Nur Arifah Rory

Nur Arifah Rory,S.Pd Lahir di Malang, 27 Maret 1968 Tempat Tugas : TK Bougenville Kab. Pohuwato Gorontalo...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEJUTA ASA YANG KELABU

SEJUTA ASA YANG KELABU

TAGUR_81

Sejuta asa yang kelabu

Nur Arifah Rory,S.Pd

BAG. 18

“Aku keluar dulu,” pamit Lovina, lalu keluar dari ballroom untuk mencari udara segar.

“Vin?” Lovina hanya menggeleng bahwa dia tidak apa-apa, dia tak ingin semua berantakan karena dirinya. Serra merasa tak tega tapi juga dia tak enak pada sepupu Bang Sapta kekasihnya.

Lovina melangkah mengikuti kakinya dan entah mengapa dia sudah berada di tepi kolam, dia tersentak dan mundur beberapa langkah.

Dia berusaha untuk tenang, dalam hati menyuarakan bahwa takkan terjadi apa-apa pada dirinya.

Lama dia berdiri di sana bersandar pada tiang penyangga sambil menikmati bintang-bintang melalui dinding kaca.

Entah berapa lama dia berada di sana, sesaknya mulai reda, dia berniat hendak kembali tapi dia tertahan karena ada beberapa tamu datang ke tempat itu.

Ada yang merokok karena memang tempatnya yang terbuka sehingga ada area untuk merokok, ada pula yang sekedar mencari udara segar seperti dirinya.

Mungkin acara pertunangan sudah selesai, setelah makan mereka datang ke tempat ini.

Mengingat soal makanan, perutnya yang memang belum diisi protes dengan suara tak beraturan.

Seorang wanita muda yang baru saja datang bersama seorang lelaki mungkin pasangannya tersenyum padanya, Lovina tersipu malu sambil meraba perutnya.

“Malu-maluin, aja,” gumamnya menunduk, menahan malu.

Lovina bergegas kembali ke ballroom, tapi entah dari mana datangnya lelaki yang sedikit mabuk dan mendorongnya.

Karena tak sempat mengelak dan juga keadaan dirinya yang tidak siap, dia terdorong jauh mendekati kolam.

Lovina menggapai-gapai mencoba mencari pegangan, tak ada satupun yang dapat membantu untuk dia tetap bertahan dan akhirnya.

Byuurrr.....!

Dengan terdengar bunyi itu, Lovina benar-benar hilang keseimbangan, dia terjatuh kedalam kolam.

Wanita-wanita yang ada di ruangan itu berteriak kaget, tapi tak satupun menolong, Lovina menggapai-gapai tanpa daya, dia tak bisa berenang.

Serra yang sejak tadi mencarinya tersentak karena sahabatnya berada dalam kolam.

“Biar aku yang bantu,” kata Bang Sapta sambil membuka jasnya, tapi belum sempat dia membuka jasnya, seorang lelaki tiba-tiba terjun ke dalam kolam.

“Kak, tolong! Kak Athan.” Suaranya terdengar lemah sambil menggapai sesuatu.

Lelaki yang menolongnya terkejut, dengan gemetar dipeluknya tubuh lemah gadis itu dan mengangkatnya.

“Tolong panggil ambulan!” teriaknya, sambil berjalan membopong tubuh Lovina menuju pintu keluar.

Serra dan Bang Sapta mengikuti dari belakang dengan perasaan cemas, bahkan Serra sudah mulai menangis.

“Gadis kecil, bangunlah!” Lelaki itu menggoyang tubuh dalam pelukannya yang tak bergerak, dia takut gadis itu tak selamat.

“Tolong, panggil ambulan!” teriaknya dengan nada cemas, dia tak ingin terjadi apa-apa pada gadis itu.

Ambulan sudah menunggu di depan lobi, mereka sudah siap untuk pertolongan pertama.

Tubuh Lovina di rebahkan di brangkar dengan hati-hati, petugas medis dengan cekatan memasukkannya kedalam, lalu melakukan pertolongan pertama.

Lelaki yang menolong Lovina ikut berada dalam ambulan, saat petugas hendak melakukan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation).

“Biar aku saja yang melakukannya, dia pacarku,” katanya saat petugas tidak terima tugasnya diganggu.

“Anda bisa?” tanya petugas medis itu tak percaya, lelaki itu mengangguk tanpa menjelaskan kapan dan dimana dia belajar seperti itu.

Petugas medis hanya pasrah tapi begitu melihat yang dilakukan pacar korban, seperti seorang ahli bahkan memberi napas buatan, petugas itu merasa lega apa lagi gadis mulai terbatuk.

“Kak Athan,” racau gadis itu lemah.

Petugas medis melanjutkan tugasnya memasang impuls dan memasangkan oksigen kemulut gadis itu.

Selama dalam perjalanan sampai tiba di rumah sakit, tangannya terus menggenggam tangan Lovina, dia sangat cemas.

Bang Sapta dan Serra tiba di rumah sakit, melihat lelaki itu masih menemani di UGD.

“Sebaiknya kamu pulang ganti baju, biar aku dan Serra yang akan menjaganya,” kata Bang Sapta, memegang pundak tunangan sepupunya.

“Iya, Kak, keluarganya juga sudah dalam perjalanan ke sini.” Serra menimpali.

Berat hatinya meninggalkan gadis itu dalam kondisi seperti ini, tapi dia juga tak mungkin menunggu dengan baju basah.

“Than, gimana kondisinya? Baik-baik aja, kan?” Joni tiba-tiba sudah berada di depan rumah sakit saat Nathan hendak pulang.

“Kebetulan kamu datang, ayo, pulang!” perintahnya seperti pada sang supir, Joni tak protes karena dia tahu suasana hati sahabatnya.

Ada senyuman yang tak biasa dibibir Nathan, hal itu tak luput dari pandangan Joni, dia merasa bahagia. Mungkin dengan pertunangannya dia bisa berubah harap Joni dalam hati.

Joni mengantar Nathan untuk ganti pakaian, selama perjalanan Joni selalu mencuri pandang, ada yang aneh pada tingkah Nathan. Senyum-senyum sendiri, kadang bersiul seperti orang yang sedang jatuh cinta.

“Bahagianya, orang yang baru aja tunangan,” goda Joni, Nathan menoleh tak senang senyumnya menghilang.

Joni semakin heran, setelah berganti pakaian, dia meminta mengantarnya ke rumah sakit, bukannya barusan mereka bertunangan, pesta juga belum usai.

Keluarganya dan tunangannya masih berada di sana, Joni tak dapat berbuat apa-apa.

“Bener, mau ke rumah sakit?” sekali lagi Joni bertanya memastikan.

“Bawel!” bentak Nathan acuh, Joni mencibir.

“Kamu kira aku ini supirmu, apa? Enak aja, bentak-bentak,” protes Joni.

“Ya, kalau gak mau ngantar, ya gak apa-apa, aku naik mobil sendiri.” Nathan mau membuka pintu mobil tapi dicegah.

“Bukan begitu, Bro. Keluarga dan tunanganmu masih di sana, apa gak sebaiknya kamu kesana dulu, nanti mereka khawatir.” Joni mencoba memberikan nasihat.

“Yang penting aku sudah tunangan, kalau nanti hubungan kami tidak berjalan dengan baik, ya...itu bukan salahku,” ujar Nathan panjang lebar, sudah lama kalimat itu dia ungkapkan.

***

Langkah Nathan tertahan, saat melihat keluarga gadis itu sudah datang, tak seharusnya dia berada di sini. Benar kata Joni, ada kapasitas apa dia berada di tempat ini? Pacar bukan? Saudara juga bukan?

Wajah-wajah cemas dan sedih keluarga gadis itu, mengingatkan dirinya pada peristiwa beberapa tahun lalu.

“Kenapa? Gak mau masuk?” Joni menunjuk dengan dagunya, Nathan terdiam lalu menggeleng.

“Dasar, aneh!” gerutu Joni.

Nathan melangkah meninggalkan sahabatnya yang masih berdiri di tempatnya semula.

“Jadi, sekarang mau kemana?” tanya Joni sambil mensejajarkan langkahnya dengan sahabatnya.

“Pulang,” jawabnya enteng, membuat sakit kepala Joni.

Kalau saja dia bukan Nathan sahabatnya, sedikit tinjuan bisa membuat sakit kepalanya hilang atau dia tinggalkan saja, beres.

“Ada apa, Than?” tanya Joni lagi, Nathan menatap sahabatnya dengan binar-binar cinta dimatanya.

“Ih, apaan, sih! Gelay, tau!”

Nathan tersenyum dan berkata dengan merdunya: “Aku sudah menemukannya.”

“Maksudmu?” tanya Joni tak mengerti perkataan Nathan.

“Aku bahagia, aku sudah menemukannya.” Nathan menggoyangkan tubuh Joni dengan dua tangannya.

“Apaan, sih, aku gak ngerti.” Joni melepaskan tubuhnya dari tangan Nathan, benar-benar aneh sikap sahabatnya ini, apa dia kena sindrom pertunangan? Joni makin penasaran.

Pohuwato, 05 Juni 2021

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post