NUR HAMIDAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGIKIS BENIH KEKERASAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH

MENGIKIS BENIH KEKERASAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH

Peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga hari Hak Asasi Manusia (HAM) masih diwarnai dengan berbagai persoalan. Berbagai kasus terkait hal tersebut hampir tidak pernah putus. Kasus pernikahan di usia dini adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang masih banyak terjadi. Di Gresik masih dijumpai sebesar 2,7 persen anak-anak melakukan pernikahan dini. Menurut dr. Adi Yumanto kepala badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPP) perlu diadakan pencegahan pernikahan anak di bawah 18 tahun (Radar, 8/12).

Kekerasan terhadap anak dalam bentuk pernikahan di bawah umur membawa dampak kerugian yang cukup besar. Secara psikologis beberapa hak anak akan direnggut secara paksa. Anak yang masih berada dalam taraf tumbuh kembang, bermain, bersosialisasi dengan teman sebaya terpaksa harus memikirkan sulitnya hidup berumah tangga. Secara medis kesehatan reproduksi anak mengandung resiko yang sangat tinggi, belum lagi kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga yang sangat mungkin terjadi karena faktor harmonisasi keluarga yang sulit diwujudkan bagi pasangan yang masih dalam usia anak-anak.

Menurut UU No 1 tahun 1974 bahwa batas pernikahan adalah usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menegaskan bahwa anak adalah setiap orang yang belum mencapai usia 18 tahun. Persoalan tersebut harusnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dalam rangka memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jika pemerintah serius dalam melakukan perlindungan hak anak harusnya tidak begitu sulit merevisi UU Perkawinan dengan menetapkan batas minimal usia pernikahan yang masih rancu dengan batas usia anak sesuai undang-undang perlindungan anak.

Lantas siapa yang harusnya bertanggung jawab penuh terhadap semua ini? Persoalan tersebut bisa disikapi dengan terlebih dahulu menganalis berbagai faktor penyebab pernikahan dini. Umumnya orang selalu mengaitkan dengan faktor ekonomi, rendahnya kesadaran orang tua, pergaulan dan faktor pendidikan. Pertama, faktor keterbatasan ekonomi oleh sebagian orang dengan keterbatasan ekonomi, lebih menyerah untuk tidak menyekolahkan anaknya dengan alasan tidak ada biaya. Kedua, masih terdapat sebagian orang yang menganggap bahwa perempuan tidak sama dengan laki-laki sehingga tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Hal tersebut berakibat pada keterbatasan akses pendidikan bagi anak perempuan sehingga dipaksa untuk menikah di usia yang masih tergolong anak-anak. Ketiga, faktor pergaulan bebas yaitu pernikahan terpaksa dilakukan karena anak telah hamil sebelum menikah sehingga untuk menutupi aib keluarga anak dipaksa menikah. Keempat, rendahnya tingkat pendidikan orang tua yang berdampak pada tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi sangat rendah.

Nampaknya pendidikan merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian serius dalam upaya pencegahan tindak kekerasan termasuk pernikahan dini. Lembaga pendidikan harusnya menjadi tempat yang ideal bagi anak untuk mencegah tindak kekerasan rerhadap anak. Untuk itu peran pemerintah dalam merumuskan kebijakan sangatlah dibutuhkan. Pemerintah harus berupaya memberikan akses pendidikan kepada semua lapisan masyarakat. Sekolah pun harus menjadi tempat yang memberi rasa aman dan nyaman kepada setiap anak untuk mendapatkan segala macam hak-haknya. Sesuai dengan konsep sekolah ramah anak yaitu sekolah/ madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Sesuai dengan konsep tersebut sekolah harus menciptakan suasana mendukung proses tumbuh kembang anak. Dari segi lingkungan yang bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik anak. Dari segi keamanan sekolah adalah tempat yang dapat memberi perlindungan dari berbagai ancaman dan bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis. Dari segi sarana dan prasarana sekolah harus menciptakan suatu program kegiatan yang mengarah pada aspek kognitif dan psikomotor sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasan masing-masing anak.

Semua program yang dijalankan oleh sekolah hendaknya sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak yaitu pertama, prinsip non diskriminasi yaitu tidak ada pembedaan dalam hal apapun kepada anak. Kedua, prinsip kepentingan terbaik bagi anak (Best Interest of The Child) yaitu pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan anak harus diarahkan ke masa depan anak bukan dengan ukuran orang dewasa. Ketiga, prinsik hak hidup dan perkembangan (The Right to Life, Survival and Development) yaitu terjaminnya hak hidup bagi anak. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat (Respect for the views of the Child) yaitu penghargaan terhadap pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasinya (Nasir Jamil, 2013:29)

Banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan sekolah ideal dengan konsep sekolah ramah anak. Misalnya kepala sekolah harus menerapkan manajemen program yang sejalan dan berpihak pada pemenuhan hak-hak anak untuk kehidupan, tumbuh kembang, mendapatkan perlindungan dan berartisipasi dalam segala hal. Guru juga harus meninggalkan konsep belajar konvensional dan beralih ke pembelajaran kontekstual yang bervariasi dengan memperhatikan karakteristik, kebutuhan dan kemampuan anak. Semua warga sekolah harus dapat menciptakan iklim belajar yang nyaman dan kondusif untuk anak. Tata tertib yang dibuat merupakan wahana belajar buat anak dan meninggalkan hukuman fisik yang bersifat menyiksa, menimbulkan rasa takut serta rawan kekerasan bagi anak.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah tentu tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan dari berbagai pihak yaitu anak itu sendiri, orang tua, masyarakat dan negara selaku penjamin pemenuhan hak-hak anak. Masyarakat harus semakin dewasa menyikapi pentingnya perlindungan hak anak sebagai bagian dari penegakan hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post