Nurhayati

Lahir di Desa Buniseuri kecamatan Cipaku Kab.Ciamis Sekolah SDN SUKAMAJU Cijoho MTsN Buniseuri SPGN Probolinggo IKIP PGRI UT PGSD Menulis untu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Merajut Asa di Ujung Senja

Merajut Asa di Ujung Senja

Bismillahirrahmanirrahim,

#Hari ke-27

#Cerpen

Merajut Asa di Ujung Senja (6)

"Maap Bu, boleh kita berkenalan dengan adik-adik panti di sini?" Aisyah bertanya. "O silahkan, silahkan..." Bu Hamidah berdiri dan melangkah menuju pintu samping. Pak Harun sekeluarga mengikutinya. "Di sini ada tiga puluh dua anak dari berbagai tingkatan usia. Paling besar kuliah semester tiga dan yang paling kecil baru berusia enam bulan. Sedangkan pengasuhnya ada empat orang ditambah dua orang juru masak dan seorang tukang kebun merangkap sopir", Bu Hamidah menjelaskan panjang lebar. Pak Harun dan keluarga sangat terharu ketika kemudian Bu Panti mengenalkan mereka kepada anak-anak asuhnya. "Ayo sini sayang, kita ada tamu ...", Bu Panti melambaikan tangan kepada mereka yang tengah berada di halaman belakang. Satu persatu mereka menyebutkan namanya sambil bersalaman. Mata Kemal jelalatan mencari-cari. Tapi dia tak menemukan apa yang dia cari." Maap Bu, apakah mereka dikenalkan pendidikan agama?", Pak Harun penasaran.

"Tentu Pak, kami mendatangkan ustadz setiap Jumat sore".

"Tuh ladang pahala terbuka, Kemal" ujar Pak Harun. "Maksud bapak?".

"Maksud bapak, ustadz Kemal bisa mengisi pelajaran agama di sini,ya kan Bu?", Aisyah menatap Bu Panti. "Oh jadi nak Kemal....? Silakan, dengan segala senang hati pintu kami selalu terbuka untuk kebaikan anak-anak."

"Gimana mau nggak?", Aisyah menyikut lengan kakaknya. "Baiklah tapi harus diatur dulu jadwalnya agar tak berbenturan dengan kegiatan yang lain". Kemal menyanggupi. Setelah puas berkeliling dan meminta nomor telepon dan nomor rekening panti, mereka pun berpamitan.

Seminggu kemudian Aisyah resmi menjadi istri Abdel. Akad nikah dilaksanakan di KUA dengan hidmat. Pak Harun sendiri yang bertindak sebagai wali Aisyah. Bu Is nampak terharu. Tak ada pesta dan tamu undangan. Tak ada makanan melimpah dan perjamuan. Hanya keluarga besan Pak Harun yang hadir dan kerabat dekat. Dan hanya gawai keluarga itu yang sebentar-sebentar berbunyi. Teman, kerabat dan sahabat memberikan doa mereka melaui WA. Bahkan ada yang menjuluki mereka pengantin korona. Ratusan pesan masuk. Ada juga kerabat yang menelpon langsung. Namun semua itu tak mengurangi kebahagiaan Aisyah sedikitpun. Wajahnya terlihat berseri-seri. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum ceria. Sebaliknya, perasaan Kemal kacau balau. Pikirannya selalu tertuju pada wanita bercadar yang ditemuinya di panti asuhan. Walaupun dia berusaha menyembunyikannya, tak urung adik perempuannya mengetahuinya juga.

" Kak, setelah ini kejar dia sampai dapat, apa mau Aisy antar?", Aisyah mengerling kepada Kemal sambil berbisik.

"Ah kamu, urus aja tuh suamimu!", Kemal menunjuk kening adiknya. Keduanya tertawa ditahan.

Menurut adat kebiasaan orang Jawa, anak bungsu wajib tinggal bersama orangtuanya walaupun sudah menikah. Beruntunglah Aisyah, dia tak keluar dari rumah orangtuanya. Sebaliknya Abdel suaminya yang mengikutinya tinggal di rumah mertua. Tapi nampaknya tidak ada masalah bagi Abdel, dia sangat pandai menyesuaikan diri dengan keluarga istrinya. Dan ketika malam semakin larut. Rembulan pucat menggantung, hening. Kala dua pertiga malam menjelang, kegiatan di rumah Pak Harun kembali dimulai. Sudah menjadi kebiasaannya membangunkan seisi rumah itu, bahkan para pembantu dan sopirnya untuk bertahajud, berdoa, berdzikir sampai subuh tiba.

Kala hidayah datang, tak seorang pendosa dapat menentang. Jiwa luruh seluruh. Bergema menembus sukma. Hanya bulir air sesal. Akibat perilaku brutal zonder moral...

Nun di sebuah kamar panti asuhan, ada sekeping hati yang selalu gundah gulana. Bukan karena cinta, harta atau segala urusan dunia fana. Penyesalan yang tiada habisnya, telah menguras banyak air mata. Dialah seorang wanita molek yang kini selalu menyembunyikan kemolekan wajahnya di balik niqab hitamnya. Yang matanya selalu basah oleh tangis penyesalan. Yang lisannya selalu basah oleh bacaan dzikir mohon pengampunan. Yang selalu merasa sepi dalam keramaian. Selalu merasa sendiri dalam kerumunan. Selalu merasa diri paling rendah dalam setiap komunitas. Selalu merasa diri paling hina diantara orang-orang shaleh. Selalu merasa diri paling buruk diantara orang-orang baik....

"Assalamu'alaikum...", Jumat sore itu Kemal mengetuk pintu depan panti asuhan An-Nur. "Waalaikum salam", terdengar jawaban dari dalam disertai langkah kaki mendekat. Bu Panti menyambutnya dengan senyuman ramah. "Oh Pak eh mas Kemal silakan, anak-anak sudah menunggu". Bu Panti melangkah masuk diikuti Kemal.

"Apakah anak-anak sudah memakai masker, Bu?", Kemal bertanya. "Oh sudah, saya selalu patuhi protokol kesehatan, Mas", Bu Panti tertawa.

"Maap Bu, saya percaya demi kebaikan bersama yah Bu", sahutnya. Begitu sampai di ruang yang dituju anak-anak berebut menyalaminya. Kemal menyambutnya dengan ramah. Ada sekitar dua puluh anak yang mengikuti kelas agama sore itu. Kemal melayani pertanyaan anak-anak seputar kajian saat itu dengan sabar. Di sela-sela kegiatannya matanya selalu mencari-cari. Lagi-lagi ah....tak ditemukan yang dicarinya. Sebelum berpamitan dia memberanikan diri bertanya kepada Bu Hamidah, "Maap Bu, boleh saya bertanya?" Kemal ragu-ragu. "Ya Mas, silakan apa ada masalah??"

" Ee.. Bu maap sebelumnya, ee..itu apakah wanita berniqab itu bernama May?" Bu Panti sedikit terkejut. "Oh Mas Kemal mengenalnya?" Jadi benar dia May?" Kemal bersemangat. " Iya, dia hanya menyebut dirinya May saja, dia sungguh berhati mulia, dia datang ke sini dengan membawa sejumlah uang yang lumayan banyak dan diberikannya semua kepada saya", Bu Panti bercerita. " Bu, bolehkah saya bertemu dan berbicara dengannya?", Kemal tak sabar. " Hhhh..." Bu Panti menghela napas, " Begini Nak, bukan ibu mau menghalangi, tapi dia tidak pernah mau berkata-kata dengan siapapun, bahkan dengan saya sendiri dia sangat tertutup. Kegiatannya sehari-hari disela mengurus anak-anak yatim hanya membaca Qur'an dan shalat, entah apa yang telah dialaminya, saya sering melihat cadarnya basah," ucap Bu Panti panjang lebar. Kemal termenung sejenak, " Tapi dicoba dulu yah Bu, tolonglah Bu," Kemal memohon.

Bersambung

20 Juli 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bu, jadi gak sabar nunggu episode berikutnya hehe

20 Jul
Balas

Terimakasih pak.ditunggu ya

20 Jul

Cerita yang indah ibu cantik.. Segera ya bu lanjutannya, soalnya kepo, ga sabar nungguin.. Suskes ya bu.. Salam

20 Jul
Balas

Terimakasih Bu. Sabar ya

20 Jul

Cerita yang bagus Bunda Nur. Salam literasi, sukses selalu.

20 Jul
Balas

Terimakasih pak Edi .Salam literasi

20 Jul

Cerita yang menarik.... Salam...

20 Jul
Balas

Ditunggu kelanjutannya bun

20 Jul
Balas

Ditunggu ya. Terimakasih bunda Desdel Melia

20 Jul



search

New Post