Rujak Hananan
RUJAK TANAMAN
Oleh Syahbati
Pagi tadi aku ikut suami ke pasar. Nawaitunya mulia: belanja buah untuk bikin rujak. Rujak bukan sembarang rujak, ini rujak spiritual, penuh warna, penuh cerita, dan—kalau diizinkan—penuh inspirasi.
Sebagian buah sudah ada di rumah. Dari ladang belakang hati dan pekarangan depan rumah, beberapa tumbuh dengan manja. Ada pepaya mengkal hadiah dari tetangga yang baru kenalan seminggu lalu. Tetangga ini baiknya MasyaAllah, pepayanya dipetik langsung dari pohonnya, buahnya gak gede-gede amat sih, tapi warna orennya bikin lidah berjoget sebelum dicolek.
Aku beli satu kilo bengkoang. Si putih yang montok ini tampak malu-malu dalam plastik kresek. Dia memang pemalu, tapi hatinya manis dan segar. Mirip murid baru yang diam-diam ranking satu.
Tiga mangga kueni kuborong juga. Harumnya, MasyaAllah... Belum dibuka udah bikin tetangga sebelah noleh dua kali. Aroma ini seolah menampar-nampar kesadaran siapa pun yang lewat. Kalau kueni bisa ngomong, mungkin dia akan bilang, “Inilah pesona alami, bukan hasil endorse.”
Lalu si nenas. Si mata banyak yang bersanggul daun tajam. Penampilannya sangar, tapi isinya madu. Buah ini mengajarkan kita untuk tidak menilai dari luar. Mata keranjang kalah sama nenas. Dia tetap setia satu pohon, tidak melirik yang lain.
Si delima, buah permata yang penuh filosofi. Kulitnya keras, tapi di dalamnya tersembunyi keindahan dan rasa manis yang memukau. Suami membawanya pulang dari pohon sendiri—hasil kerja keras menanam di Bekasi dan panen di Malaka Sari. Jauhnyaaa… Tapi cinta kan memang kadang harus menempuh jarak.
Timun juga tak ketinggalan. Warnanya hijau segar, seolah habis mandi subuh. Aromanya khas dan katanya ditakuti semut. Mungkin karena timun mengeluarkan “aura menenangkan” yang bikin semut gagal fokus.
Lalu jambu biji. Aku sampai manjat pagar rumah demi memetik lima biji. Daging merahnya menggoda dari dalam kulit mulusnya. Beberapa waktu lalu buah ini aku plastikin biar kelelawar gak ngacung-ngacung. Tapi ya sudahlah, beberapa tetap kuikhlaskan sebagai sedekah malam untuk kelelawar. Pak ustadz bilang, sedekah buat hewan itu berpahala. Kalau kelelawar bisa ngomong, mungkin dia bakal bilang, “Mak, sehat terus ya. Rujakmu enak.”
Aku jadi mikir: makhluk Allah itu luar biasa. Kelelawar, mamalia satu-satunya yang bisa terbang, tidur kepala di bawah, bahkan jantannya bisa menyusui. Lah, aku tidur miring aja pegel.
Lanjut. Jambu air. Pohonnya ditanam di pot, buahnya belum besar, tapi sudah bisa dinikmati. Walau kecil dan belum matang sempurna, rasanya manis kayak senyum pertama anak bayi. Sementara di sebelahnya ada belimbing sayur yang asemnya seperti drama percintaan yang gagal move on. Aku bisikkan padanya, “Sabar ya, kamu nanti nemanin ikan.”
Si belimbing bintang—aku suka banget sebutan ini. Kalau dipotong menyerupai bintang. Aku rawat dengan selawat. Pohon ini bikin debat hangat dengan suami. Katanya gak bakal berbuah karena kutanam dari biji. Aku bilang, Allah Mahakuasa. Dan... Allah jawab doaku. Buah pertamanya muncul. Aku seret tangan suami sambil nyengir, “Tuh kan, kamu jangan suka ngeremehin doa istri sholihah.”
Lalu si cabe rawit, oleh-oleh dari Bu Imas, teman seperjuangan pulang sekolah. Walau disebut “cabe setan”, warnanya tetap merah merona. Rasanya, ya Allah, bisa membakar lisan dan membakar semangat.
Ubi jalar oren pun tak ketinggalan. Kata nenek, ini buah ajaib. Beta-karotennya tinggi, bisa nyumbang vitamin A, bagus buat mata, kulit, dan imunitas. Kalau dimakan bareng buah lain bisa mencegah sakit perut. Ilmu nenek memang tak terbantahkan. Tambah lagi, katanya: “Kalau udah kenyang, jangan lupa shalat.”
Semua buah kucuci bersih. Kupas. Kusiapkan parutan. Kayaknya kali ini aku serius banget di dapur. Padahal, di kepalaku ada satu tugas besar: “Nulis 61” harus sukses! Tulisannya harus keren, mengharukan, lucu, dan gak boleh mengandung bahan-bahan gosip.
Sambil memarut, otakku ikut berputar. Apa yang harus kutulis tentang Sekolah 61? Banyak cerita manis, tapi ada juga yang pahit-pahit sedap. Seperti rujak. Kupikir, kenapa gak dijadikan cerpen aja ya? Kalau pun ada yang merasa, tinggal bilang aja: “Semua tokoh, nama, dan tempat hanyalah fiksi belaka. Kesamaan hanyalah kebetulan yang disengaja.” Hehe...
Saat buah terakhir selesai diparut, pikiranku belum juga selesai. Tapi azan Dzhuhur berkumandang. Allah dulu. Rujak belakangan.
Selesai makan siang, aku kembali ke dapur. Kuambil sendok kayu, kutaburkan gula pasir dan garam, lalu kuaduk perlahan. Wanginya menyeruak seperti kenangan masa lalu yang tiba-tiba muncul di ingatan.
Kusisir gula merah langsung ke atas campuran buah warna-warni. Kucampur lagi. Kupotong cabe rawit merah. Yang gak suka pedas bisa minggir. Yang doyan tinggal comot. Demokrasi dalam mangkok.
Kupandangi rujak itu. Warnanya indah: hijau, merah, oren, kuning, putih, pink. Pantulan cahaya membuatnya seperti lukisan surga kecil di dapurku. Rasa syukur menetes di mataku. Ya Allah, nikmat-Mu sungguh tak terhitung. Bahkan dari dapur pun, bisa lahir kebahagiaan dan keberkahan.
Aku belum tahu rujak ini mau kuberi nama apa. Rujak tanpa resep? Rujak rasa syukur? Rujak kenangan? Entahlah. Yang jelas, rujak ini bukan sekadar makanan. Ia cerita. Ia cinta. Ia doa yang tersembunyi di antara parutan dan tetesan jerih payah. Ah aku baru ingat, akan kuberi nama "RUJAK HANANAN". Hananan, dalam bahasa Aceh artinya Tidak ada nama.
Aku pikir, kalau hidup itu seperti rujak, maka campuran manis, asam, pedas, dan pahit itulah yang membuatnya nikmat. Jangan takut merasakan semua rasa. Karena di situlah letak keindahan hidup.
Dapur sudah kinclong. WAan udah kelar. Teleponan selesai. Tulisan tinggal sedikit lagi. Rujak jadi. Hati senang. Dan semoga, tulisan ini juga jadi ladang amal.
Ahad, 25 Mei 2025
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar