TINDAK KEKERASAN DAN ASUSILA DI SEKOLAH
Sekolah adalah institusi pendidikan yang menyediakan sarana dan prasarana, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan yang bertugas menciptakan iklim belajar yang aman, nyaman, serta kondusif bagi tahap tumbuh kembang anak. Sayangnya belum sepenuhnya sekolah bisa mewujudkan hal tersebut. Banyak sekali kasus-kasus yang mengurangi suasana aman bagi anak di sekolah. Akhir-akhir ini terjadi berbagai kasus tindak asusila dan kekerasan berbagai yang dilakukan oleh seorang guru di lembaga pendidikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah asusila memiliki makna tidak susila, tidak baik tingkah lakunya. Tindakan asusila adalah tindakan atau tingkah laku yang tidak baik. Tindakanala yang tidak baik tersebut biasanya dikaitkan dengan nilai, moral, dan norma yang ada dalam masyarakat.
Menurut Asrori nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong seseorang untuk mewujudkannya. Nilai sangat berhubungan dengan moral. Moral adalah merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Hubungannya dengan norma bahwa moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standart baik buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu tersebut menjadi anggota komunitas sosial. Sedangkan moralitas merupakan aspek kepribadian yang dilakukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai, penuh keteraturan, ketertiban dan keharmonisan. (2009: 155)
Ditinjau dari segi hukum pengertian tindakan asusila adalah suatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-Ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchte handelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.
Masyarakat secara umum menilai tindakan yang melanggar moral juga tidakan yang tidak sejalan dengan norma kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan/kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup dimasyarakat. Perkataan, tulisan, gambar, dan perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan asusila dipandang bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat asusila yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang masih menjujung tinggi nilai moral. Menurut Simons kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu kesusilaan orang lain.
Setiap orang dituntut untuk berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma kesusilaan yang berlaku. Oleh karena begitu pentingnya perilaku tersebut sehingga bisa digunakan untuk menentukan baik buruknya perilaku seseorang. Begitu juga seorang guru yang memiliki peranan penting dalam proses pendidikan harus bisa menunjukkan perilaku yang sesuai dengan norma dn aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal itu melekat pada tugas dan kompetensi sosial guru. Seorang guru yang bertindak asusila otomatis sudah tidak memiliki kompetensi sosial. Kenyataannya banyak sekali kasus-kasus yang menunjukkan tindak asusila yang dilakukan oleh seorang guru. Sungguh memprihatinkan karena seorang guru yang memiliki tugas penting dalam mengembangkan pendidikan perilaku justru melakukan hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.
Akhir-akhir ini banyak kasus pelanggaran asusila yang dilakukan oleh oknum guru. Itu terjadi di berbagai wilayah, baru-baru ini terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum perangkat desa terhadap siswi SMA. Pelecehan seksual juga terjadi terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pelecehan seksual oleh guru bisa terjadi di sekolah atau di luar sekolah. Anak pun merasa takut dan tidak berdaya karena sosok guru adalah sosok yang ditakuti dengan berbagai ancaman anak berada dalam posisi yang lemah.
Disini akan disajikan sebuah contoh curahan hati seorang siswa yang temannya menjadi korban pelecehan seksual seorang guru. Curahan hati diungkankan oleh siswa melalui chatting terhadap guru yang dipercaya pada sebuah akun facebook. Chatting dilakukan pada tanggal 27 Maret 2013.
Murid : bu...kalau ad guru yang melecehin muridnya itu gimana?
Guru : gimana apanya...? Yo jls ga boleh dibiarin, tp ngelecehin itu yang gimana?
Murid : Iya ada temenku bu satu kelas pas tadi uk praktek
Tapi jangan bilang siapa-siapa lo bu...
Guru : iya pasti terjaga
Murid : paskan praktek gerakan (gerakan tertentu praktik) eh tiba-tiba pas waktu (gerakan tertentu praktik) dia dibenerin tangannya yang bener tapi sama cari kesempatan malah pegang payudaranya bu...maaf bu kalo aku bilang gini tapi ini beneran
Di hari-hari yang lalu juga pernah
Anak reguler juga dilakuin seperti itu bu...
Guru : Subhanalloh.... guru .......(mapel tetentu)
Murid : Iya...sampe anake mau nangis tadi pas bilang ke aku
Guru : Mohon maaf....apa pak ......(nama guru yang dirahasiakan) yang melakukan itu?
Murid : Iya bu....
Guru : Kira-kira berapa anak yang digituin?
Murid : Sahabatku kelas 9f juga pernah cerita ke aku klok temene pernah dilakuin seperti itu
Yang di kelasku cuman satu soalnya dia bilang ke aku, tapi gak tau kalok ada yang lain juga bu
Guru : ......kita ga boleh gegabah menanggapi ni, apa benar-benar dipegang mohon maaf bukan kepegang karena tidak sengaja?
Murid : Klok yang reguler aku cuman tau satu bu...
Iya klok ga sengaja atau disengaja aku gak tau bu...
Tapi anaknya juga bilang pernah juga pas waktu pembelajaran
Guru : Nah itu yang harus kita pastikan nak...
Murid : Iya bu...maaf klok aku cerita bu ya...maaf udah ganggu
Guru : Ga apa-apa...kalo ada anak yang diperlakukan seperti itu tidak nyaman ya memang harus diluruskan biar tidak terjadi ke kelas-kelas lain sampai besok
Murid : Iya bu..dia takut katanya
Guru : Dan saya harus ngomong sendiri ke anak itu, artinya biar ada dasar yang jelas kalau mau bertindak
Murid : Iya bu...diksih tau sekarang ta bu sispa anaknya?
Guru : Boleh...
Murid : ........(nama seorang murid perempuan)
Guru : Sementara ga usah ngomong dulu ya...karena menyangkut nama baik seseoang
Murid : Iya bu....
Guru : Bisa gak kamu tanya ke ......(nama murid) kalau kemarin itu ada unsur kesengajaan atau tidak sengaja, ngerti kan maksudku?
Bisa membedakan apa itu kepegang atau dipegang disengaja atau tidak
Murid : Iya bu...
Guru : Kamungerti kan kalau guru itu dianggap orang baik, panutan jadi hatus ekstra hati-hati nak...biar semua tidak merasa tersinggung dan anak-anak juga tidak dirugikan dengan perasaan yang tidak nyaman
Murid : Iya bu aku tau kok...
Harus hati-hati dalam masalah ini
Nanti klok aku salah aku juga takut
Guru : Nah itu...jadi kita pastikan dulu. Yang jelas ini merupakan masukan kalau di dalam pembelajaran anak-anak merasa tidak nyaman ya benar-benar tidak boleh dibiarkan
Murid : Iya bu
Guru : Besok saja kita bicarakan ya...
Murid : Gak berani bu..lewat chat ini aja..maaf
Guru : Iya aku faham kok...ga apa-apa
Kira-kira...(nama anak) mau gak ngomong sama saya. Meski lewat chat ja seperti ini
Murid : Ga tau bu besok tak tanyakno anake
Lanjutan chat pada tanggal 1 April 2013
Guru : Gimana soal kemarin apa kamu sudah ngom ke ....(nama murid)
Murid : Udah bu...katanya dia kalau ol pake hp jadi susah
Guru : Kalau misalnya ketemu sama saya mau ta? Sama aku saja ga ada yang tau ini antar kita aja
Murid : Iya tak tanyakno dulu bu
Guru : ok...kamu tau gak selain ...(nama murid) anak yang lain itu kira-kira ada berapa yang diperlakukan seperti itu?
Murid : Kata sahabatku banyak di kelas 9f
Guru : Anak 9f ngomong sendiri ke sahabatmu?
Murid : Iya sahabatku tau sendiri
Guru : oh...
Kejadian seperti ini bisa jadi sudah lama dialami oleh kakak kelasmu sebelumnya tapi mereka tidak berani ngomong. Tentu saja ini tidak boleh kita biarkan, dampaknya sangat buruk bagi anak-anak. Kalau dibiarkan bisa-bisa terus berlanjut sampai pada adik kelasmu nanti.
Jadi saya harus bertindak tapi harus ada data dan sumber yang akurat artinya sumber yang mengalami langsung. Kamu ngerti kan maksudnya?
Murid : Iya bu
Guru : Saya butuh ngomong langsung dengan anak itu, kamu bisa bantu kan. Jangan khawatir saya akan merahasiakan kalian, melindungi kalian, tidak akan ada yang tau asal kalian juga tidak bercerita ke orang lain
Murid : Iya bu..
Guru : ok..barangkali bisa besok habis try out kita ngomong-ngomong di lab komputer kamu ajak ....(nama murid)
Kalau belum bisa ya gak apa-apa
Murid : Iya bu...
Percakapan di atas dilanjutkan keesokan harinya secara langsung. Kenyataan menunjukkan bahwa tindak perilaku asusila dilakukan oleh seorang guru terhadap muridnya di sekolah. Itu hanya salah satu kasus, masih banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap karena anak takut untuk mengadukan hal memalukan itu. Kejadian seperti itu sungguh sangat disesalkan karena dilakukan oleh seorang guru.
Menurut pasal 1 UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atauperampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Selanjutnya dijelaskan pada pasal 9 ayat (1a) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Sekolah merupakan tempat dalam mengaktualisasikan tahapan tumbuh kembang anak. Bersama-sama dengan warga sekolah anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memperoleh pendidikan. Diharapkan sekolah dapat menjadi tempat yang nyaman, aman dan kondusif dalam rangka pemenuhan hak anak di bidang pendidikan. Berbagai unsur yang ada di sekolah sebagai lembaga atau institusi pendidikan harus menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak anak yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Mengacu pada Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989 ada 10 hak yang harus diberikan kepada anak yaitu hak untuk bermain, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk mendapatkan nama (identitas), hak untuk mendapatkan status kebangsaan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan akses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak untuk mendapatkan kesamaan, dan hak untuk memiliki peran dalam pembangunan. Hal tersebut memberikan gambaran yang jelas bagi lembaga pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan yang mengarah pada konsep sekolah ramah anak.
Proses tumbuh kembang anak mendapat perhatian khusus di berbagai negara termasuk di Indonesia. Pada acara 4th Asian Forum On The Rights of The Child 2016 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise mengatakan bahwa salah satu fokus atau prioritas programnya adalah perlindungan anak dengan membentuk Kota/Kabupaten Layak Anak (Tribun Bali/23/11/16). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil upaya dalam rangka perlindungan anak dari tindak kekerasan. Hal tersebut harus mendapat apresiasi dari berbagai kalangan terutama kabupaten kota yang mempunyai peran besar dalam menentukan keberhasilan program serta memberantas kasus kekerasan terhadap anak.
Sekolah dapat melakukan berbagai upaya secara menyeluruh mulai dari pengelolaan kurikulum, proses pembelajaran, lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak, program kegiatan yang melibatkan anak serta penerapan kedisiplinan yang benar-benar ramah anak. Semua program yang dijalankan harus sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak yaitu pertama, prinsip non diskriminasi yaitu tidak ada pembedaan dalam hal apapun kepada anak. Kedua, prinsip kepentingan terbaik bagi anak (Best Interest of The Child) yaitu pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan anak harus diarahkan ke masa depan anak bukan dengan ukuran orang dewasa. Ketiga, prinsik hak hidup dan perkembangan (The Right to Life, Survival and Development) yaitu terjaminnya hak hidup bagi anak. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat (Respect for the views of the Child) yaitu penghargaan terhadap pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasinya (Nasir Jamil, 2013:29)
Dalam konsep Sekolah Ramah Anak guru harus meninggalkan konsep belajar konvensional dan beralih ke pembelajaran kontekstual yang benar-benar memperhatikan kebutuhan dan kemampuan anak. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang menuangkan segala hal kepada anak tanpa memperhatikan dampak dan resiko pada anak. Guru harus bisa menerapkan konsep belajar kontekstual yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan anak. Hal tersebut tentu menuntut kreativitas guru dalam memperhatikan berbagai aspek tumbuh kembang anak yang dijadikan acuan dalam merencanakan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan hati anak.
Sekolah juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak. Kekerasan terhadap anak juga bisa dilakukan antar teman sebagai akibat pergaulan. Hal tersebut bisa diminimalkan dengan menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif didukung dengan penerapan tata tertib yang tepat di sekolah. Umumnya alasan klasik yang digunakan oleh guru ketika melakukan tindak kekerasan adalah karena pelanggaran tata tertib. Akibat dari pelanggaran tata tertib yang dilakukan siswa guru memberikan hukuman. Hukuman inilah yang rawan dengan tindak kekerasan. Agar tidak mengarah pada kekerasan sekolah hendaknya menerapkan sanksi yang mendidik. Anak bukan untuk dihukum.
Guru sebagai orang tua di sekolah harus menghilangkan pandangan bahwa anak adalah sosok yang lemah sehingga menjadi obyek kesalahan yang harus mempertanggung jawabkannya dengan berbagai macam hukuman. Itulah yang menyebabkan kerancuan antara penegakan disiplin di sekolah dengan tindak kekerasan di sekolah. Pemberian hukuman pada anak di sekolah yang tidak memperhatikan aturan dan norma akan menyebabkan terjadinya tindak kekerasan yang marak terjadi di sekolah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar