Nur Fajrina

Lahir di Jogja, Agustus 1989. Mengajar di SMPN 2 Gunungsindur Kabupaten Bogor. Baru mulai menulis blog di Gurusiana pada Mei 2020 sebagai pengisi waktu di rumah...

Selengkapnya
Navigasi Web

Pengalaman Menjadi Guru Pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

( #TantanganGurusiana Hari ke 28)

Ini merupakan sedikit kisah saya saat pernah sesaat menjadi guru pendamping anak berkebutuhan khusus di sekolah lemba Pendidikan di Kota Gudeg Tahun 2014. Banyak anak ekspatriat sekolah di sana. Tidak semuanya merupakan anak berkebutuhan khusus. Namun, sekolah ini menerima anak kebutuhan khusus dalam grade tertentu. Saat itu tahun 2014, saya baru menamatkan Pendidikan Profesi Guru di Universitas Negeri Surabaya dengan beasiswa dan biaya hidup dari Kemendikbud. Setelah menebar lamaran pekerjaan, sekolah pertama yang menerima saya adalah Lembaga tersebut.

Matahari pagi masih bersinar hangat saat saya memarkirkan vario hitam pribadi di depan bangunan yang didominasi ornamen kayu untuk furniture-nya. Saya memenuhi panggilan dari sang Kepala Sekolah dari sekolah inklusi tersebut. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menggabungkan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa reguler (siswa biasa).

Hmmm..rupanya pendidikan ini bersifat non formal, walaupun tetap berlandaskan pada kurikulum nasional. Yayasan ini memiliki berbagai kelompok mulai dari Playgroup, Kindergarden (TK) hingga Elementary (SD). Ada day care nya juga lho. Tidak semua yang bersekolah di sini adalah ABK. Murid di sini diajari bahasa inggris mulai dari ungkapan-ungkapan ringan.

“Ouw, jadi pengalaman kamu sebelumnya sebagai guru di SMP/SMA?”

“Iya, Miss.”

“Pernah menangani ABK sebelumnya?”

“Not yet, Miss. Hanya mengajar sesuai bidang saya saja, “ jawabku.

“Okey, nanti kita belajar bersama. Welcome to the different world-special world, Miss Ina!” sambut bu KepSek.

Singkat cerita, dua minggu kemudian saya mulai mendampingi anak berkebutuhan khusus (ABK) di SD inklusi tersebut. Guru-gurunya memakai pakaian santai semua. Murid-murid juga boleh memakai baju bebas. Anak-anak di sini diberi pelajaran bermain musik (pianika), berkebun, menghitung, menggambar, gerak tubuh, storytelling, materi sosial (seperti anti bullying),bahasa Indonesia, dll. Di sekolah ini nggak ada bullying lho, sehingga nyaman untuk ABK. Berbeda dengan ABK yang sekolah di sekolah inklusi formal, di mana dalam sekelas hanya terdapat 1-2 ABK saja. Sedangkan sisanya murid biasa. Mereka kadang menjadi bahan ejekan, dijauhi, dan dijahili teman-temannya :-( Pernah nonton sebuah film yang berjudul Ayah Mengapa Aku Berbeda?

Mendampingi anak ABK perlu kesabaran tinggi. Dibandingkan anak SMP dan SMA biasa yang pernah saya hadapi sebelumnya, menangani ABK jauh lebih sulit. Apalagi saya bukan berasal dari sarjana Pendidikan Luar Biasa. Eh tapi salut deh, guru-guru di yayasan inklusi yang satu ini berasal dari sarjana non PLB dan non PAUD. Mereka bisa menangani ABK tersebut.

“Awalnya saya juga kaget kok Mbak, dengan penanganan ABK. Tapi lama-lama biasa,” kata seorang guru yang backgroundnya ilmu sains.

Ada ABK yang cenderung cukup mudah diatur, hanya saja syaraf tangan kanan, mata kanan dan pola kognitifnya belum berkembang. Ada juga yang sulit diatur karena hiperaktif. Ada yang autisme, mengulang-ulang kata-kata, suka bergumam hingga suka mengamuk. Guru-guru di sini memiliki prinsip untuk menganggap mereka selayaknya ‘anak biasa’ dengan mengajaknya berkomunikasi (ngobrol walaupun kadang nggak direspon).

Berikut hal-hal yang bisa saya petik setelah mengamati guru-guru yang sudah duluan mengajar ABK di situ:

1.Kalo ABK menangis karena berada di lingkungan baru, harus dibujuk...jangan didiemin seperti anak biasa yang sedang tantrum di rumah sendiri.

2.Jangan memanjakan ABK. Arahkan untuk pakai sepatu sendiri, ambil barangnya yang jatuh, mengembalikan barang ke tempat semula dengan pengawasan. Semua gerak-gerik anak harus tetap dipantau. Pendidikan untuk ABK adalah pendidikan yang juga memandirikan anak.

3.Kalo ABK ngeyel atau terlalu lambat mengerjakan sesuatu, harus tegas ngasih tau gimana yang benar.

4.Untuk ABK, fokuskan pada perkembangan motorik, psikomotorik dan afektif anak, bukan pada kognitifnya. Makanya, guru-guru di sekolah ini kulihat ramah sama murid dan selalu menyapa murid.

Saya juga ikut bareng guru lain untuk mendampingi mereka bermain air di kolam renang. Anak-anak ABK ini terlihat sangat senang dan tertawa riang di dalam kolam. Separo jumlah murid di SD ini adalah ABK. Murid yang bukan ABK ada yang anak Warga Negara Asing (WNA) asal Australia dan Jepang lho. Nah, jam 12 siang anak didampingi untuk makan siang (bukan disuapin ya, mereka harus mandiri). Nggak lupa harus cuci tangan terlebih dahulu. Terus, mendampingi anak mengukur tingginya bayam yang mereka tanam di kebun sekolah. Hohoho, lumayan seru juga. Tapi saya butuh penyesuaian banget, soalnya mendampingi ABK adalah hal yang baru bagi saya.

Untuk memperkaya informasi mengenai ABK, saya searching di google dan menemukan beberapa info tentang ABK, termasuk blog para ibu yang memiliki ABK. Mereka berusaha berbesar hati menerima anaknya berbeda dengan anak biasa. Seorang Ibu menuturkan bahwa merawat seorang ABK repotnya bagaikan merawat 5 orang anak normal. Apalagi, ABK kerap dihadapkan pada stigma yang kadang masih melekat di masyarakat. Sungguh perjuangan yang luar biasa.

Learning Point:

Berhenti mengeluhkan kekurangan fisik yang ada di diri sendiri karena Tuhan sudah menciptakan anggota tubuh lengkap yang berfungsi sempurna.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post