NUR HAMIDAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
POTRET GURU DI INDONESIA

POTRET GURU DI INDONESIA

Sejarah yang panjang mewarnai perjalanan guru di Indonesia. Profesi guru pernah dianggap sebelah mata oleh banyak kalangan. Faktor utama yang menyebabkan lebih karena faktor finansial semata. Guru di Indonesia digaji sangat rendah sehingga kualitas hidupnya jauh berada di bawah rata-rata. Lantas jika kesejahteraan rendah bagaimana dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Guru adalah manusia biasa bukan sosok yang tidak bisa berkeluh kesah. Namun pada masa orde baru pemerintah benar-benar tidak pernah memperhatikan nasib dan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara lain di dunia.

Waktu berjalan dari rezim orde baru ke orde reformasi pada masa pemerintahan KH. Abdur Rahman Wachid (Gus Dur) merupakan angin segar bagi guru. Kesejahteraan guru mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah menaikkan gaji guru yang tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya. Namun kenaikan gaji guru diikuti dengan tuntutan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Kontrol terhadap guru yang terkait langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak hanya dari pemerintah melainkan masyarakat umum turut melakukannya. Apalagi semenjak diberlakukannya kebijakan sertifikasi guru yang memberikan tunjangan profesi guru bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik spontan menimbulkan kontrol yang cukup ketat terhadap guru. Di sinilah tuntutan terhadap mutu dan profesionalitas guru sangat gencar disuarakan. Harapan masyarakat dan pemerintah guru benar-benar dapat menjalankan tugasnya secara profesional.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jadi guru profesional akan mencerminkan penampilan dalam pelaksanaan pengabdiannya yang dibekali dengan keahlian dalam materi maupun metode pembelajaran yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan khusus.

Menurut Arief yang telah dikutip oleh Eko guru profesional harus memiliki enam elemen. Pertama, value, yitu menjunjung tinggi nilai-nilai yang diyakininya dan trintegrasi dalam ucpan serta perilaku. Kedu, eitthic, yaitu guru yang telah mengikat diri dalam suatu lembaga selalu siap mengikuti aturan yang berlaku dalam lembaga tersebut. Ketiga, attitude, yaitu menunjukkan sikap yang menyejukkan ketika bergaul dengan sesama individu dalam komunitasnya. Keempat, habit, yaitu memiliki kebiasaan yang positif untuk terus tumbuh, berksaembang dan menjadi ahli di bidang yang digeluti. Kelima, knowledge, yaitu menguasai pengetahuan yang terkait tanggung jawab profesinya. Keenam, skill, yaitu mempunyai keterampilan yang mumpuni dalam menyelesaikan segala permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya (MG, Mei 2016).

Saat ini upaya pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan berbagai cara. Pemerintah mulai melakukan pembenahan dengan menaikkan alokasi anggaran pendidikansebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perbaikan sarana dan prasarana pendidikan terus ditingkatkan. Tak kalah penting adalah peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana pendidikan yaitu guru. Melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan untuk mengembangkan kualitas guru di Indonesia.

Program-program tersebut tentunya tidak bisa langsung terserap oleh seluruh guru di Indonesia. Jumlah guru yang begitu banyak sangat mempengaruhi penuntasan program tersebut. Data jumlah guru di Indonesia sampai akhir 2014 adalah sebagai berikut : (lihat gambar tabel)

Data tersebut menunjukkan jumlah keseluruhan guru yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kualifikasi pendidikan guru di Indonesia yaitu 40 persen guru bergelar S-1, berarti sisanya yang 60 persen di bawah S-1. Semua guru tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Jika pemerintah memikirkan kesejahteraan semua guru yang ada maka guru pun harus memikirkan tugas dan tanggung jawabnya mengemban amanah dari pemerintah yaitu mencapai tujuan nasional pendidikan. Untuk itu pada setiap tahun pemerintah mengadakan evaluasi berupa Uji Kompetensi Guru (UKG) untuk mengevaluasi tingkat kompetensi guru di Indonesia.

Kebijakan UKG disambut dengan berbagai macam rasa oleh guru di seluruh nusantara. Ada yang beranggapan bahwa pemerintah tidak percaya pada kemampuan guru. Sebagian lagi menganggap bahwa UKG tidak efektif dijadikan sebagai alat untuk mengukur kompetensi guru. Bahkan ada pula yang menganggap bahwa pemerintah tidak serius atau tidak ikhlas memberi tunjangan profesi kepada guru. UKG sering dikaitkan dengan pemberian tunjangan sehingga gueu cenderung tidak merespon baik adanya UKG. Semestinya UKG bisa dijadikan sebagai pemetaan kemampuan dan kualitas guru. Hasil UKG memberi gambaran pada pemerintah untuk merumuskan kebijakan selanjutnya bagi peningkatan kualitas huru di Indonesia. Namun jika guru selalu merespon negatif terhadap UKG tujuan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan akan sulit dicapai.

Dalam Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahawa pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan sebagai aktualisasi dari sebuah profesi pendidik. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dilaksanakan bagi semua guru, baik yang sudah bersertifikat maupun belum bersertifikat. Salah satu agenda utama pemerinatah dalam rangka pembinaan dan peningkatan guru adalah melalui UKG.

Menurut Jasmansyah Uji Kompetensi Guru (UKG) akan mengukur kompetensi dasar tentang bidang studi (subject matter) dan pedagogik dalam domain content. Kompetensi bidang studi yang diujikan sesuai dengan bidang studi sertifikasi (bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik) dan sesuai dengan kualifikasi akademik guru (bagi guru yang belum bersertifikat pendidik). Kompetensi pedagogik yang diujikan adalah integrasi konsep pedagogik ke dalam proses pembelajaran bidang studi tersebut dalam kelas. Pendekatan yang digunakan adalah tes penguasaan substansi bidang studi (subject matter) berdasarkan latar belakang pendidikan, sertifikat pendidik dan jenjang pendidikan tempat guru bertugas. Oleh karena itu instrumen tes untuk guru SD, SMP, SMA dan SMK akan dibedakan sesuai dengan jenjang pendidikan tempat guru tersebut bertugas.( jasmanfaizza.wordpress.com)

UKG telah dilaksanakan pertama kali oleh pemerintah pada tahun 2012 secara online. Menurut data dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidik (BPSDMP-PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) nilai rata-rata nasional Uji Kompetensi Guru (UKG) pada saat itu rata-rata 4,5 dari batas kelulusan minimal 5,5. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kompetensi guru masih jauh dari yang diharapkan. Hasil UKG nantinya dapat digunakan pemerintah untuk merencanakan program jangka pendek dan jangan panjang guna peningkatan kualitas guru di Indonesia. (www.edukasi.kompas.com, 15/8/2012).

Pemerintah terus mengadakan evaluasi terhadap pelaksanakan UKG yang hasilnya masih belum memuaskan. Hasil UKG seharusnya menjadi tolak ukur bagi diri sendiri. Angka yang diperoleh dalam UKG merupakan rapor bagi kompetensi guru. Guru bisa mengevaluasi kekurangannya dari keempat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kompetensi kepribadian.

Selanjutnya UKG kembali dilaksanakan pada tahun 2015. Pada tahun tersebut UKG menguji dua kompetensi yaitu kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Rata-rata nasional hasil UKG 2015 untuk kedua bidang kompetensi itu adalah 53,02. Masih lebih rendah dari standar kompetensi minimum (SKM) yang ditargetkan secara nasional, yaitu rata-rata 55. Selain tujuh provinsi di atas yang mendapatkan nilai sesuai standar kompetensi minimum (SKM), ada tiga provinsi yang mendapatkan nilai di atas rata-rata nasional, yaitu Kepulauan Riau (54,72), Sumatera Barat (54,68), dan Kalimantan Selatan (53,15). Sebanyak tujuh provinsi mendapat nilai terbaik dalam penyelenggaraan uji kompetensi guru (UKG) tahun 2015. Nilai yang diraih tersebut merupakan nilai yang mencapai standar kompetensi minimum (SKM) yang ditargetkan secara nasional, yaitu rata-rata 55. Tujuh provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta (62,58), Jawa Tengah (59,10), DKI Jakarta (58,44), Jawa Timur (56,73), Bali (56,13), Bangka Belitung (55,13), dan Jawa Barat (55,06). (www.kemdikbud.go.id)

Itulah rapor guru pada tahun 2015. Melihat hasil UKG tahun 2015 tersebut masih lebih rendah pada evaluasi kompetensi pedagogik dan profesional. Hal tersebut berarti setiap guru perlu memperhatikan aspek pedagogik meliputi cara mengajarnya yang kurang baik, kurang kratif dan inovatif dalam mengembangkan metode dan teknik pembelajaran, cara mengajar yang masih kurang tersebut harus diperhatikan. Begitu juga pada penguasaan ruang lingkup materi yang diajarkan.

Tindak lanjut terhadap hasil UKG tahun 2015 berupa penyelenggaraan pelatihan sesuai dengan nilai rapor UKG masing-masing guru. Kali ini guru dituntut belajar sesuai dengan nilai kompetensi yang masih kurang. Misalnya terdapat seorang guru yang memperoleh nilai sebesar 80 namun terhadap nilai tersebut tinggi di atas rata-rata SKM guru tersebut belum bisa dikatagorikan lulus. Perlu dilihat perolehan ketuntasan pada masing-masing kompetensi. Jika dalam hasil UKG tersebut ditemukan kekurangn misalnya di tiga kelompok, yaitu kelompok kompetensi 1, kelompok kompetensi 4, dan kelompok kompetensi 6 maka guru tersebut harus memperbaikinya. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru itu adalah dengan pelatihan dan pendidikan yang lebih terarah sesuai dengan hasil UKG.

Apakah setiap guru menerima kebijakan tersebut? Pelatihan yang diselenggarakan meliputi beberapa model. Ada model daring, daring kombinasi dan model tatap muka penuh. Pro dan kontra dari guru sasaran pelatihan tersebut pun terus bermunculan. Pelaksanaan pelatihan tersebut juga membawa dampak pada pembelajaran. Siapa yang harus disalahkan? Kenyataan yang terjadi guru banyak yang mengeluh dengan berbagai alasan. Diantaranya kurang menguasai IT sehingga merasa tersiksa dengan adanya pelatihan tersebut, ada pula yang mengatakan ini hanya akal-akalan pemerintah. Dampak yang lebih parah peserta didik terkena imbas dimana karena kesibukan guru anak-anak menjadi terlantar. Rupanya banyak yang menyikapi pelaksanaan pelatihan ersebut secara tidak profesional. Jika guru menyikapi secara bijak dan profesinal mestinya moment seperti ini adalah sarana pengembangan diri. Guru yang semula tidak bisa IT menjadi bisa. Guru menjadi mengerti segala kekurangannya.

Masih terdapat beberapa guru yang merasa terbebani dengan pelatihan lanjutan dari UKG ini. Bagi guru yang menjadikan itu sebagai beban akan menyikapi dengan cara lain. Maunya tidak ikut tapi takut seandainya nanti dihubungkan dengan penerimaan tunjangan profesi. Maka terpaksa diikuti meski dengan menyuruh orang lain dalam pengerjaannya terima jadi asalkan gugur kewajiban. Hal-hal seperti itu seharusnya tidak dilakukan guru jika ingin menjadi guru yang benar-benar profesional. Harapan pemerintah dlam rangka meningkatkan mutu dan kualitas pendidik menjadi sia-sia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post