LARANGAN LKS MATIKAN KREATIVITAS GURU (Opini telah dimuat di Majalah Media Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Edisi Januari 2017)
Setelah pro-kontra full day school, kini kebijakan baru Mendikbud Prof Muhadjir menuai polemik. Hal ini terkait dengan larangan bagi guru menggunakan lembar kerja siswa (LKS). Alasannya, ada hubungan yang bias antara guru dan penerbit LKS sehingga mata rantainya harus diputus (radarbanyumas.co.id.14/10/2016). Ada kalangan yang menganggap bahwa larangan ini berpotensi mematikan kreativitas guru. Benarkah demikian? Selama ini LKS sering digunakan sebagai buku pegangan ke dua bagi siswa setelah buku ajar atau buku paket. Umumnya LKS dibuat oleh penerbit yang bekerja sama dengan guru mata pelajaran ataupun pihak sekolah. Di beberapa kabupaten/kota penyusunan LKS justru terkoordinir oleh guru sebagai penyusun yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG). Secara struktural MGMP atau KKG berada di bawah komando Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Jadi kerjasama dengan penerbit dalam pembuatan LKS terkoordinir mulai dari guru mata pelajaran yang menyamakan persepsi dalam MGMP/KKG dan dilindungi oleh MKKS. Yang akhirnya terdapat keseragaman dalam penggunaan LKS di seluruh sekolah. Jika dikaitkan dengan kondisi masing-masing sekolah hal tersebut sangat tidak tepat, sebab masing-masing sekolah mempunyai karakteristik yang berbeda. Jika dirasa belum cukup dengan menggunakan satu bahan ajar guru dapat mengembangkan kreatifitas membuat bahan ajar tambahan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Misalnya seorang guru yang mengajar materi PPKn bisa membuat LKS PPKn sesuai dengan tingkat kebutuhan di suatu kelas maupun sekolah. Hal itu lebih menunjukkan kreatifitas guru dalam mengembangkan lembar kerja yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan tetap memperhatikan kondisi dan karakteristik peserta didik, sehingga tidak mungkin satu LKS yang dibuat secara seragam tadi cocok digunakan dalam semua kondisi di sekolah yang berbeda-beda meskipun masih berada dalam satu wilayah. Jika memang diperlukan penggunaannya sebaiknya LKS dibuat sendiri oleh guru sesuai dengan rencana pembelajaran yang sudah dibuat. Bagaimanapun teknik pengadaan LKS di berbagai sekolah pasti memerlukan biaya yang umumnya tidak dicover dari anggaran operasional sekolah. Jalan satu-satunya adalah membebankan kepada orang tua siswa dalam bentuk biaya personal siswa. Lantas siapa yang lebih diuntungkan dalam pengadaan LKS ini? Pengadaan LKS di sekolah seringkali dikaitkan dengan aspek bisnis komersil dalam penjualannya dianggap sebagai sarana bagi sekolah untuk meraup keuntungan. Sedangkan dalam PP No.178/2010 telah ditegaskan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan. pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian di tingkat satuan pendidikan. Itulah sebabnya Mendikbud melarang penggunaan LKS di sekolah. LKS yang dibuat oleh guru hanya sebagai pelengkap yang dinilai hanya menguntungkan guru dan pihak sekolah saja yang pada akhirnya secara finansial akan lebih memberatkan orang tua siswa. Dilihat dari segi isi dan kedalamannya LKS buatan guru dan penerbit sebagian besar berisi latihan-latihan soal dan sedikit sekali yang memuat lembar kerja siswa yang memuat langkah-langkah kegiatan yang harus dilalui oleh siswa. Hal tersebut sering digunakan oleh guru untuk memberikan tugas kepada siswa jika yang bersangkutan tidak dapat hadir di kelas. Jika dibandingkan dari segi kualitas, Lembar Kerja Siswa yang terdapat di buku ajar terbitan Kemdikbud sudah mencerminkan seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah, jika guru dapat menggunakan buku tersebut dengan maksimal maka sebetulnya LKS sudah tidak diperlukan lagi. Dengan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran yang ada di buku maka proses pembelajaran sudah dapat berjalan secara maksimal. Untuk itu kita tinggal menunggu apakah larangan dari mendikbud hanya sekedar wacana ataukah akan menjadi peraturan yang benar-benar berupa larangan. Jika telah ditetapkan larangan dari pemerintah pusat maka hal tersebut wajib ditaati. Hanya saja diharapkan larangan tersebut tidak lantas mematikan kreatifitas guru dalam membuat bahan ajar, pedoman kegiatan, sampai pada latihan-latihan soal sesuai kebutuhan dalam bentuk apapun, baik itu Lembar Kerja Siswa (LKS), Buku Kerja Siswa (BKS) atau istilah apa pun itu asalkan tidak dijadikan lahan bisnis di lembaga pendidikan. Tugas utama guru begitu mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara melakukan kegiatan belajar mengajar yang bermakna sehingga dapat mencaai tujuan pembelajaran secara maksimal. Kehadiran seorang guru di kelas begitu dinantikan, sosok guru di kelas sangatlah berarti bagi siswa dan tidak bisa digantikan dengan apapun termasuk LKS dan perangkat lainnya.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar