Tadarus Cinta
Part 1 (Tagur 4)
#
“Aku terima nikahnya Nur Laila binti Sofyan Siregar dengan mas kawin tujuh gram emas dibayar tunai.” Rama melafalkannya dengan lantang dan tegas dalam satu tarikan napas.
“Bagaimana saksi?”
“Sah!”
“Bagaimana, sah?”
“Sah!”
Usai sudah prosesi akad nikah Rama dan Laila. Kini status Laila telah berubah dari guru swasta menjadi nyonya seorang direktur muda. Pertemuan jodoh yang tak pernah disangka-sangka. Melalui murobbi masing-masing, keduanya bertekad untuk saling menerima dan melengkapi dalam satu naungan sakinah.
Hari pertama di kediaman Rama, Laila masih canggung berhadapan dengan Ibu Maimun, sang mamer (Mama Mertua-red). Laila yang terbiasa hidup sederhana harus menyesuaikan diri dengan kehidupan mamer yang sosialita. Laila tidak punya pilihan. Ia harus tinggal bersama suaminya di kediaman mamer karena Rama adalah anak tunggal. Ayah Rama sudah lama meninggal dunia.
Raut wajah mamer yang merupakan pensiunan PNS itu mulai berubah saat perhatian Rama lebih condong kepada Laila.
“Sepertinya Mama belum melihat tanda-tanda kehamilan pada Laila. Padahal sudah tiga bulan lho kalian menikah.” Ucap Bu Maimun sore itu.
“Sabar, Ma. Segala sesuatunya berproses. Laila juga sepertinya belum siap untuk memiliki momongan saat ini.” Jelas Rama.
“Apa? Belum siap? Untuk apa kalian menikah kalau belum siap punya anak? Baru kali ini Mama dengar orang menikah tapi tak siap punya anak. Aneh!” Balas bu Maimun mulai emosi.
“Coba ajak istrimu periksa! Mama udah nggak sabar mau nimang cucu.”
***
Dengan berat hati Laila mengajukan surat pengunduran dirinya kepada kepala sekolah. Semua ini Laila lakukan demi menjalan program kehamilan agar impian mamernya segera terwujud. Laila mulai menjalankan aktivitasnya di rumah saja. Segala pekerjaan rumah dikerjakannya sendiri. Padahal sebelumnya semua itu dikerjakan oleh Asisten Rumah Tangga.
Energi Laila terkuras karena selain menyiapkan segala kebutuhan Rama, ia juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah termasuk memasak. Tanpa sengaja Laila mendengar percakapan mamer dan teman-teman sosialitanya saat acara arisan di kediaman mereka.
“Enak ya Jeng ...punya Asisten yang rajin, masih energik. Dapat darimana sih?” timpal seorang ibu berperawakan agak gemuk.
“Eh itu istri anak saya, Jeng! Pasti heran kan? Sebenarnya saya juga kurang setuju. Tapi mau gimana lagi, itu pilihan anak saya.” Jelas Bu Maimun sedikit gengsi.
“Maaf ya Jeng...kami nggak tau.” Sahut teman-teman bu Maimun.
Betapa perih hati Laila mendengar percakapan itu. Kini ia paham bahwa kehadirannya sejak awal memang tidak diinginkan oleh sang mertua. Untuk saat ini, biarlah luka hatinya ia pendam sendiri. Berharap yang Maha Kuasa melembutkan hati ibu dari suaminya. Laila teringat pesan guru ngajinya. Menikah bukan hanya menyatukan dua hati, tetapi menjalin kasih sayang dengan semua anggota keluarga. Ibu mertua yang paling utama.
Pagi harinya Laila bersikap seperti biasa, seakan hatinya tak pernah luka. Segala pekerjaan rumah dan keperluan Rama ia bereskan segera. Ia berpuasa agar lebih bisa menahan dirinya dari godaan amarah mertuanya. Akan tetapi saat baru saja memulai sarapan, tiba-tiba masakannya langsung dimuntahkan Ibuu Maimun.
“Cuih, apa rasa masakan kau ini, Laila?” Ibu Maimun meludahkan menu sarapan yang baru dia masukkan ke mulutnya.
Laila tergopoh-gopoh menghampiri ibu mertuanya yang murka.
“Kenapa dengan menu sarapannya, Bu?”
“Coba kau cicip sendiri!”
Bu Maimun meradang sambil membanting wadah menu sarapan yang terhidang di meja makan.
“Maaf, Bu. Jangan kira karena selama ini Laila diam, lantas Ibu semena-mena. Laila juga manusia, punya hati dan perasaan. Tak bisakah Ibu bicara baik-baik?”
Ucapan Laila membuat mata ibu mertuanya semakin merah dan terbelalak.
“Jadi kamu sudah berani melawan ya?”
Laila meninggalkan ibu mertuanya demi menghindari perang mulut karena khawatir tidak bisa menahan emosi. Ia mengunci diri dalam kamar hingga Rama pulang. Bu Maimun sangat tersinggung dan tidak terima perlakuan Laila kepadanya. Saat Rama pulang dari kantor, ia berlari menghampiri anak laki-laki satu-satunya sambil berurai air mata, seolah-olah ia yang terluka.
Rama membujuk mamanya untuk menenangkan diri dan berjanji akan menyuruh istrinya meminta maaf.
***
Siang itu mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Bermaksud menyelesaikan masalahk Laila dan ibu mertuanya.
“La, masalah kemarin selesaikan sekarang, ya! Minta maaflah sama Mama,” ucap Rama.
“Ha, apa Bang? Kok aku yang minta maaf? Yang bikin emosi duluan jelas-jelas Mama.” Jawab Laila sambil menggelengkan kepala.
“Heh, Laila! Benar-benar tidak ada sopan santunnya kamu sama saya, ya. Saya ini mertua kamu!”
“Apa? Mertua? Bukannya Mama tidak pernah menganggap aku menantu?”
“Laila, jaga ucapan kamu! Yang ada di hadapan kamu ini ibu saya! Ibu dari suami kamu! Mertua kamu!” Balas Rama mulai emosi.
Brakkk!
Rama memukul meja. Ibu Maimun yang melihat Rama membelanya merasa bangga diri, dan menatap ke arah laila dengan tatapan penuh kemenangan.
Hancur sudah hati Laila. Suami yang diharapkan menjadi sandaran dan mengerti penderitaannya ternyata malah membuatnya semakin tersudut di hadapan ibu mertuanya. Kepada siapa lagi ia berbagi jika tidak kepada suaminya. Seharusnya Rama bersikap bijak dan adil, ikut mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi.
Laila langsung ke kamar dan mengemas barang-barangnya. Tiada guna ia bertahan jika hanya akan menambah beban. Hatinya tidak kuat dan ikhlas menjalaninya. Lebih baik ia pergi.
Saat melewati ruang tamu, ia melihat suami dan ibu mertuanya masih duduk sofa. Ibu Maimunah langung membuang muka, sedangkan Rama terlihat tidak peduli. Hatinya rapuh tapi langkahnya semakin mantap.
“Laila pamit ya Bang, maafkan segala kekurangan Laila.” Ucap Laila menunduk takzim mencium tangan suaminya. Ia pun melangkah keluar.
Setelah sekian meter berjalan di pekatnya malam, tak ia temukan juga sosok Rama menyusulnya. Bulir-bulir bening yang telah menggantung perlahan luruh membelai pipi tirusnya. Mulutnya tak henti merapal istighfar disepanjang jalan. Matanya yang nanar di bawah temaram lampu jalanan tak membuat langkahnya berhenti. Ia harus segera sampai ke loket walau sebenarnya ia belum tahu akan ke mana.
Bersambung . . .
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar