Nur Hilmi Daulay

Nur Hilmi Daulay. Email [email protected]. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Takdir yang Berbeda

Takdir yang Berbeda

== Takdir yang Berbeda ==

Oleh : Nur Hilmi Daulay

Kupandangi rumah makan Padang di seberang jalan, ramai. Mencoba membaca situasi, tapi terlalu sulit melihatnya dari kejauhan. Aku harus menyeberang.

Kutatap orang-orang di sekeliling. Aku kurang percaya diri menyeberang jalan sendirian. Teringat beberapa tahun yang lalu terakhir kali melakukannya. Hampir saja aku ditabrak mobil putih yang catnya masih kinclong. Saat itu, aku dengan percaya dirinya ingin menyeberang. Kutunggu sebuah pick up melesat, lalu kulangkahkan kaki, ternyata di belakang sayap kanan pick up masih ada sebuah mobil melaju kencang. Untunglah badan ini kecil, sehingga aku bisa menyuruk di antara bawah badan mobil sehingga roda hitam itu tak menggilas bagian tubuhku, ini takdir bahwa ajalku belum tiba.

Mobil itu mengerem dengan klakson serupa jeritan yang memekakkan telinga. Suasana jalan macet beberapa menit. Seseorang membantuku ke pinggir, yang lain mengumpat. Mengataiku mahluk sial. Aku tertatih melanjutkan perjalanan, dengan perasaan yang entah, tanpa tujuan. Sejak hari naas itu, menyeberang jalan menjadi sesuatu yang menakutkan, suara klakson menjadi lolongan yang mengingatkanku pada maut.

Seorang ibu akan menyeberang, kutebak usianya sekitar lima puluh. Ia menatap sekilas, lalu menganggapku tak ada. Netranya menatap lampu bersusun tiga di simpang jalan. Maka ketika hijau menyala, langkah kaki tuanya mulai ia goyangkan. Aku mengekor walau tak dianggap. Bukankah selalu begitu, takdir sudah menempaku menjadi pribadi yang membaja. Kuucap terima kasih padanya. Mendengar suaraku, ia hanya merespon dengan menatap sekian detik, lalu pergi melengos.

Rumah makan Padang di depanku semakin ramai saja. Kursi-kursi penuh dengan dengan pengunjung yang lapar. Kudongakkan kepala ingin mengintip lebih banyak.

Itu targetku, beberapa pengunjung berpakaian necis yang kutebak dompetnya selalu tebal. Tapi andai ada, aku akan memilih wajahnya paling tak sangar.

Diantara mereka ada yang datang dengan keluarga, ada juga yang hanya sendiri. Pinggan-pinggan tertata dengan berbagai menu di atas meja. Aku tak suka makanan pedas. Andai jadi mereka, aku akan memilih semua makanan jenis ikan. Selain rasanya memang lezat, ia juga sangat menyehatkan badan. Kutelan liur yang terasa semakin kering. Selain lapar, ternyata haus juga melanda.

Pada orang-orang seperti ini, aku selalu merasa cemburu. Mereka yang menjalani rute hidup semulus jalan tol. Ketika menginginkan sesuatu dengan gampang mendapatkannya, semudah mengucap simsalabim, tanpa perlu mengucurkan keringat seperti yang lainnya.

Kali ini dan beberapa kali lain, kulihat mereka menyicip sebagian makanan saja, lalu lambung-lambung kecil mereka tak akan muat menjejali makanan itu ke mulutnya. Semua akan mereka tinggalkan tanpa merasa bersalah dengan uang yang mereka hamburkan. Tanpa hirau kata Mubazir yang sering diucap ustad yang sering kucuri dengar ceramahnya di TV. Lha, aku sendiri sangat suka kemubaziran, karena di situlah seringnya jatah rejekiku berada.

Diantara mereka ada yang lauknya hanya sekedar saja, tanpa tatanan menu di atas meja, aku menebak mereka adalah golongan pekerja yang biasanya berkunjung ke tempat ini untuk mengganjal lambungnya saja tanpa berlebihan, lalu memproses makanan itu kembali menjadi sebenar-benar tenaga. Orang-orang seperti ini biasanya akan menghabiskan jatah-jatah mereka sampai bersih tanpa tersisa di piring, tak ada bagianku.

Aku masih memperhatikan dari samping rumah makan yang tak terlalu megah tapi juga tak sederhana ini. Beberapa pengunjung mengantri di dekat steling untuk membeli makanan untuk dibawa pulang.

Beberapa mengantri di meja kasir. Wajah-wajah yang sudah selesai hajatnya dengan perut kenyang terlihat lebih bertenaga setelah bagian tubuh krusial itu diisi. Kucoba menerobos mereka, mengendap pelan agar tak ketauan. Sebab seringkali aku diusir tanpa kumengerti alasannya.

Tujuanku ke meja sudut itu, ke tempat sebuah keluarga yang terlihat menyenangkan. Seorang ibu berjilbab lebar menyulangi anak lelaki kecilnya, sementara anak perempuan di dekatnya masih berseragam Sekolah Dasar, terlihat asyik mengelus anggora di tangannya, sambil berceloteh riang pada laki-laki dewasa di sebelahnya. Kata orang kucing jenis itu sangat mahal harganya, mungkin itu alasannya mereka selalu sangat disayangi empunya, batinku.

Anggora itu melirik dari jarak beberapa langkah, ia memergokiku yang mendekati meja tempatnya bermanja. Syukurlah tatapannya terlihat ramah. Ah, mungkin perlakukan yang baik dari majikannya juga menempanya memiliki kepribadian yang baik pula. Aku tersenyum padanya.

Anak perempuan itu terus saja berceloteh tentang cintanya pada anggora itu kepada ayah Ibunya. Entah kenapa, Aku begitu cemburu. Andai itu aku.

"Besok kita harus ke Kiki Pet Shop lagi ya, Ayah! Makanan si Kinoi sudah mau habis," ujar anak perempuan itu.

"Baiklah, sekarang cuci tanganmu. Ayah sudah selesai makan. Biar ayah yang memegang Kinoi," ujar lelaki gagah yang dipanggil ayah itu.

Belakangan, aku seolah lebih terlatih, memiliih mereka yang wajahnya tak terlihat garang. Tanpa ada yang melihat, aku menyuruk ke kolong meja, Mendekati perempuan berkaos kaki yang masih terus menyuapi anak lelaki kecilnya itu.

Merasakan sesuatu di kakinya, ia terkejut dan menyurukkan kepalanya melihatku. Matanya menyipit lalu melebar.

"Ayah, lihatlah! Kasihan sekali. Kulitnya melepuh," kata ibu berjilbab lebar melihatku, raut wajahnya yang tadi teduh berubah kelam. Ia meletekakkanku ke pangkuannya dan membelai kepalaku. Entah kenapa aku terharu dengan perlakuannya yang istimewa. Belum ada yang memperlakukanku begini sebelumnya. Serasa dipeluk ibu yang sudah lama menghilang entah kemana.

Seseorang yang dipanggil ayah itu mendekat dan melihatku. Ia tetap memegang anggora bernama Kinoi di pelukannya. Anak perempuan di sebelahnya yang sedang lahap menikmati makan siang, berhenti sejenak, menatapku jijik. Ia membuang muka, mungkin takut selera makannya hilang.

"Nanti kita bawa pulang saja dulu, besok kita bawa berobat," katanya tanpa meminta persetujuanku. Aha, sebenarnya ia tak perlu memintanya karena pasti ia sudah tau aku akan setuju. Aku tersenyum.

"Ibu, Bapak. Maaf, kalau tidak keberatan, kami bisa membawanya keluar. Kami tak tau kalau ia masuk dan mengganggu ke meja makan Ibu dan Bapak. Mohon maaf atas ketidak nyamanannya." Seorang lelaki dengan seragam tiba-tiba saja membuyarkan percakapan kami, sepertinya ia pekerja di rumah makan ini. Kulihat pelayan lain menggunakan seragam yang sama. Aku tau tujuannya baik untuk memberikan kenyamanan pada pengunjung di sini, tapi aku kurang menyukainya, ia sudah mengusik kenyamanan yang langka kudapatkan ini. Oh, Tuhan. Aku ingin di pangkuan ibu ini lebih lama. Aku meringis.

"Tidak apa-apa, Pak! Biarkan ia bersama kami," ucap ibu itu hingga nafasku lega. Seolah aku baru menurunkan sekwintal beras dari pundakku.

"Tapi Bunda, ia kotor dan kulitnya melepuh. Aku tak suka," ujar anak perempuan itu. Aku menatapnya meminta dikasihani. Ingin kuberteriak memberitahunya bahwa aku tidak minta dilahirkan seperti ini. Kalau boleh memilih, aku lebih suka terlahir menjadi anggora di pelukan ayahnya.

"Ia butuh bertolongan, Sayang! Kulitnya harus kita obati agar tidak menjadi lebih parah. Sepertinya ini bekas kena siram air panas. Bunda tak tega melihatnya. Setelah sembuh, ia juga akan terlihat gagah nanti, " ucap bunda. Aku bingung darimana ia tau bahwa kulitku ini memang terluka karena disiram air panas oleh seorang ibu galak. Aku hanya mengambil ikan gorengnya sepotong saja, tapi kemarahannya sungguh mengerikan.

Orang yang dipanggil bunda ini sangat pintar meramal selain berhati baik. Aku mengaguminya.

"Besok, sekalian kita bawa ke Kiki Pet Shop, di sebelahnya ada praktek Dokter Hewan, sekalian beli makanan untuk Kinoi, " ujar ayah. Bunda memberiku sepotong ikan yang sedari tadi kuinginkan, langsung kuhabiskan dengan lahap.

Memasuki mobil keluarga itu, Kinoi tersenyum padaku. ia mengeong mengucapkan salam kenal dan selamat datang. Dengan gembira kubalas salamnya sambil menggoyangkan ekorku. Takdir kami memang tak sama, tapi Tuhan pasti punya alasan atas semua perjalanan hidup. Aku dan anggora itu menyadarinya, kami akan menjadi sabahat baik.

-end-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masya Allah, cerita luar biasa. Meski si pus dan kinoi memiliki takdir yang berbeda, namun tiap takdir yang diberikanNya pastilah yang terindah. Sama dengan kita yang juga memiliki takdir masing-masing. Allah sang penentu takdirlah yang maha mengetahui takdir mana yang paling sesuai untuk kita. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, Bu Guru Hilmi. Ruarrrrr biasa.

09 Dec
Balas

Iya bu.. Setiap makhluk akan menjalani takdir yang berbeda-beda dari Pemilik semesta.. Tinggal berpulang bagaimana menjalaninya.. Penuh keluh atau menjadi kuat tegar dan tetap bersyukur.. Terima Kasih ibu sudah singgaj. .barokalllah

09 Dec

Bagus ceritanya...saya pecinta kucing. Jadi terinspirasi nih...

18 Jan
Balas

Terimakasih mbak.. Alhamdulillah sudah terinspirasi..

18 Jan



search

New Post