Dia Anakku
Dia Anakku
Oleh Syahbat
Seperti biasa, setiap pagi aku ke sekolah, saat menunggang motor kesayanganku, sebuah memori lama menabrak pikiranku begitu saja, seperti hujan deras yang tak sempat kubuka payungnya.
Beberapa tahun lalu, sepulang mengajar, aku hampir tiba di belokan menuju kosanku. Tapi langkah motorku melambat saat kulihat kerumunan orang di pinggir jalan. Seorang anak berseragam abu-abu tergeletak tak jauh dari motor Beat merah. Di dekat bengkel, hanya sepelemparan batu dari tempat tinggalku.
Beberapa laki-laki berkerumun. Sebuah mobil sedan putih parkir tak jauh dari tubuh anak itu. Seorang bapak dengan kemeja putih turun dari mobil, wajahnya panik, ditemani seorang pria muda.
Ketika helm anak itu dibuka, wajahnya jelas terlihat. Jantungku tercekat.
Dia anak didikku.
Bukan murid di kelasku, tapi aku mengenalnya. Atribut di bajunya mencolok, dan wajah itu tak asing.
Beberapa orang sibuk mencari dompetnya, mencari identitas. Mereka bingung. Aku mendekat, suaraku nyaris tak keluar.
“Dia... anakku,” kataku gemetar.
Mereka menoleh. Tanpa banyak tanya, mereka memberi jalan. Aku jongkok di samping anak itu, memeriksa nafas dan detaknya.
“Siapa yang menabraknya?”
Bapak berkemeja putih menjawab pelan, “Saya, Bu... Dia tiba-tiba belok, saya sudah ngerem. Tapi...”
“Bawa ke rumah sakit sekarang,” ucapku mantap.
Motor kutitipkan ke tukang bengkel. Kami naik sedan itu. Anak itu luka ringan, tapi pingsan. Aku berusaha tetap tenang. Tapi benakku berisik—bagaimana menghubungi keluarganya? Tak ada KTP, HP, atau kartu pelajar. Aku hanya tahu nama: Fadli.
Tiba di rumah sakit, anak itu langsung digiring ke IGD. Aku menjadi “orang tuanya”—sementara, setidaknya sampai ia siuman.
Setelah beberapa menit, ia membuka mata. Pandangannya kosong.
“Saya kenapa, Bu? Ini di mana?”
Aku belum sempat menjawab ketika matanya kembali terpejam.
Aku langsung menelepon beberapa teman guru. Kuceritakan kejadiannya, menyebut nama “Fadli.” Siapa tahu ada yang kenal.
Sekitar satu jam kemudian, sepasang suami istri datang tergopoh, membawa seorang remaja lelaki. Mereka langsung menuju IGD, menatap anak yang terbaring itu dengan mata berkaca. Wajah mereka campur aduk—kaget, khawatir, takut.
Aku menyapa mereka pelan.
“Saya Desy, gurunya Fadli. Tadi saya lewat dan... ikut membawanya ke sini.”
Pak Rinto, si penabrak, tak lama kembali dari musala. Belum sempat salat Asar tadi. Kepadanya, aku jujur. “Saya bukan ibu anak itu. Saya hanya gurunya. Maaf, tadi saya bilang begitu karena... saya harus ambil keputusan.”
Pak Rinto mengangguk. Tak ada yang menyalahkanku.
Setelah suasana reda dan dipastikan hanya luka ringan serta syok, aku pamit pulang. Saat berdiri di pinggir jalan, remaja lelaki yang tadi datang bersama orang tua Fadli menyapaku.
“Bu Desy, maaf. Saya Fadli.”
Aku bengong.
“Yang tadi itu sepupu saya, Fadlan. Dia minjam seragam saya, bajunya sendiri di laundry.”
Aku tertawa kecil. Pantas saja saat aku sebutkan ciri-cirinya, teman-temanku pada bingung.
Hari menjelang magrib. Aku menunggu angkot 26. Tapi satu per satu angkot yang lewat penuh semua.
Pak Rinto masih di mobilnya. Tiga kali ia menawarkan tumpangan. Tiga kali kutolak. Tapi tempat itu makin sepi, senja makin rapuh, dan rasa takut mulai merayap.
“Bu Desy takut ya, naik mobil bareng saya? Takut berdua?” katanya sambil senyum.
Aku makin gugup. Tapi dia menambahkan, “Saya masih lewat tempat kejadian tadi. KTP dan SIM saya ditahan warga.”
Aku diam. Lalu mengangguk. Bismillah.
Di mobil, aku kaku. Tak banyak bicara. Suaranya tenang, santun. Tak terasa, azan magrib berkumandang.
“Bu Desy, gimana kalau kita salat dulu? Masjidnya di depan.”
Aku mengangguk lagi. Setelah wudu dan salat magrib, aku buru-buru keluar masjid. Tak ingin ditinggal. Tapi Pak Rinto justru kelihatan terkejut melihatku sudah di dekat mobil.
“Ayo Bu.”
Dia membuka pintu dengan hati-hati. Saat tanganku menyentuh gagang pintu, kurasa dia menahannya pelan. Seperti menjaga agar mobilnya tak tergores oleh jemariku.
Di dalam mobil, kami kembali diam. Tapi ayat-ayat suci mulai terdengar pelan. Alunan Al-Qur'an mengalir, menyusup lembut ke rongga hatiku. Ada ketenangan di situ. Ada getar yang tak bisa kusebutkan dengan kata-kata.
Ketika jalan mulai lancar dan rumah kosanku tak jauh lagi, dia bertanya pelan.
“Bu Desy, jadi guru itu enak ya?”
Aku menoleh. “Maksudnya?”
“Bisa bilang ‘dia anakku’... padahal bukan anaknya.”
Aku tersenyum malu. “Reflek, Pak.”
Dia tertawa. “Tapi saya salut. Saya baru tahu ada guru sepeduli itu.”
“Itu tanggung jawab kami.” ucapku.
Kami tiba di bengkel. Pak Rinto turun mengambil surat-suratnya. Aku segera mengambil motorku. Sebelum pamit, dia sempat bertanya:
“Mau saya antar sampai ke rumah?”
Mataku refleks membesar. Mungkin melotot. Dia tertawa kecil.
Aku menggeleng cepat. “Cukup sampai sini, Pak. Terima kasih banyak.”
Lalu aku menyalakan motor dan melesat pergi.
Abang bengkel hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi aku tahu, hari itu, aku jadi guru bukan cuma untuk mengajar. Tapi untuk hadir. Untuk jadi pelindung, walau sejenak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar