I love You full
Satu demi satu tamu undangan mulai berdatangan. Perlahan halaman rumah kakak mulai penuh dengan mobil dan sepeda motor para tamu undangan. Sejak pagi aku sudah berada di sana bersama anak, suami, ibu dan juga ayahku. Hari ini, di rumah kakak ada acara anjangsana keluarga sekolah tempat kakakku bekerja. Acara ini rutin dilaksanakan setiap bulan, bergantian tempatnya dari satu guru ke guru yang lain. Saat ini giliran rumah kakak yang menjadi tempatnya. Aku duduk di teras rumah Pak De yang berada di belakang rumah kakak, berbatas halaman sempit di depan rumah Pak De. Kami berbincang ringan tentang segala hal. Kudengarkan dengan seksama setiap nasehat dan wejangan yang disampaikan oleh Pak De dan ayah.
***
Tepat pukul 09.00 pagi, acara dimulai. Ayah segera beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke rumah kakak. Sebentar kemudian, kudengar ayah menyampikan ceramah di rumah kakak. Dulu, ayahku pernah bekerja juga di sekolah tempat kakak mengajar namun saat ini beliau sudah purna. Hari ini, selain mengundang bapak ibu guru yang masih aktif, kakak juga mengundang bapak ibu guru yang sudah purna, sekalian reuni katanya. Karena ayah termasuk salah satu perintis dan pejuang berdirinya sekolah tersebut, maka hari ini, ayah diminta untuk memberikan sedikit wejangan dan cerita tentang perjalanan berdirinya sekolah tempat kakak bekerja.
***
Dari teras rumah Pak De, kudengar suara ayah yang menggelegar, penuh semangat menceritakan pengalamannya selama mengabdi di sekolah tersebut. Tak terasa waktu terus berlalu. Kudengar ayah menutup ceramahnya dengan mengucapkan salam setelah sebelumnya memberikan beberapa pesan kepada para hadirin yang hadir pada saat itu.
***
Selesai mengucap salam, ayah memberikan mic yang dipegangnya kepada sang pembawa acara yang duduk di sebelahnya. Setelah memberikan mic, ayah menunduk. Diam. Kakak iparku segera mendekati beliau, bermaksud menanyakan apakah ayah lelah atau sakit. Namun tak ada jawaban dari ayah. Beliau hanya diam dengan mata terpejam. Para tamu undangan menjadi gempar. Beberapa orang mengangkat tubuh ayah dan membawanya ke mushola rumah kakak. Begitu penuturan ibu karena waktu itu aku tidak berada di sana.
***
Dengan tergopoh, kakak menghampiriku yang masih duduk di teras rumah Pak De. Dia meminta kami segera melihat ayah. Aku segera berlari ke rumah kakak sambil menggendong si bungsu yang baru berumur tujuh bulan. Kudapati ayah terbaring diam bersama ibu yang duduk di samping ayah sambil membisikkan sesuatu di telinga ayah. Aku menghampiri ayah. Tiba-tiba mataku terasa hangat. Bulir-bulir bening membasahi pipiku.
"Sabar Nduk, ayah telah pergi," kata ibu perlahan.
Tangiskupun pecah. Kupeluk tubuh ayah dengan si bungsu yang masih berada dalam gendonganku. Kugoyang tubuh ayah, kupanggil namanya berulang kali namun ayah hanya terdiam tanpa kata. Aku terus menangis sambil memanggil manggil ayah.
"Tidak. Ayah tidak mungkin meninggal. Tadi pagi ayah sehat-sehat saja. Ayah tidak mungkin meninggal. Cepat panggilkan dokter," pintaku masih dengan memeluk tubuh ayah. Kurasakan seseorang mengambil si bungsu dari gendonganku. Aku terus memeluk tubuh ayah. Tadi pagi, ayah memang masih terlihat sehat. Bahkan beliau yang membonceng ibu dengan sepeda motor ke rumah kakak.
***
Kakak mencoba menghubungi bidan desa, namun sayang beliau sedang tidak berada di rumah. Akhirnya kami membawa ayah pulang dengan menggunakan salah satu mobil tamu. Kami segera mempersiapkan semua keperluan untuk memandikan jenazah beliau. Ketika semua sudah siap, beberapa orang mengangkat jenazah ayah ke sumur. Alangkah terkejutnya kami, ketika akan membuka baju ayah, tiba-tiba saja....
"Pufff...." ayah seperti menghembuskan nafas lagi. Kamipun batal memandikan ayah dan segera membawa ayah ke Rumah Sakit dengan menggunakan mobil salah seorang tamu.
***
Seorang perawat menyambut kedatangan kami di depan pintu UGD lalu membawa ayah masuk. Segera petugas UGD memasang alat rekam jantung ke dada ayah. Terlihat di layar monitor, ada gerakan naik turun beberapa saat lalu...tiiiiing.... tanda itu berubah lurus pertanda tak ada lagi denyutan di jantung ayah.
***
Dengan penuh kesedihan, kami membawa ayah pulang. Kulihat para tetangga dan pentakziyah masih memenuhi halaman rumah kami. Saat itu hujan turun dengan derasnya. Sesekali guntur terdengar bergemuruh di angkasa. Segera kami mandikan jenazah ayah, mengkafani, mensholati lalu mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir.
***
Selamat jalan ayah.
Kini kami hanya bisa menyapamu lewat doa
***
Nganjuk, 27 Sept 2021
I love you full ayah and I miss you
😞😞😞
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Terimakasih Bapak. Salam literasi