KETIKA UDA “SAMA DENGAN” MAMAK
Suatu waktu seorang peserta didik saya bertanya : “Bu, uda tu samo jo mamak, Buk?” (Bu, uda itu sama dengan mamak, Buk?)
Spontan saya tertawa, sekaligus merasa miris. Lalu dengan penuh perjuangan saya menjelaskan. Kalau ‘uda’ itu adalah panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih tua di Minangkabau, Sumatera Barat. Sedangkan ‘mamak’ adalah panggilan untuk saudara laki-laki ibu.
Lalu saya bertanya kepada mereka : “Siapa diantara anak-anak ibu yang punya sudara lebih tua?”
Beberapa orang menunjuk. Lalu saya bertanya lagi : “Manggil dengan sebutan apa kepada mereka?”
Rata-rata mereka menjawab : ‘kakak’ kepada yang perempuan,’ abang’ kepada yang laki-laki.
Saya kembali bertanya : “Adakah yang memanggil ‘uda’ atau ‘uni’?”
Hanya dua orang yang menunjuk, di antara 37 orang peserta didik saya saat itu. Dan lebih parah lagi, di saat saya mencontohkan memanggil salah seorang siswa saya dengan sebutan ‘uni’, yang lain malah tertawa. Sementara yang saya panggil ‘uni’ tadi merasa malu.
Benak saya menerawang ke waktu beberapa tahun mendatang. Bisa jadi anak-anak Minang masa depan akan merasa asing dengan panggilan ‘uda dan uni’. Mengapa? Karena sejak dini mereka memang tidak diajarkan (apalagi dibiasakan) untuk menyebut panggilan ‘uda uni’ tersebut.
Rata-rata anak Minang saat ini memanggil ‘abang kakak’ kepada saudara yang lebih tua dari mereka. Setidaknya data ini saya temui di lingkungan tempat saya mengajar dan di lingkungan tempat saya tinggal. Entah bagaimana dengan daerah-daerah yang lain.
Saya tidak tahu, mengapa para orang tua Minang tidak membiasakan anak-anak mereka untuk menggunakan kata ‘uda uni’ dalam komunikasi seharian mereka. Terlihat ini memang masalah sepele. Hanya tentang dua kata panggilan, yaitu ‘uda uni’. Tapi ternyata dampaknya sangat besar (menurut saya).
Saking tidak tahunya siswa saya, sampai mereka bertanya apakah ‘uda’ sama dengan ‘mamak’. Artinya, jika ini dibiarkan, lambat laun kedudukan ‘uda’ akan sama dengan ‘mamak’. Baik dari segi usia, maupun kesetaraan lainnya, yang seharusnya sangat jauh berbeda.
Sebutan ‘uda uni’ sering terdengar jika ada kontes pemililihan. Di berbagai acara, ‘uda uni’ yang sudah menjadi pilihan juri ini, akan tampil pada acara tersebut. Entah itu untuk menyambut tamu, sebagai duta wisata, dan lain sebagainya. Di tubuh mereka dipasangkan selempang ‘uda’ untuk yang laki-laki, selempang ‘uni’ untuk yang perempuan.
Pertanyaannya adalah :
1. Apakah dalam keseharian mereka yang sudah terpilih tadi, juga menggunakan kata-kata ‘uda uni’ dalam pergaulan keseharian mereka?
2. Apakah orang-orang yang terlibat dalam acara tersebut, sudah menggunakan kata ‘uda uni’ dalam pergaulan keseharian mereka?
3. Dan sejauh mana peran kita dalam ‘membumikan’ bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Minang) di lingkungan terdekat kita masing-masing?
Dalam konteks ini saya ingin mengatakan :
“Adalah tanggung jawab orang tua (kita saat ini) untuk melestarikan bahasa daerah (Minang), dengan menggunakannya dalam kehidupan keseharian. Agar di kemudian hari, bahasa daerah kita ini tidak punah.”
Karena tata nilai budaya Minangkabau, tersimpan dalam bahasa, pantun, cerita rakyat, legenda, mitos, ungkapan, kosakata, dll. Artinya, bahasa Minang berperan penting dalam menjaga kebudayaan Minangkabau.
Lebih luas lagi: bahasa daerah berperan penting dalan menjaga budaya daerah dan Indonesia. Karena tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain di Indonesia juga mengalami krisis bahasa daerahnya masing-masing.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar