Nurani Ike

I wanna be what I wanna be...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ilalang yang Tak Lagi Bergoyang
canva.com

Ilalang yang Tak Lagi Bergoyang

Haruna melangkah gontai keluar dari ruang meeting. Baru saja Bos besar mengadakan meeting dengan para pemegang divisi. Tanpa menunggu lama, dia segera saja pulang ke messnya. Hari sudah beranjak petang. Dia tidak mau menunggu lebih lama hingga darahnya mendidih. Keringat di sekujur tubuhnya tidak ia hiraukan. Mobil yang dikendarainya pun tidak jua bisa membantunya untuk mendinginkan suasana hatinya.

***

"Keputusan dari komisaris dan pemegang saham ini tidak bisa diganggu gugat. Kita harus segera mengambil langkah cepat agar perusahaan ini tidak kolaps bahkan bangkrut dan berhenti seperti yang lain. Setidaknya selama pandemi ini."

"Maaf, Pak, Apakah tidak ada cara lain selain merumahkan para karyawan? Kasihan mereka bila ini terjadi."

"Haruna, kamu mungkin belum di posisi seperti saya dan para komisaris, jadi pemikiranmu masih di ranah itu. Memperjuangkan kepentingan karyawan. Suatu saat kamu akan tahu jika kamu sudah merasakan di posisi kami."

Haruna terdiam. Dia tidak ada lagi yang ingin dia sampaikan. Toh, itu semua tidak ada artinya. Dia hanya 'manut' mengikuti 'dhawuh' para pembesar dan pejabat di perusahaan tempat dia bekerja.

***

Haruna melajukan mobilnya dengan pelan. Dia ingin merasakan hawa petang hari ini yang membawa kesejukan. Kelap-kelip lampu jalanan sudah mulai tampak. Indah memang petang hari ini. Namun, keindahannya tertelan rasa sumpek yang sedang dia rasakan. Di usianya yang masih muda, memegang tampuk pimpinan tinggi merupakan sebuah prestasi tersendiri. Namun, agaknya ini membuat batinnya bergejolak tatkala dia tidak bisa menemukan keseimbangan antara pemikiran pebisnis dan pemikiran pekerja. Apakah ini artinya adanya halangan antara pemikiran kapitalis dan pemikiran karyawan seperti dia?

***

"Runa, besok kami akan mengadakan demo. Kita harus memperjuangkan nasib kita Runa." Hendri memecah kesunyian dengan informasi yang mengejutkan ini.

"Nekat kamu! Jangan! Itu akan merusak segalanya," cegah Haruna.

"Masa iya kita akan berdiam diri saja? Mereka sudah menginjak-nginjak harga diri kita dengan berbuat seenaknya Runa." Suara Hendri makin menggelegar.

"Dengar, Hen. Satu langkah saja kamu ikuti mereka, kamu bisa kehilangan segalanya Hen. Ikuti ucapanku. Berdiamlah dulu. Ingat anak dan istrimu yang masih membutuhkanmu."

Hendri beranjak meninggalkan kamar mess Haruna. Haruna tak hendak mengejarnya. Pikirannya tidak bisa menjangkau nalar Hendri yang ternyata bisa benar-benar kalap. Tidak mengherankan memang bila dia bisa bertindak begitu. Di pundaknya ada tanggung jawab yang besar. Kini Haruna hanya berdiam diri di teras kamarnya. Dipandanginya sekelilingnya. Mess ini mulai sepi. Satu per satu para pegawai dan karyawan yang semula tinggal di mess bersamanya, dipulangkan dengan berbagai alasan. Entahlah, satu makhluk yang tidak bisa dilihat secara kasat mata ternyata sudah membuat segalanya luluh lantak, satu per satu. Haruskah semua orang menghujat si kecil Covid-19 ini?

***

Aksi demo yang dilakukan oleh karyawan dan pegawai perusahaan yang terkait dengan adanya peraturan baru tentang undang-undang bagi buruh dan karyawan diwarnai dengan aksi bentrok dan baku hantam dengan aparat kepolisian. Para karyawan ini menuntut diberikannya pesangon secara penuh apabila memang akan dirumahkan....

Haruna tidak sedikit pun berkedip saat menonton berita tentang aksi demo untuk memperjuangkan hak-hak para buruh dan karyawan itu. Banyak para pedemo yang bergelimpangan bersimbah darah. Namun, matanya menangkap satu sosok yang dia kenal betul. Hendri. Hendri, sahabatnya bersimbah darah. Dari penuturan sang reporter, dia termasuk pedemo yang ditembak karena memaksa merangsek ke dalam barikade para aparat kepolisian.

Haruna tak kuasa menahan sesak di dadanya. Sangat disayangkan, sahabatnya itu tidak mau mendengarkan nasihatnya. Dia sekarang justru kehilangan segalanya. Anaknya, istrinya, dan masa depan orang-orang yang dia cintai.

Haruna sekarang kehilangan sosok Hendri yang taat beribadah. Layaknya sebuah ilalang, dia tak lagi bisa bergoyang mengikuti terpaan angin.

Glossarium:

1. Manut = patuh

2. Dhawuh = perintah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren banget cerpennya, Bund. Kekinian dan sesuai situasi yang tengah berkembang saat ini. Saya menangkap pesan agar bijak bersikap dan bertindak supaya tidak mencelakakan diri sendiri. Salam hangat dan izin memfollow ya, Bund.

15 Oct
Balas

terima kasih Bu

15 Oct

Keren mb ike, jadi terbawa falam cerita

14 Oct
Balas

suwun mas

14 Oct

Luar biasa kisah pilu seorang yang memeperjuangkan haknya.. Keren mba ike cantik.. Jadi terbawa suasana sedihnya Haruna... Sukses selalu buat mba ike sayang... Salam santun selalu

14 Oct
Balas

makasih Bu. Belajar menuangkan fakta di depan mata

14 Oct

Keren Diajeng say, cerpennya...membuat trenyuh.Salam literasi... sudah saya follow say.

14 Oct
Balas

siap Bu

14 Oct

Banyak kejadian seperti ini , pilu... Jadi nyesek rasanya... Semangat Adinda cantik

15 Oct
Balas

Siap, Bunda. Terima kasih

15 Oct

Bisa jadi saksi perjalanan hidup....

14 Oct
Balas

aku bantu tuliskan. kelak bisa utk anak dan cucu

15 Oct



search

New Post