MATTANRA WETTU
Faridah menatap potongan kertas yang ditemukannya di laci meja sang kakek. Kertas yang berisi tulisan kuno yang dia tahu bernama lontara'. Meski tahu bahwa itu adalah tulisan dalam bahasa daerah Bugis, namun gadis itu tak tahu bagaimana membacanya. Yaa, ia memang tak pernah belajar membaca tulisan lontara', sebab ia lahir dan besar di ibukota negara yang notabene jauh dari budaya Bugis.
Gadis dengan rambut sebahu itupun menemui pamannya untuk mendapatkan penjelasan tentang isi dari kertas yang sepertinya bukan catatan biasa itu.
Dan, dari sang pamanlah akhirnya ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya beberapa waktu ini. Sang paman dengan lancar menjelaskan bahwa kolom-kolom yang tertera di kertas itu merupakan daftar waktu baik dan buruk untuk beraktivitas sehari-hari.
Dahulu, jauh sebelum Islam masuk ke tanah Bugis, masyarakat di tanah Celebes ini meyakini adanya waktu-waktu tertentu yang dianggap baik dan tidak baik. Waktu-waktu tersebut merupakan panduan mereka untuk melakukan berbagai aktivitas. Baik itu yang akan melakukan perjalanan, mencari rezeki, menanam padi, menabur benih di tambak, turun melaut, membangun rumah (bangunan), bahkan saat menagih piutang pun mereka berpatokan pada waktu-waktu tersebut.
Diyakini jika beraktivitas pada waktu yang dipercaya merupakan waktu yang baik, maka akan berhasil dengan baik (Bugis : mallise'), ada juga hari yang diyakini jika kita beraktivitas maka hanya akan pulang pokok atau tidak untung dan tidak rugi (Bugis : pole bola). Ada juga waktu yang ditafsirkan jika dilalui maka kita akan merugi (Bugis : lobbang). Ada pula yang menunjukkan waktu yang naas atau celaka jika kita beraktivitas saat itu (Bugis : maddara). Bahkan ada waktu yang berujung pada kematian (Bugis : uju').
Biasanya masyarakat Bugis yang masih sangat memegang teguh kepercayaan ini, akan menghadap pada yang dituakan untuk meminta atau bertanya masalah waktu. Ini biasa disebut "Mattenre wettu", alias menentukan waktu yang baik untuk sebuah hajatan atau pekerjaan yang akan dilakukan.
Ini adalah warisan budaya nenek moyang sebelum Islam menjadi agama di tanah Bugis. Namun, tak dimungkiri masih banyak yang percaya dan meyakini hal ini. Untuk dipedomani saat akan melakukan aktivitas sehari-hari.
#Tantangan Hari ke-170

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kok masih bagus
Jadi tahu sejarahya. Mantul, bunda!
Keren dan informatif bunda....
Terima kasih Bu...
Warisan sejarah yg luar biasa..salam literasi bun
Terima kasih banyak Bu
Lebih bagus mana mallise atau tuwo kalo untuk mappammula balu?