Nurbaiti

Wanita berhijab ini, tinggal di Jakarta Timur, aktifitasnya sebagai pendidik dan pengajar di SMA Negeri 61 Jakarta. Kepo dengan ilmu yang berhubungan denga...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ngopi Subuh di Simpang Tungkop

Subuh masih menggigil saat langkahku dan suamiku menyusuri jalan menuju masjid. Di Aceh, pagi adalah waktu yang bermartabat. Jalanan masih menguap embun, tapi semangat lelaki-lelaki kampungku sudah menyeduh langit dengan doa dan takbir.

Mesjid di Simpang Tungkop menjadi peraduan rindu kami pada Sang Pemilik Waktu. Jaraknya lebih dua kilometer dari rumahku. Tapi jarak tak membuat kami lelah. Mitivaainya kuat. Shalat jamaah dan ngopi jamaah.

Dan seperti biasa, setelah salam terakhir imam dan doa yang menjulur panjang, kami berbelok ke ritual tak tertulis: ngopi subuh di simpang.

Warung kopi itu, kecil dan sederhana. Tapi jangan remehkan uap kopinya, aromanya bisa meninju ingatan dan membangkitkan kenangan yang sudah tua. Warung itu ibarat pesantren kecil bagi obrolan rakyat. Gelas kopi di sana bisa lebih sakral dari mikrofon khutbah Jumat.

Tapi, yang membuat semua mata menoleh bukan aroma kopi, melainkan aku. Perempuan yang duduk di kede kopi, subuh-subuh!

"Eh, bu guru pulang kampung ya?" "Jarang-jarang loh perempuan ngopi di sini waktu subuh."

Aku senyum saja. Tanpa dikata, aku tahu itu. Lidahku sibuk mengunyah ketan srikaya, hatiku sibuk mengunyah rindu. Mungkin mereka heran, tapi siapa peduli? Ini Syawal. Dan Syawal di kampung selalu punya izin khusus untuk segala hal yang tak biasa.

Kupandangi kawan-kawan lama yang duduk melingkar. Ada yang sudah ubanan, ada yang masih bercanda seperti remaja. Mereka tertawa tanpa beban, seakan kopi mampu membilas segala pahit dunia.

Kedai ini bukan cuma tempat jualan kopi. Ini adalah surau kedua, tempat zikir dibungkus canda, tempat shalawat dikirim lewat cerita lucu, dan tempat kebijaksanaan dituang perlahan bersama gula yang tak diaduk.

Kadang, gelas kopi di sini lebih jujur dari status medsos. Kadang, ketan srikaya ini lebih hangat dari selimut. Dan kadang, senyum penjual kopinya yang kini jadi temanku lebih menenangkan dari pada seminar P4.

Usai ngopi, kami pulang. Tapi tak lupa singgah membeli oleh-oleh pagi: timphan, puloet, bingkang, dan nasi gurih dengan keumamah kesukaan suami. Bukan sekadar makanan. Tapi identitas. Lidah Aceh tak pernah berdusta.

Kami kembali memeluk pinggang suami. Berboncengan dengan motor sambil menikmati indahnya pagi di sana. Bahagia itu kadang sesederhana kopi hitam dan ketan srikaya di pagi buta. Islam itu indah, saat ibadah dan kebiasaan baik dijalani bersama, dalam kesetiaan, kekhusyukan, dan rasa syukur.Dan perempuan yang tahu tempatnya bukan hanya di dapur, tapi juga di warung kopi saat rindu pada kampung lebih kuat dari pandangan orang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post