Faktor Fatherless Di Wilayah Kampung Cibuntu, Kabupaten Bekasi
Penulis: Nur Arpah S.Pd
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memahami peran ayah dalam meningkatkan perkembangan anak, seperti perkembangan motorik, sosial, dan kognitif. Melalui studi kasus di Kampung Cibuntu, Kabupaten Bekasi, dengan menggunakan Metodologi penelitian dengan cara observasi, dan wawancara secara mendalam kepada beberapa orangtua yang memiliki anak usia dini 2-7 tahun. Selain itu, peneliti juga menggunakan data literatur seperti jurnal dan website media massa. Melalui penelitian ini, peneliti menemukan hasil yang berbeda setiap anak yang memiliki peran ayah dan yang tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak fatherless sangat signifikan terhadap dukungan emosional, keberanian, kecerdasan sosial dan problem solving pada anak.
Latar Belakang.
Peran ayah dalam pengasuhan seringkali dianggap tidak penting dalam perkembangan anak pada usia Golden Age. Paradigma berpikir masyarakat Indonesia memberikan pengasuhan sepenuhnya kepada seorang ibu, dan seorang ayah hanya menjalankan tugas hanya mencari nafkah. Padahal, dalam dunia ilmu psikologi dan ilmu agama sudah menjelaskan begitu banyak manfaat pengasuhan seorang ayah terhadap anak, sehingga diperintahkan seorang ayah untuk terlibat dalam pengasuhan. Di dalam Alquran sendiri banyak menjelaskan tentang komunikasi para Nabi (ayah) kepada seorang anaknya lebih banyak, dibandingkan komunikasi Ibu kepada anaknya.
Tentu dengan begini komunikasi antara ayah dan anak harus lebih aktif dibanding ibu. Dilansir dari website narasitv. Indonesia disebut menjadi negara fatherless ketiga di dunia. Hal tersebut berarti banyak anak Indonesia yang kekurangan sosok ‘ayah’ dalam hidupnya. Hal tersebut disebutkan dalam program sosialisasi yang dilakukan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang bertajuk "Peran Ayah dalam Proses Menurunkan Tingkat Fatherless Country Nomor 3 Terbanyak Di Dunia." Program tersebut berlangsung pada Oktober hingga Desember 2021 silam. Psikolog asal Amerika Edward Elmer Smith mengatakan bahwa fatherless country berarti negara yang masyarakatnya memiliki kecenderungan tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun psikologis.
Fatherless tidak hanya dialami oleh anak yatim saja. Selama mereka memiliki figur ayah yang dihadirkan dari kakek atau om, maka figur ‘ayah’ ini bisa tergantikan. Yang dimaksud fatherless adalah mereka yang kehilangan peran ayah dalam kehidupan dan pengasuhan. Penulis menemukan dilingkungan Kampung Cibuntu bahwa faktor penyebab fenomena fatherless adalah alasan ekonomi, pendidikan orangtua, dan budaya. Doktrin yang keliru yang terjadi secara turun-temurun, dimana, bahwa laki-laki bila menjadi seorang ayah harus mencari nafkah, mereka seolah tidak memiliki tugas selain mencari nafkah ketika menikah kelak. Paradigma berpikir seperti ini sudah sangat kental dibudaya Indonesia.
Sehingga seorang ayah tidak banyak yang mengetahui bahwa peran dirinya sangatlah penting, dan berpengaruh dalam perkembangan anak pada usia dini. Menurut data berita dan penelitian jurnal diatas, memang benar terjadi dilingkungan sekitar penulis, bahkan terjadi juga diseluruh Kota maupun Desa. Tentu ini terjadi bukanlah sepenuhnya kesalahan seorang ayah, hanya saja, lingkungan dan sosialisasi ilmu parenting belum banyak yang mengetahui bahkan dianggap tidak penting bagi segelintir masyarakat, Tujuan dari penelitian ini, penulis ingin berkontribusi kepada lingkungan sekitar melalui tulisan untuk memperbaiki generasi bangsa Indonesia, terutama untuk generasi Alpha. Dan sekaligus untuk meningkatkan tingkat literasi. Adapun, hasil temuan peneliti dengan metode observasi dan wawancara mendalam. Penulis menemukan 3 point alasan fatherless yang terjadi pada Kampung Cibuntu, Kabupaten Bekasi pertama ialah faktor Ekonomi, Pendidikan, dan Budaya.
1. Ekonomi. Salah satu penyebab utama fatherless yang penulis temui dilingkungan Kampung Cibuntu, Kabupaten Bekasi adalah faktor ekonomi. Ayah yang tidak terlibat dalam pengasuhan terhadap anak disebabkan ayah harus mencari nafkah yang tidak sedikit harus pergi merantau maupun jam kerja yang terlalu sibuk. Ketika seorang ayah selesai mencari nafkah, tidak memiliki energi yang optimal karena tenaga dan pikirannya sudah dihabiskan sehari penuh untuk bekerja. Kehadiran ayah hanya hadir secara fisik, bukan hadir secara psikologis, maka komunikasi dan rasa kasih sayang dari seorang ayah tidak maksimal dirasakan oleh seorang anak. Sehingga komunikasi yang terjadi antara ayah dan anak tidak berjalan dengan baik. Bila penulis melihat, peran ekonomi memang sangat masuk akal. Dimana, bila melihat dari perspektif teori Piramida Abraham Maslow tingkat Hierarki masyarakat Kampung Cibuntu, Kabupaten Bekasi terbilang masih rendah. Tingkat terbawah dari piramida tersebut, masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisiologis atau kebutuhan dasar, seperti makanan, minuman dan tempat tinggal. Bila penulis melihat masih banyak kebutuhan tersebut belum merata baik pada sekeliling penulis. Tentu faktor ini membuat seorang ayah lebih fokus untuk memenuhi kebutuihan dasar daripada perkembangan seorang anak pada usia golden age.
2. Pendidikan. Salah satu penyebab kedua yang penulis temui yaitu kurangnya akses pendidikan dan rendahnya pendidikan yang dimiliki masyarakat sekitar. Sehingga cara berpikir yang dimilikinya cukup terbilang rendah. Maka kepedulian terhadap perkembangan anakpun terpengaruhi dari pendidikan seorang ayah. Penulis menemukan, orangtua yang belajar dan mengakses ilmu parenting, rata-rata memiliki pendidikan cukup baik, yaitu tingkat sarjana. Tentu perbedaan ini membuat cara pengasuhan orangtua sangat berbeda jauh, yang pasti berdampak kepada seorang anak. Menurut data dari Dirjen Dukcapil menunjukkan bahwa hanya 6,41% penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Maka bila kita bandingkan dengan negara seperti Japan sangatlah jauh, kurang lebih 90%. Tentu pendidikan menjadi faktor kedua alasan Fatherlees di Indonesia cukup besar.
3. Budaya Patriarki masih melekat. Faktor ketiga penyebab munculnya keadaan fatherless yaitu budaya yang menjadi turun menurun yang dilakukan masyarakat Indonesia. Dari hasil observasi dan wawancara mendalam kepada beberapa orangtua terutama ayah. Bahwa budaya atau cara lama yang tidak bisa dilepas dari segelintir masyarakat, tentu ini disebabkan faktor ekonomi, pendidikan, sehingga budaya patriarki terus terjadi. Budaya patriarki meyakini bahwa laki-laki bertanggung jawab pada urusan nafkah. Sedangkan untuk urusan domestik dan mengurus anak adalah tanggung jawab perempuan. Belum lagi soal angka perceraian yang tinggi. Menurut laporan Badan Statistik Indonesia, kasus perceraian di Indonesia tahun 2022 meningkat dari tahun sebelumnya yakni mencapai 516.344 kasus. Penyebab utamanya adalah karena perselisihan dalam rumah tangga yang terjadi terus menerus tanpa rukun kembali. Perceraian ini dapat berdampak pada anak yang kehilangan sosok orang tuanya. Anak cenderung akan memilih ikut dengan ibu atau ayah. Jelas ini akan menghambat perkembangan anak secara psikologis. Padahal, ayah dan ibu juga sama-sama memiliki peran yang penting untuk tumbuh kembang anak. Anak perlu mengetahui ada dua figur berbeda dalam kehidupannya yaitu perempuan dan laki-laki. Jika ibu mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang, maka ayah dapat mengajarkan tentang logika, keberanian, dan kemandirian. Sisi feminin dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang ‘utuh’.
Kesimpulan
Anak yang mengalami fatherless akan merasakan dampaknya hingga dewasa, terutama secara psikologis. Berikut dampak fatherless pada anak:
Rendahnya penghargaan atas diri sendiri atau self-esteem.
Merasa minder atau tidak percaya diri.
Merasa takut, cemas, dan tidak bahagia.
Merasa tidak aman secara fisik dan emosional.
Memiliki kemampuan akademik yang buruk.
Memiliki hubungan yang rumit dengan pasangan.
Masalah perilaku dan gangguan kejiwaan.
Berpotensi melakukan kejahatan atau kenakalan remaja.
Referensi.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Statistik Pendidikan 2024. Diakses dari (link unavailable
Creswell, J. W. (2014). Penelitian kualitatif dan desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Analisis data kualitatif. Jakarta: UI Press.
Vygotsky, L. S. (1978). Interaction between learning and development. Readings on the Development of Children, 22-27.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar