Nur Arifah Rory

Nur Arifah Rory,S.Pd Lahir di Malang, 27 Maret 1968 Tempat Tugas : TK Bougenville Kab. Pohuwato Gorontalo...

Selengkapnya
Navigasi Web

SEJUTA ASA YANG KELABU

TAGUR_66

Judul : Sejuta Asa yang kelabu

Penulis : Nur Arifah Rory,S.Pd

Genre : Romance

Jumkat : 1208

Bag. 4

Diketerpakuannya, dia dikagetkan bunyi nada dering ponsel yang sejak tadi ditaruhnya di atas meja.

Nathan melangkah dan mengambil ponselnya.

"Halo, Bro," sapa suara familiar sahabatnya, Joni.

"Dimana sekarang?" tanya Nathan antusias.

"Baru sampai, Bro. Posisi?" Suara diseberang juga terdengar antusias, maklum sudah lama mereka tak bertemu.

"Biasalah, di kantor," jawab Nathan sambil mengetuk-ngetuk meja.

"Mantap! Sudah jadi bos rupanya," kata Joni diakhiri dengan tawa.

"Jangan ngeledek, entar kualat," ujar Nathan ikut tertawa.

"Sialan!" umpat Joni.

"Ayo, nongkrong," ajak Nathan sambil mengambil jas dan kunci mobil.

"Oke, tempat biasa, Bro." Joni mengakhiri percakapan mereka sebelum Nathan menyetujuinya.

"Kebiasaan," gerutunya sambil menatap ponselnya.

Sepertinya dia akan terlambat pulang, jadi dia akan mengabari orang tuanya.

"Halo, Ma. Aku gak makan malam di rumah, ada janji sama Joni," beritahu Nathan.

"Iya, jangan malam-malam pulangnya," pesan mama seperti pada anak kecil saja.

"Baik Nyonya besar," jawab Nathan menggoda sang mama.

"Dasar! Besok kerja, tau," beritahu mama sambil tertawa.

"Oke, Mama sayang, tolong bilang papa ya."

Mama menjawab, "Iya." Pembicaraan berakhir.

***

Tempat biasa yang mereka sering kunjungi waktu masih SMA, adalah sebuah cafe sederhana.

Namun kini cafe ini sudah berubah dratis mengikuti perkembangan zaman, tapi sisa-sisa kenangan itu tak pernah hilang.

Setiap kali mereka ada kesempatan, pasti mereka berkumpul di tempat ini.

Nathan memasuki cafe sambil mencari sosok Joni, tampak lelaki atletis itu sedang menggoda seorang gadis.

Gadis itu tampak akrab dan ceria mungkin mereka sudah kenal lama. Dari dulu Joni memang gampang akrab dengan gadis-gadis.

“Jon,” panggil Nathan sambil melambaikan tangan.

Joni menoleh sekilas sambil mengangkat tangan, kembali berbicara dengan gadis tadi.

Joni menghampiri sahabatnya setelah gadis itu pergi.

“Siapa?” tanya Nathan menggoyang dagunya.

Joni tersenyum, menatap bayang gadis yang sudah menghilang dengan mata berbinar.

“Teman,” jawabnya.

Nathan tak berniat mengorek keterangan lebih jauh tentang gadis yang bersama Joni tadi.

Mereka mencari tempat yang biasa mereka tempati tapi sayangnya sudah keduluan orang.

Tempat ini bukan tempat yang bisa dibooking seperti tempat di tempat lain.

Akhirnya mereka mengambil tempat di sisi jendela kaca, dan tak mengecewakan karena bisa melihat pemandangan kota pada malam hari.

Kerlap kerlip lampu menghiasi rumah-rumah dikejauhan sana yang tampak kecil.

Mereka memesan makanan dan minuman favorit mereka.

“Tinggal kita berdua yang jomblo,” celetuk Nathan sambil melihat keramaian jalan raya.

“Enak aja, kamu aja yang jomblo, aku sih gak,” elak Joni seraya mengejek sahabatnya.

“Siapa suruh berekspresi datar sama cewek-cewek, jones ‘kan?” ledek Joni lalu tertawa.

“Sialan!” umpat Nathan sambil meninju lengan sahabatnya pelan.

“Jones, jomblo ngenes.” Joni mengucapkannya berirama, Nathan hanya bisa melotot melihat tingkah sahabatnya.

“Gimana kabar, Revan?” tanya Nathan, Joni menggeleng.

“Gak tau, tuh anak dimana sekarang. Sejak menikah, gak pernah ngabarin,” jawab Joni sambil memainkan sendok dan garpu.

Kebiasaan dulu waktu masih SMA, Joni selalu memainkan musik dengan sendok dan garpu.

“Kalau Dika, minggu lalu kontak aku. Katanya dia di Bali, bisnis disana sama istrinya,” cerita Nathan.

“Sudah berapa anaknya?” tanya Joni penasaran.

“Tau, dua atau tiga, katanya istrinya hamil lagi,” kata Nathan.

“Gila! Peternakan, apa?” Mereka tertawa terbahak-bahak, tak sadar bahwa mereka harus menjaga image.

Pelayan datang membawa pesanan mereka, menaruh makanan dan minuman dengan hati-hati.

“Selamat menikmati, Mas,” ucap pelayan itu ramah.

“Terima kasih,” jawab keduanya.

Dua lelaki ganteng itu, menikmati hidangan dengan perasaan senang, sambil mengenang masa lalu.

Masa putih abu-abu memang masa penuh warna, saat pertama kali Nathan menyatakan cinta pada seorang gadis, padahal ketiga sahabatnya sudah bolak balik ganti pacar.

Mereka menyayangkan sikap Nathan yang selalu dingin pada lawan jenis, sampai ada rumor bahwa dia gay.

Entah karena rumor itu atau memang dia menyukai gadis itu, tiba-tiba saja dia menyatakan cinta dan anehnya baru satu minggu sudah bubaran.

Ketiga sahabatnya geleng-geleng kepala, bahkan hampir menghajarnya karena sudah membuat seorang gadis patah hati.

Flashback on

“Kenapa sih, kamu tega sekali?” tanya Dika marah.

“Iya, gimana kalau adikmu yang digituin?” Revan juga marah.

“Sudah-sudah, coba kita dengarkan dia dulu,” kata Joni menengahi.

Dika dan Revan menatap Nathan dengan tatapan menghakimi, hanya Joni yang menatapnya dengan rasa kasihan.

“A-aku, suka sama dia, tapi...” Nathan menghela nafas panjang, dia bingung dengan hatinya sendiri.

“Tapi, kenapa?” tanya Dika tak sabar.

“A-aku gak tau,” kata Nathan frustasi, dia berdiri menurunkan tangannya yang sejak tadi menutupi wajahnya.

Nathan meninggalkan ketiga sahabatnya dengan langkah gontai, sementara Dika dan Revan memendam kemarahan. Ketiganya hanya bisa memandang punggung Nathan dan berusaha untuk memahaminya.

Nathan datang ke rumah gadis bernama Vina Angraeni, adik kelasnya yang pernah jadi pacar walau hanya seminggu.

“Selamat sore.” Nathan memberi salam saat bertemu seorang wanita setengah baya berdaster batik hijau.

“Kamu siapa? Ada perlu apa?” tanya wanita itu ketus.

“Saya Nathan, perlu bertemu Vina,” jawab Nathan takut.

“Tunggu disitu,” kata wanita itu sambil menatap curiga.

“Vin! Ada yang cari,” teriak wanita itu sambil menoleh ke rumah.

Nathan masih berdiri di luar pagar, seperti anak sedang dihukum.

Wanita berdaster itu terus mengawasi Nathan, mata besarnya seakan hendak menelanjangi kejahatannya pada anak gadisnya.

“Siapa, Ma?” tanya suara lembut disana, Nathan mendongak dengan rasa bersalah.

Wanita berdaster itu masuk kedalam, karena anak gadisnya sudah keluar.

“Jangan lama-lama,” pesannya yang sengaja diperdengarkan pada Nathan, Vina mengangguk.

“Ada apa, Kak?” tanya Vina lembut, semakin membuat Nathan makin bersalah.

“A-aku ma-mau minta maaf,” jawabnya gugup.

“Untuk apa, Kak?” tanya Vina, kali suaranya agak kesal.

“Maaf, karena membuat kamu kecewa,” kata Nathan.

“Kakak gak usah minta maaf, ini juga salah Vina, kok.” Gadis itu berusaha lebih tegar.

“Pokoknya, aku minta maaf sebesar-besarnya.” Nathan memohon agar Vina memaafkannya.

“Kakak pulang saja, Vina sudah memaafkan, kok.” Gadis itu berlari meninggalkan Nathan yang masih terpaku ditempatnya berpijak.

Lama dia menunggu di pintu pagar seperti pengemis yang belum dikasih jatah uang.

Dengan langkah gontai dia meninggalkan rumah Vina, dalam hatinya berkecamuk antara sedih dan lega.

“Aku udah minta maaf sama Vina,” ujar Nathan, ketika dia bertemu ketiga sahabatnya.

“Apa dia bilang?” tanya Dika sebal.

“Dia memaafkanku,” jawab Nathan masih tersisa rasa bersalah dalam hatinya.

“Kalau aku jadi Vina, kulempari batu,” kata Revan kesal.

“Sudah-sudah, yang penting sekarang Vina sudah memaafkan, lagian Nathan sudah menyadari kesalahannya,” kata Joni.

Sejak itu Nathan tidak berani lagi mencoba pacaran, dia takut menyakiti hati wanita.

Dia juga tak ingin kualat atau kena karma, takutnya adik kesayangannya merasakan hal yang menyakitkan, Nathan tak ingin itu terjadi.

Flashback off

“Heh bengong, ada apa?” tanya Joni karena melihat sahabatnya terdiam begitu lama.

“Eh, gak ada apa-apa, kok.” Nathan terkejut lalu menggeleng.

“Ingat Vina ya?” Joni menebak dengan telak membuat Nathan terkesima.

“Gimana kabarnya sekarang, ya?” Nathan menghela nafas, entahlah beberapa hari ini dia sering menghela nafas.

“Bulan lalu aku bertemu dia di Singapur,” jawab Joni mengingat adik kelasnya yang jadi pacar seminggunya Nathan.

‘Tapi gak sempat ngobrol banyak, hanya dia kasih nomor ponselnya, kamu mau nomornya?” cerocos Joni sambil menggoda sahabatnya, Nathan menggeleng.

“Gak usah, takut menyakiti dia lagi,” jawab Nathan tersenyum.

“Kirain mau CLBK,” goda Joni yang membuat Nathan tersenyum malu-malu, seperti anak baru gede saja.

Setelah selesai makan Nathan pergi ke kasir sementara Joni pergi ke toilet.

Nathan menunggu sahabatnya di luar, tapi yang ditunggu tak muncul-muncul.

[“Cepat, Bro. Kutunggu di bawah.”] Nathan menulis di aplikasi hijau ponselnya.

[“Duluan aja, aku kebelet nih.”] Joni membalasnya.

“Ditunggu apa ditinggal,” gumamnya dilema.

Akhirnya Nathan memutuskan untuk menunggu sahabatnya.

Satu menit, dua menit sampai sepuluh menit, orang yang ditunggu tak kunjung datang.

“Berak batukah?” tanya Nathan saat Joni dengan tergesa menghampirinya.

Joni hanya tertawa, “Gila aja, berak batu.”

Pohuwato, 20 Mei 2021

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

20 May
Balas

Terima kasih pak

20 May

Menarik sekali Bunda. Luar biasa pokoknya. Semoga sehat dan sukses selalu.

20 May
Balas

Terima kasih Bu, supportnya

20 May

Sllu keren bunda...slm sukses

21 May
Balas

Terima kasih say, GBU

21 May

Terima kasih say, GBU

22 May



search

New Post