Nur Arifah Rory

Nur Arifah Rory,S.Pd Lahir di Malang, 27 Maret 1968 Tempat Tugas : TK Bougenville Kab. Pohuwato Gorontalo...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEJUTA ASA YANG KELABU

SEJUTA ASA YANG KELABU

TAGUR_71

Sejuta Asa yang kelabu

Nur Arifah Rory,S.Pd

BAG.9

Manusia selalu dirundung masalah begitu juga yang dialami Lovina. Dia masih berkutat dengan masalah pengirim pesan misterius.

Sejak malam Lovina menghubungi nomor itu tapi tak ada tanggapan, semua pesannya hanya dibaca.

Pagi hari dia bangun masih dengan setumpuk kekesalan.

“Lihat saja kalau ketemu,” ancam Lovina.

Kalau saja hari ini tak ada kuliah, dia akan mencari orang itu. Lovina mengacak-acak rambutnya kesal, sampai-sampai mama kaget dibuatnya.

Pagi-pagi lihat singa di kamar putrinya, Lovina kaget juga melihat kedatangan sang mama. Dia tak sempat merapikan rambutnya.

“Eh, Mama! Vina belum cuci rambut jadi gatal,” katanya sambil menggaruk kepalanya.

“Dari kemarin, Mama liat uring-uringan terus, ada apa sih?” selidik mama.

“Ih, Mama gak percayaan amat sih,” elak Lovina lalu menyisir rambutnya di depan cermin.

“Udah mandi?” tanya mama, Lovina hanya menggeleng tak berniat menghentikan aktivitasnya, menyisir rambut.

“Loh, kok udah sisiran?”

“Biar rapilah, Ma,” jawab Lovina senyum-senyum.

Mama hanya menatap sang putri yang tak merasa terganggu, menyelesaikan kegiatannya.

Lovina mengikat rambutnya keatas, mengambil handuk, membiarkan mama terbengong di tempatnya.

Dari kamar mandi terdengar air keran mengalir, kemudian terdengar cebar cebur air disiramkan kebadan. Baru Lima menit gadis itu sudah keluar, mama saja belum beranjak dari tempatnya.

“Tumben, mandinya cepet banget.” Mama mengomentari.

“Dingin,” jawab Lovina beralasan.

Mama keluar membiarkan sang putri mengganti pakaian.

“Sebelum berangkat, sarapan dulu,” pesan mama meninggalkan kamar Lovina.

“Ma, boleh gak aku bawa mobil?” tanya Lovina sambil menyendok bubur ayam.

“Gak boleh, belum punya SIM,” tolak mama tanpa basa basi, Lovina cemberut.

“Kalau gak boleh bawa mobil, beliin motor dong,” bujuk Lovina tapi mama tetap tak mengizinkan.

“Ma, aku ini udah mahasiswa, masa diantar kayak anak SD. Malu tau,” rajuknya.

“Pokoknya untuk sekarang ini, Mama belum mengizinkan.” Mama berkata seakan tak bisa dibantah.

Walaupun kesal tapi terpaksa menerima keputusan mama, diantar Pak Sur.

Pergi ke kampus dengan membawa segudang kekesalan, tadi malam karena orang misterius dan sekarang karena sang mama.

Wajah penasaran sahabatnya menyambut kedatangannya, menambah suasana hatinya tambah tak karuan.

“Vin!” panggil Serra, karena Lovina pura-pura tak melihatnya.

Lovina membuang nafas kasar, menatap sahabatnya tanpa ekspresi.

Serra menelan pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya.

“Ayo, ke kelas,” ajak Serra sambil menarik tangan Lovina.

“Sudah ketemu orangnya? Siapa?” Lovina hanya diam membisu.

Serra ingin membantu sahabatnya ini, tapi bagaimana caranya?

Wajah cantik Lovina tampak kuyu, semalam dirinya tidak bisa tidur nyenyak.

Sebentar-sebentar bangun, menunggu orang misterius merespon pesannya tapi sampai sekarang tidak ada pergerakan.

Dalam hati Lovina memberi sugesti pada dirinya bahwa itu cuma orang iseng, tapi sisi hatinya yang lain tidak bisa menerima.

Beberapa kali Lovina mendapat teguran dari sang dosen karena tidak fokus menerima materi, hampir saja dia dikeluarkan dari kelas.

Serra terus membuatnya terjaga, lamunan dan kantuk silih berganti menggodanya.

“Fokus,” bisik Serra sambil menyenggol sahabatnya, karena ulah Lovina keduanya tak mengerti isi materi yang disampaikan, untung tidak pertanyaan mendadak seperti zaman masih SMA dulu.

Setelah selesai kelas Lovina sudah tidak tahan langsung menarik Serra ke tempat yang sunyi.

Serra lega karena Lovina akhirnya memberitahukan semua padanya.

“Kira-kira, siapa ya?” tanya Lovina, bingung.

Serra menyalin nomor misterius itu ke ponselnya, lalu menelponnya, tak ada tanggapan.

“Udah gak usah dipikirin, orang gila itu,” kata Serra kesal.

Lovina tertawa melihat ekspresi sahabatnya, seperti balon yang terlalu banyak angin dan akan meletus.

Akhirnya keduanya tertawa, katanya: “Gitu dong, aku sedih tau. Dari tadi liat kamu murung terus.”

Memang benar, kalau ada masalah dipendam sendiri menyakitkan tapi kalau dibagi pada orang terpercaya pasti akan melegakan.

“Nanti aku minta bantuan Bang Sapta,” kata Serra saat mereka akan berpisah karena Lovina sudah ada jemputan.

“Oke, tapi kalau Bang Sapta gak bisa, jangan ngambek,” pesan Lovina, mengingatkan sahabatnya.

Lovina duduk sambil memandang jendela, melihat jalanan yang tampak macet. Biasa jam seperti ini anak-anak waktunya pulang sekolah, orang kantoran waktunya makan siang.

“Langsung pulang, Non?” tanya Pak Sur, mengalihkan pandangannya dari keruwetan lalulintas.

“Iya, Pak,” jawab Lovina sambil mengangguk.

Ponsel yang sejak tadi dalam genggamannya hampir terlempar karena bunyi notif pesan, dia berharap orang misterius itu mau meresponnya.

Benar saja, itu pesan dari sang misterius. Tanpa menunggu lama, Lovina membaca pesan tersebut.

[“Aku tunggu nanti di cafe kencana jam tujuh, jangan bawa teman.”]

Lovina melihat jam diponsel, sekarang baru jam satu, masih enam jam lagi.

Jantung Lovina berpacu, ada kemarahan yang sedang ditahannya.

Siapa dia? Kenapa dia tahu tentang diriku? Rahasia apa yang dia ketahui? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.

[“Kalau penasaran harus datang, aku tak menunggu lama.”]

Lovina membaca pesan yang baru masuk itu, dia membalasnya: [“Iya, aku ngerti. Bawel!”]

Sampai di rumah, Lovina langsung ke kamar, untung saja mama tak ada. Rumah tampak sepi mungkin mama sedang beristirahat atau sedang keluar.

Di dalam kamar, dia mondar-mandir seperti setrikaan, bisa-bisa lantainya licin.

Jam di dinding yang menempel cantik di sana, seakan menggodanya. Rasa-rasa tangan Lovina ingin memindahkan jarum pendeknya diangka enam.

Dia berguling-guling dikasur, tak tahu apa yang harus dikerjakan untuk membunuh kegalauannya.

“Sial!” Lovina mengumpat kesal.

Rasa penasaran ini seakan ingin mencekik lehernya dan dia merasa sesak.

Karena tadi malam tak tertidur dengan baik, mata Lovina pun mengatup. Detak-detak jam berirama tak juga mengganggunya, dia terus tertidur.

Tepat di jam enam, Lovina tersentak dan terbangun. Langit di luar jendela tampak mulai redup, Lovina linglung sesaat dan ketika matanya bersirobok dengan angka-angka jam dinding, kesadarannya pulih.

“Aduh, udah malam,” katanya cepat, tanpa dikomando dia langsung meraih handuk secepatnya membersihkan diri.

Jam setengah tujuh dia siap berangkat, tapi terkendala dengan izin mama dan juga Pak Sur sudah pulang.

Bujuk membujuk yang cukup alot membuat waktunya semakin menipis, rasanya ingin menangis.

Untungnya Serra menelpon dan membantu meminta izin, dengan berat hati sang mama mengizinkan.

Setelah izin sudah ditangan, kendaraan menjadi kendala. Mama melarang Lovina naik taksi atau ojek online, bisa dibayangkan bagaimana paniknya Lovina.

Namun nasib baik masih berpihak padanya, kakak iparnya datang mengantar makanan kesukaan mama. Lovina bersorak dalam hati. Terima kasih Kak Rando, ucapnya dalam hati.

“Nanti pulang sama siapa?” Mama masih merasa khawatir membiarkan Lovina pergi malam-malam, seorang diri.

“Nanti diantar Serra, Ma,” jawab Lovina berbohong. “Maaf, Ma,” ucapnya dalam hati.

“Nanti telpon aja, Kak Rando jemput, mau kemana sih?” tanya Rando.

“Tuh, Ma. Nanti Kak Rando jemput,” kata Lovina.

“Ayo, Kak,” ajak Lovina, agar tak ditahan mama lagi.

Rando pamit pada mertuanya dan berjalan bersisian dengan adik iparnya.

“Terima kasih, Kak.” Lovina merasa bersyukur dengan kehadiran kakak iparnya.

Diperjalanan mereka berbincang seputar kakak perempuannya dan keponakan-keponakannya.

Lovina diturunkan di depan cafe kencana tepat pukul tujuh kurang lima menit, dengan tergesa-gesa Lovina masuk kedalamnya.

Karena dia tidak tahu siapa orang yang akan ditemuinya, bahkan mereka tidak janjian duduk disebelah mana.

Lovina menemukan kursi kosong di sudut cafe ini dan menunggu si misterius.

Jam diponselnya menunjukkan sembilan belas kosong-kosong, tapi orang yang ditunggu belum juga muncul.

Lovina gelisah, celingak-celinguk mengedarkan matanya pada pengunjung cafe yang sendirian.

Ada beberapa orang yang terlihat sendiri, disudut sana seorang gadis berbaju hitam, dia kah orangnya?

Didekat pintu masuk ada seorang lelaki sedang menyesap kopinya sambil menatap pintu masuk, apa dia?

Masih ada satu lagi yang sendirian, tapi tampaknya dia sedang asyik membaca sambil sesekali menyedot minumannya.

Pelayan datang menanyakan pesanannya, pikirannya sedikit teralihkan.

Saat pelayan itu pergi, kembali netranya menyapu ruangan ini, adakah petunjuk orang misterius itu.

Sepuluh menit telah berlalu, Lovina mengirim pesan dan melihat gadis berbaju hitam itu tergesa melihat ponselnya.

“Apakah dia?” Lovina merasa tidak mengenalnya. Lovina berdiri untuk menghampiri gadis itu tapi diurungkannya, karena seorang lelaki menghampiri gadis itu dan mereka berpelukan.

Pohuwato, 25 Mei 2021

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post