Nurifah Hariani

Seorang guru di SMP swasta di Kota Malang yang menyukaui dunia tulis menulis, suka meluangkan waktu dengan merajut dan membuat aneka macam kriya handmade...

Selengkapnya
Navigasi Web

Lelaki yang Berhenti Berkata

Astaga, Goheng! Aku melompat dari tempatku duduk. Kuhampiri lelaki yang sedang berdiri di depan warung Mbak Maisarah. Meski wajahnya sudah berkerut-kerut seperti baju kusut , rambutnya tampak menggimbal dan ada lingkaran hitam di sekeliling matanya, aku yakin seratus persen ia orangnya. "Goheng, ini aku, Fondra. Ingat?” Aku mengguncang bahunya. Ia tak bereaksi. Aku melangkah , berdiri tepat di depannya. “Hey!” kutepuk pipinya. Kutatap manik matanya. Keningnya tampak berkerut, kedua alisnya bertaut, tapi hanya sebentar, ia mundur selangkah, menghindariku. Aku tak dianggapnya ada, ia meniup peluit .Tit...Tit ... Tiiiiiiit! .Mbak Maisarah membuka pintu. Perempuan yang tubuhnya padat berisi itu melempar senyum kepadaku lalu memberi selembar uang kepada Goheng. Lelaki kurus itu lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Kulihat ia berhenti di beberapa rumah lainnya. Modusnya sama, berdiri di depan pagar atau pintu, meniup peluit, menerima uang lalu pergi begitu saja.

"Jadi dia tidak bisu?" tanya Mbak Maisarah. Aku menggeleng, kami pernah satu tim dalam lomba debat bahasa Inggris di SMA. Dari Bu Kantri, ibu kost, aku mendapat cerita yang lebih lengkap. Katanya Goheng pernah masuk penjara. Ia melaporkan pak Kades yang menyelewengkan dana. Tuduhannya tidak terbukti malah ia balik dituduh pasal pencemaran nama baik. Ia masuk prodeo dua tahun. Setelah bebas, ia mendapat banyak kejutan , kedua orang tuanya meninggal dalam suatu kecelakaan, rumahnya habis terbakar, sawah dan ladang milik keluarganya sudah berpindah tangan. Suami Bu Kantri yang menjadi Ketua RT mengantarnya ‘nyekar’ di makam orang tuanya. Goheng membisu. Ia menggigil menahan agar air matanya tidak jatuh, jari jemarinya terkepal, gemerutuk giginya menahan luapan emosi. Setelah itu ia menghilang bak di telan bumi. Entah berapa lama, Bu Kantri dan suaminya tak bisa mengingatnya dengan pasti. Ia muncul tiba-tiba hampir bersamaan dengan kedatanganku di kota ini.

Beberapa hari kemudian aku bertemu Goheng lagi, tetap dalam kondisi yang sama. Ia tidak menganggapku ada meski sudah kusapa pun sudah kuberi uang agak banyak yang ditolaknya. Aku jadi curiga. Kurasa ia tidak gila. Lihatlah, kulitnya bersih meski bajunya tampak kumal, tatapan matanya terlihat tidak fokus tetapi sebenarnya ia sedang mengamati sekeliling dengan penuh waspada. Postur tubuhnya yang kurus bukan karena kurang makan. Dan yang paling mencurigakan adalah kukunya yang bersih dan terawat. Coba orang gila mana yang sempat merawat kuku? Pengalamanku malang melintang di dunia sebelah membuatku tidak gampang-gampang percaya kepada orang gila sekali pun. Aku mengikutinya. Tapi rupanya ia punya ilmu menghilang. Dua kali aku kehilangan jejaknya. DI hari ketiga pintu kamarku digedor. Beberapa orang menerobos masuk, seorang diantaranya menodongkan pistol tepat di jidatku, seorang yang lain memelintir tanganku, kakiku dijegal, tubuhku terjerembab. “Kami pernah berteman,” kudengar suara yang kukenal. Dua orang polisi membantuku berdiri, saat itu aku mengenali seorang diantaranya. Goheng.

Malang, 12122023

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah, jadi penasaran.....Keren banget gaya berceritanya

12 Dec
Balas

Terima kasih Pak

13 Dec



search

New Post