Nur Hilmi Daulay

Nur Hilmi Daulay. Email [email protected]. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Uang Receh SYam

Uang Receh Syam

Brak, Klinting ting ting…

Satu receh jatuh menggelinding ke lantai. Membentur ujung dinding berputar-putar sebelum akhirnya tak bergerak. Sementara kumpulan receh lain mendarat di atas meja ibu guru dari tangan Syam. Bocah sebelas tahun itu kelihatan takut. Bu Kelly memandang heran. Dahinya berkerut, sementara matanya yang sipit bertambah sipit.

“Ini bu, sudah kuhitung. Semuanya berjumlah Dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah”

“Ini uang apa, Syam?” kata bu Kelly penuh selidik.

***

“Darwin, sudah siap kau? Cepatlah ! Janganlah kita masbuk lagi.” Fajar berteriak memanggil dari rumah kardusnya. Bergegas mendekati rumah Darwin yang keadaannya setali tiga uang dengannya. Sekitar sepuluh kepala keluarga bermukim di sini. Keadaannya jauh dari kata layak. Seharusnya mereka dipelihara Negara, tapi beberapa diantara mereka malah berpikir, biar Tuhan saja yang memelihara.

“Iya, aku sudah siap!” Fajar keluar dari gubuknya dengan sebuah Buku Iqro’ di tangannya. Darwin juga membawa buku yang sama. Kedua bocah bersarung dan berpeci itu berjalan bergegas.

“Bang Darwin, Bang fajar! tunggu aku.. !” Sekar berteriak di belakang mereka. Keduanya berhenti dan menoleh sejenak, lalu malah berlari-lari kecil meninggalkan Sekar sambil tertawa-tawa. Yang ditinggalkan cemberut dan terus berlari lebih kencang mengimbangi dua temannya. Beberapa kali ia menarik mukenanya yang kebesaran agar tak terinjak. Bekas mukena ibu tirinya sebenarnya. Beberapa anak lain menyusul sambil berlarian ke arah musholla tua di bantaran sungai.

Ketiganya kini sejajar. Tak berlari kecil lagi, frekwensinya berganti jadi jalan cepat. Musholla sudah terlihat.

“Mana abangmu, Sekar?” Darwin berucap sambil terus berjalan.

“Gak tau aku bang, tadi Ngelem dia. Mungkin gak mengaji hari ini”

“Ooh” ucap Darwin.

Pagar kayu Musholla menyambut.

“Pas waktunya !” Ujar Fajar, ketika toa masjid mulai mengumandangkan azan. Mereka berwudhu dan sholat ashar berjamaah. Mushola tua itu berpenghuni lagi, jamaahnya kebanyakan adalah anak-anak bantaran sungai Deli. Imamnya ustadz Sanusi yang tak lain adalah suami ustadzah Ayunda.

Musholla ini dulunya sudah lama kosong dan ditinggalkan penduduk, kotor tak terurus. Ustadz Sanusi dan ustadzah Ayunda mohon izin kepala desa untuk membersihkannya. Mereka menyulapnya sebagai rumah belajar mengaji untuk anak-anak seperti Darwin dan kawan-kawan. Karena ayat suci selayaknya dikumandangkan di setiap rumah agar berkah, Ustadz Sanusi yang lulusan Pesantren di Jawa merasa terpanggil.

Lepas sholat ashar, ustadzah Ayunda sudah duduk teras musholla. Tiga buah meja oshin ada di sana. Meja terbuat dari triplek itu buatan tangan Ustadz Sanusi. Hari ini delapan orang anak yang hadir. Tiga belum kelihatan batang hidungnya.

“Ustadzah Yunda, aku sudah mengulang kajianku di rumah. Insyaallah aku akan lancar hari ini. Apa cerita yang akan ustadzah bawakan hari ini? Aku sudah tak sabar mendengarnya” Martinus sudah duduk siaga mulai berkonsentrasi. Anak-anak lain juga mulai duduk rapi, sesekali saling bergurau.

“Setelah mengaji, Ibu akan bercerita tentang kisah penjual kue miskin yang jujur, tapi sebelumnya dimana teman kalian si Syam, Rajali dan Zakiyah” kata ustadzah Ayunda.

“Zakiyah sakit DBD, bu. Maklumlah, fogging tak sampai ke kampung kami. Kalau musim panas gini banyak yang kena DBD bu. “ Rahmad yang usianya sudah 12 tahun, paling dewasa diantara mereka menjelaskan. Ia juga tetangga Zakiyah.

“Semoga Zakiyah lekas sembuh ya. Kalian juga jaga kesehatan. Tempat penampungan air minum ditutup saja. Kalau ada sampah-sampah yang bisa menampung air dibuang saja, itu tempat tumbuhnya jentik dan bisa menjadi sarang nyamuk.” ustadzah Ayunda terlihat khawatir.

“Sekar, kemana abangmu kenapa tidak hadir lagi?”

“Hmm, aku tidak tau ustadzah. Mungkin dia ngelem lagi. Tadi belum pulang juga.” Jawab sekar dengan raut sedih. Ustadzah terdiam sejenak.

“Hmm, Sesuatu yang tidak bermanfaat kenapa dicoba-coba. Sayang sekali, padahal ketika ngelem saraf otak akan bekerja tidak semestinya. Akan membuat orang kecanduan. Besok atau lusa jika sudah ketagihan, orang itu tidak akan sadar dengan apa yang dia lakukan. Mencuripun jadi asal bisa ngelem terus. Padahal kalau seperti kalian ini masih panjang masa depan yang mau diukir.” Ustadzah Yunda menyayangkan yang dilakukan Syam. Tapi beliau tetap menjelaskannya selembut mungkin agar Sekar tidak tersinggung. Agar anak-anak lain juga tahu bahayanya ngelem.

“Ustadzah, Rajali juga tidak hadir” kata Paridah.

“Ada yang tau kemana dia?” Bu Yunda menatap siswa didiknya, semuanya menggeleng.

“Ya sudahlah, semoga mereka semua baik-baik saja ya”

***

Lem ini terasa menyengat. Sengatannya sampai ke otakku. Aku merasa ringan. Aku merasa senang. Gumamku pada diri sendiri. Aku menghirup lem ini dalam-dalam.

Bukan aku menentang nasihat baik ustadzah Ayunda guru mengajiku untuk selalu berprasangka baik pada Tuhan. Tapi terkadang aku bosan pada takdir yang terasa kurang memihak. Ibu tiri dengan dandanan menor yang selalu pulang marah-marah. Ayah pulang kerja selalu mabuk dan menghajarku jika rokok dan air mineral yang aku jual tak laku. Ayah akan menamparku jika kurang membawa uang, terlebih ketika ia kalah berjudi. Brengsek ! Kenapa Tuhan menakdirkan mereka berdua jadi orang tuaku ?! umpatku. Kenapa ibu meninggal sangat cepat. Banyak kata kenapa berputar di kepalaku. Aku tak menemukan jawaban.

Sering aku merutuki diriku di sudut itu, di atas sajadah yang baru sekitar dua minggu aku pakai, pemberian ustadz Sanusi. Aku akan menangis sepuasnya di rumah kardus ini. Tentu saja tanpa suara agar orang lain tak mendengarnya. Karena rumah kami hanya rumah-rumah kardus tak kedap suara. Atapnya hanya menumpang pada teras belakang pertokoan orang. Beruntung beberapa tetangga yang nasibnya hampir sama dengan kami sudah bisa membangun rumah dari triplek. Ada yang memang karena ayahnya sama sekali tak berjudi. Ada juga yang bisa membangunnya karena menang berjudi, Itu tak berkah kata ustadz Sanusi.

Aku menangis ? Ya ! Tentu saja ketika perempuan yang selalu berlipstik tebal itu sedang tak di sini, entah kemana dia keluar setiap malam. Padahal jam sudah di atas angka dua belas. Ayahku pasti sedang berjudi di luar. Adikku Sekar sudah lelap. Adik yang lincah dan sangat kusayang.

Di mana sajadah itu sekarang ? mungkin terlipat bawah kain-kain yang jarang disetrika di rumah. Mungkin saja disimpan adikku Sekar. Dia sangat rajin merapikan barang-barangku. Dia anak yang baik.

Aku masih menghirup bau lem ini dalam-dalam. Terasa menyengat, Sengatannya sampai ke otakku. Aku merasa ringan. Aku tak hiraukan omelan-omelan perempuan itu lagi, tak kurasakan lagi bekas merah tamparan ayah di pipiku tadi pagi hingga aku malu pergi ke sekolah. Atau bekas perih birat tali pinggang yang masih belum hilang sejak ia libaskan dua hari lalu.

***

“Sekolah kau anak nakal ! mau jadi apa kau kalau tak sekolah hah?!” Penjudi itu ternyata bisa juga mengeluarkan kata-kata bijak dari mulutnya. Ya, walaupun ayah seorang penjudi, ia tetap tidak ingin aku dan Sekar menjadi miskin sepertinya. Dalam mabuknya ia sering berkata sambil marah-marah “Sekolah kalian bagus-bagus, biar kelen belik kota Medan ini ! Di dunia ini yang punya uang yang dipandang orang. Jangan kalian jadi sampah kayak aku ! Setan ! mana setan-setan itu? Belajar kelen !!! Jangan tiru ayah kelen ini ya !!! ” Ayah mengomel sambil terhuyung.

“Tapi Sekar sakit yah. Dia harus dibawa berobat.” Aku memelas. Kulihat badan Sekar sesekali seperti orang terkejut-kejut. Matanya nanar. Sesekali bicaranya melantur. Aku terus mengompresnya dengan air hangat.

“Mana uangnya ? Mana uangnya hah? Masih ada uangmu semalam?” Ayah menanyaiku dengan mata melotot.

“Tapi udah ayah minta semalam. Tak ada lagi uangnya sama aku yah !” aku menjawab dengan gemetar, antara takut ditampar dan khawatir melihat keadaan Sekar.

Lalu lelaki yang aku takuti itu tiba-tiba menangis “Manusia macam apa aku ini. Anakku sakitpun tak bisa kubawakan berobat.”

“Mana Ibumu?” kata ayah tiba-tiba.

“Ibu belum pulang, yah” jawabku sekenanya. Ia menangis lagi dan mengusirku untuk segera pergi ke sekolah. Aku tak punya pilihan. Karena melawan berarti aku bersedia babak belur.

***

Mataku menatap ke depan. Bu Kelly menjelaskan dengan semangat materi hari itu, tapi tak satupun penjelasannya singgah di otakku, semua seperti kaset rusak. Otakku berputar kencang. Apa yang harus kulakukan untuk menolong adikku.

“Begitulah proses memasak makanan yang terjadi pada tumbuhan. Selanjutnya tolong dikerjakan latihan pada buku LKS halaman 28. Sebentar lagi Ibu Pohan akan menggantikan ibu ya, ibu ada pelatihan hari ini dan jam 10 ibu sudah harus di tempat” hanya itu yang kudengar setelah bu Kelly menegurku karena melamun.

Kulihat ibu Kelly menuju ke kantor. Aku menghampirinya dan mengatakan kalau perutku sakit. “Bolehkah aku meminta minyak kayu putih, bu?” tanyaku

“Ayo sekalian kita ke kantor dulu” kata bu Kelly. Beliau menyandang tasnya dan meletakkannya di atas meja. Posisiku duduk sekarang sangat dekat dengan tas itu. Suasana kantor sedang sepi. Bu Kelly ke ruang UKS yang terletak di dalam kantor ini juga.

“Ini minyak kayu putihnya, oleslah ke perutmu. Ini air hangat juga, minumlah !” bu Kelly datang dengan segelas air putih di tangannya. “terima kasih bu” ucapku. Bu Kelly meninggalkanku sebentar, mau ke toilet katanya. Sebuah ide datang ke kepalaku. Jantungku berdegup kencang. Sepeninggal bu Kelly, kepalaku celingak celinguk kanan kiri. Aman, tanganku mulai membuka resleting tasnya. Cepat kuambil dompetnya dan langsung kubuka, ada beberapa lembar uang berwarna biru. Tidak, aku tidak membutuhkan sebanyak itu. Ada uang lembaran dua puluh ribu bergulung, kuambil gulungan itu. Cepat ku letakkan di kantong celanaku. Dompet kuletakkan kembali dan tas ku tutup seperti semula. Ah, ku seka keringat di keningku. Jantungku serasa mau copot. Kuteguk air hangat di depanku sampai habis. Bu Kelly datang.

“Sudah minyak kayu putihnya, Syam?”

“Oh iya iya bu, sebentar..” ucapku gugup sambil langsung mengoleskannya di perutku. “Aku permisi pulang saja, bu” ucapku lagi. Ibu guru melihatku dengan seksama, akhirnya beliau memberi izin.

“Baiklah, sebaiknya kau istirahat dulu. Ibu akan antarkan sampai simpang rumahmu ya. Sekalian ibu menuju tempat pelatihan” kata Bu Kelly, aku mengangguk.

Aku diturunkan bu Kelly di simpang jalan, beliau melanjutkan perjalanan dengan sepeda motornya. Rasa bersalahku sangat besar kepada guruku yang baik itu. Tapi aku lakukan ini dengan terpaksa. Kurogoh kantung celanaku, ku buka lipatan uang dua puluh ribuan tadi. Ku hitung semua berjumlah dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah. Cepat kulangkahkan kakiku menuju apotik sebelum ke rumah. Penjaga apotik memberiku obat demam dan antibiotik. Uang masih tersisa sekitar lima belas ribu rupiah. Aku berlari tak sabar ingin menjenguk Sekar.

“Pergi kau dari sini perempuan jalang !!!” suara ayahku terdengar membahana semakin kuat karena aku semakin dekat menuju rumah. Entah apa yang terjadi. Tapi kulihat ibu mengomel dan memaki ayah juga. Dia pergi meninggalkan rumah kami.

Aku tak memperdulikan perempuan itu. Aku masuk saja ke rumah tanpa memperdulikan ayah yang masih memaki ibu. Kulihat Sekar menangis. “Sekar, abang bawa obat. Ini diminum dek” dia mengangguk lemah. Aku membantunya duduk, mengambilkan air putih dan memberinya obat yang tadi kubeli di apotik. Sekar kubantu berbaring lagi.

“Aduh.. ampun yah.. ampun..” aku kesakitan ketika ayah menjambak rambutku dari belakang.

“Pasti kau bolos kan? Darimana uangmu beli obat ! pasti kau curi uang ayahkan??! Korupsi kau?? Kecil-kecil sudah pandai kau korupsi ? Dasar anak nakal !!!”

“Ampun yah… ampun.. bukan yah..” belum sempat aku menjelaskan ayah memukulku dengan tali pinggangnya. Ia merogoh kantongku dan menemukan uang sisa beli obat tadi. Ia mengambilnya dan pergi tetap dengan sumpah serapahnya. Kulihat Sekar, tatapan adikku itu kosong. Tapi airmatanya terus jatuh. Aku begitu takut kehilangan dia.

Aku menangis di sudut rumah kardus itu. Nyaris tanpa suara tapi sesenggukan. Terbersit niatku membeli lem agar jiwaku melayang dan aku bisa lepas dari semuanya sejenak. Tapi aku tak punya uang. Lem terakhirku terjatuh di jalanan ketika dikejar-kejar Pamong Praja.

Mataku terpaku pada sajadah pemberian ustadz Sanusi, aku mengambilnya dan menangis di atasnya. Sesekali aku mengganti kompres Sekar. Kali ketiga ku ganti kompresnya, matanya terbuka dan menatapku lemah.

“Abang tidak apa-apa? Pasti sakit ya?” katanya sambil melihat birat di lengan kananku . Aku menggeleng.

“Kau cepat sembuh ya dik ! Cuma kau semangat abang..”

“Tapi maukah abang berjanji untukku?”

“Apapun abang mau asal kau sembuh, dik”

“Abang ikut ngaji lagi sama ustadzah Ayunda ya” aku mengangguk

***

Sekar semakin sehat dengan obat yang kubeli kemarin. Bu Kelly sepertinya tidak pernah merasa kehilangan uang yang aku curi dari dompetnya. Ibu tiriku itu tak pernah terlihat lagi mendatangi rumah kami. Ayah tetap suka mabuk.

***

Satu-satunya yang membuatku melangkah lagi ke musholla di bantaran sungai ini adalah karena janji pada adikku Sekar. Dia sudah mulai sembuh dan sore ini bersikeras ingin ikut mengaji. Kami berjalan sepanjang rel.

Ustadz Sanusi menyambutku kembali dengan hangat. Aku sangat malu sudah sekitar dua minggu bolos mengaji. Tapi mereka tak menyinggung tentang hal itu. Sebelum sholat ashar beliau menanyaiku maukah membantu beliau membersihkan mesjid setelah mengaji. Beliau akan memberi upah untuk pekerjaan itu. Beliau akan mengajar mengaji di mesjid lain dan kesulitan menemukan orang yang dapat membantunya membersihkan musholla. Sementara ustadzah Ayunda selain mengajar juga harus mengurus anaknya yang masih kecil. Aisyah namanya, yang dititipkan pada tetangga ketika beliau mengajari kami mengaji.

“Aku akan menanyakan kepada ayah dulu, ustadz” ujarku. Kami melanjutkan sholat ashar lalu mengaji bersama ustadzah Ayunda.

Hari ini setelah mengaji ustadzah Ayunda bercerita dengan judul Kisah pencuri yang menangis. Pencuri itu bernama Hamzah. Dalam cerita ustadzah, Hamzah melihat semua yang dikerjakannya menjelang ajal. ketika sakaratul mautnya, Hamzah seperti melihat video amal-amal yang dilakukannya diputar ulang. Dia menangis karena sudah mencuri, dia menyesal.

Ustadzah Ayunda juga bercerita tentang perjalanan Rasulullah ketika Isra’ Mi’raj beliau melihat beberapa orang yang menghancurkan kepalanya dengan besi panas karena sering meninggalkan sholat di dunia, orang yang memotong tangannya ketika mencuri, orang yang memotong lidahnya karena berkata yang tidak baik dan berbohong di dunia.

Aku bergidik dan merasa bersalah mendengar cerita ustadzah. Aku tertunduk.

“Dari kecil kita harus belajar bersikap jujur, adil dan bijaksana. Karena apapun yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Di dunia yang bersalah akan dihukum Negara, terbukti banyak koruptor yang sudah masuk penjara. Dijauhi masyarakat, hidup tidak tenang. Namun Allah itu maha pengasih maha penyayang. Allah maha pengampun. Para koruptor itupun jika mau bertaubat insyaallah tetap akan diampuni Allah dosa-dosanya” kata beliau.

###

Ayah mengizinkanku bekerja membersihkan mushola asalkan aku menyetorkan penghasilannya kepada ayah. Jadi jadwal rutinku seharian sepulang sekolah adalah menjualkan air mineral dan rokok pada pengendara di jalanan. Dengan kotak dari triplek yang dibuat ayah dan disandangkan di leherku, sorenya aku pulang dan mengaji lalu membersihkan musholla. Malamnya aku belajar.

Aku memperoleh uang lima ribu rupiah setiap hari dari ustadzah Ayunda. Aku akan memberikannya pada ayah. Lalu ayah memberiku empat koin uang senilai lima ratus rupiah.dua koin selalu kuberikan pada Sekar, dua koin untukku. Sekar akan menyimpannya dan sesekali membeli jajan.

Aku menyimpan uangku dalam sebuah kaleng susu yang kusulap menjadi celengan. Membuatnya lobang dan memasukkan koin-koin yang aku dapatkan di sana. Niatku Cuma satu, mengganti uang Bu Kelly.

###

Sejak ibu tiriku itu meninggalkan kami, ayah yang memasak seadanya. Kulihat ayah mulai berkurang mabuknya. Mungkin karena tidak ada uang juga untuk membeli minuman. Sepertinya dulu ayah sering dapat uang juga dari ibu. Sekarang dia lebih rajin bekerja. Pekerjaan ayahku sebenarnya hanya mengais-ngais sampah dan mengambil barang-barang plastik, besi, kaleng untuk dijual di butut.

Suatu hari badan ayah panas. Dia demam tinggi. Aku mengompresnya. Ia menyeracau terus. Kuperiksa kantong celananya, tapi hanya dua buah koin lima ratus rupiah ada di sana. kubuka tabungan kalengku. Ini sudah hari ke dua puluh sejak aku bekerja membersihkan musholla, sedikit lagi uangnya akan cukup untuk niat pertamaku. Tapi sepertinya niatku tertunda. Ayah lebih membutuhkannya.

“Ini obat darimana uangnya Syam?” ayah menanyaiku setelah kubeli obat untuknya. Sekar mengambil minuman.

“Dari tabunganku, yah. Tabungan di kaleng itu.” Beliau diam dan berbaring lagi setelah minum obat. Aku lihat buliran air mengambang dan akhirnya jatuh ke bantal alas kepalanya.

“Maafkan ayah, nak” hanya itu yang diucapkannya.

###

Aku mulai menabung lagi. Setiap hari menabung. Hingga hari ke dua puluh empat. Koin-koinku sudah cukup menggantikan uang bu Kelly. Aku mencongkel kaleng kedua yang aku punya. Kaleng yang kuminta dari butut yang dikumpulkan ayah.

Melihatku mencongkelnya, ayah menanyaiku sebabnya. Ayah yang sekarang sudah sangat jauh berubah membuatku mulai berani berterus terang dan menceritakan semuanya.

Ayah memelukku. Sumpah serapah yang biasa keluar dari mulutnya dibungkam airmata.

“Kau sudah mencambuk ayah, nak! Maafkan aku” bahunya berguncang. Kami bertiga menangis.

###

“Ini bu, sudah kuhitung. Semuanya berjumlah Dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah”

“Ini uang apa, Syam?” kata bu Kelly penuh selidik.

“Maafkan aku, Ibu. Aku tak mau jadi pencuri kecil atau jadi koruptor jika sudah besar nanti” ucapku terbata.

“Tapi ibu tidak mengerti, nak. Ini uang apa? Coba kau duduk dulu dan ceritakan pada ibu”

Ceritakupun mengalir tentang semuanya. Tak ada yang kututup-tutupi lagi. Tak ada rahasia. Beliau mendengarkan dengan seksama. Aku sudah menyiapkan diriku untuk kemarahannya. Semoga dia tidak memberhentikanku dari sekolah, doaku dalam hati.

Diluar dugaanku beliau malah menggenggam tanganku, mengusap kepalaku.

Aku mulai menangis. Beliau memelukku.

“Kamu hebat, nak ! Ibu harus banyak belajar darimu” suaranya berat. Dia melepaskan pelukannya. Aku belum berani menatapnya.

“Kau masih kecil, tapi kau sudah bisa melewati banyak hal. Tentang kesabaran, tanggung jawab, kejujuran. Ibu doakan kau menjadi pemimpin yang baik di masa yang akan datang. Negara kita membutuhkanmu, Nak. Belajarlah yang baik !”

Aku mulai berani menatap wajahnya, tidak ada marah dari suaranya.

***

Biarlah riak hidup membawaku kemana

Tentang nasib yang penuh rahsia tak kenal rupa tak kenal nama

Biarlah kudayung sampanku dalam lautMu

Biarlah ku titi jalanku dalam sirahMu

Agar tak malu aku menemuiMu di sua kita nanti

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ya...Allah...ya...Robb. Berkaca-kaca mata ini membaca kisah nan sarat ibrah. Sosok Syam mampu ajarkan kita untuk tegar jalani hidup. Sangat manusiawi ketika Syam merasa tak adil akan takdir yang dijalani. Alhamdulillah, Syam segera menyadari kekhilapannya. Jazakillah khoir untuk kisah sarat makna ini, Bu Guru. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah.

24 Jan
Balas

Terima Kasih banyak bu sudah singgah membaca cerpen yang Lumayan panjang ini, cocoknya cerjang y bu.. Hehe.. Ini ditulis benerapa tahun lalu, masih banyak "dosa" dalam PUEBI.. InsyaAllah terus berproses lebik baik... Smga qt smua sehatslalu..

24 Jan



search

New Post