu tuturan bersifat fleksibel. Ketiga, nosi “pelanggaran maksim” bersifat berlawanan asas (paradoxical) dalam setiap kasus penyampaian pesan yang relevan. Bila relevansi merupakan kunci, nosi “pelanggaran maksim” dapat digunakan (can be dispensed with) (Sperber dan Wilson, 1986; Cruse, 2000).
Dalam sebuah Jurnal
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang masih tergolong baru. Pragmatik dapat diartikan sebagai suatu cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna yang dikehendaki oleh penutur atau yang lebih sering disebut mengkaji bahasa ditinjau dari pemakai bahasa. Pragmatik memiliki banyak kajian, di antaranya deiksis, praanggapan, implikatur percakapan, tindak bahasa, dan analisis wacana. Implikatur dapat diartikan sebagai maksud yang tersembunyi di balik tuturan. Sementara itu, implikatur percakapan adalah implikatur yang hanya diketahui oleh sebagian orang yang mengetahui konteks tuturannya saja. Implikatur percakapan berusaha untuk menganalisis suatu percakapan sehingga diperoleh makna yang benar. Humor merupakan kemampuan mental dalam menemukan, mengekspresikan atau mengapresiasikan seseuatu yang lucu atau sesuatu yang benar-benar tidak lazim.
Pendekatan pembelajaran yang disinyalir mampu memberikan pengetahuan mengenai penggunaan bahasa senyatanya adalah pendekatan pragmatik dengan memberikan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pemakaian bahasa. Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama, (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan, (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran, dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor- faktor penentu tindak komunikatif (Asrory, 2004). ampil berbicara, (4) guru terlalu ketat menuntut dipakainya ragam baku, dan (5) pengaruh lingkungan, seperti gangguan teman sekelas atau karena bising. Dengan teknik koreksi oleh sesama teman, hambatan nomor lima setidaknya dapat diatasi.
Keterlibatan guru dalam memberikan masukan-masukan kepada siswa tentunya memperdalam akan pemahaman semakin siswa terhadap kesalahan yang dilakukan. Mungkin saja nantinya ada kesalahan atau kekurangan-kekurangan lain yang belum disampaikan oleh siswa ketika mengomentari temannya, saat itulah guru akan menambahkannya. Sepengetahuan penulis, penelitian dengan penggunaan pendekatan pragmatik yaitu prinsip-prinsip penggunaan bahasa disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru untuk meningkatkan keterampilan menceritakan pengalaman belum pernah dilakukan. Penelitian-penelitian sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan rekomendasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangkan untuk menyusun langkah pembeajaran dalam penelitian ini adalah penelitian yang berjudul Efektivitas Masyarakat-Belajar
(Learning Community) dalam Wujud Diskusi Kelompok Kecil untuk Meningkatkat Keterampilan Berbicara Siswa Kelas VIIIA SMP Negeri 2 Penebel oleh Ni Made Rai Wisudariani tahun 2008. Menurut Rai, pembentukan kelompok yang bersifat heterogen dalam hal akademis, gender, dan latar belakang sosial ekonomi menjadikan suasana kondusif. pembelajaran Penelitian semakin yang lain rekomendasinya dapat dijadikan bahan pertimbangan adalah penelitian yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme dengan Media Wayang untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas VIIB SMP Negeri 2 Ubud oleh Ade Suryadana tahun merekomendasikan 2009. agar Ade dalam pembelajaran berbicara, siswa diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri.
keterampilan berbicara siswa Kelas VIIE SMPN 5 Negara dengan pemberian pengetahuan mengenai prinsip-prinsip penggunaan bahasa disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru pada dasarnya bertujuan untuk melatih siswa menggunakan bahasa dengan mengaitkan bahasa dengan unsur-unsur di luar bahasa dan memperbaiki kesalahan-kesalahan siswa dalam berbicara. Baik itu kesalahan ucapan, diksi, kekeliruan pemberian tekanan, gerak-gerik dan mimik yang tidak tepat. kesalahan pemilihan bahasa yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan serta hal-hal lain saat siswa bertindak tutur.
Teknik koreksi oleh sesama teman dan oleh guru ini dipilih selain bertujuan untuk memperbaiki kesalahan siswa yang melakukan tindak tutur juga untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif. Sumarsono (1985:45) menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang dihadapi oleh seorang siswa dalam pembelajaran berbicara adalah: (1) gangguan psikis, seperti gagap, gugup, malu, demam panggung, kelelahan, (2) gangguan fisik, seperti tidak mampu melafalkan /r/ dengan baik, (3) guru terlalu banyak mencela ketika siswa
Daftar rujukan
Buku Dr. Suhartono, M.Pd.
Jurnal Netti Yuniarti
Dalam jurnal santiaji pendidikan,volume 3, Nomor 2, juli 2013.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar