NUR IMAMAH DWIYANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Bunuh Aku, Pak Guru

Jangan Bunuh Aku, Pak Guru

Beberapa hari ini Tania terlihat murung. Ia lebih banyak mengurung diri di kamar. Tak seperti biasanya. Dia selalu bercerita tentang apa saja. Bertanya tanpa henti tentang sesuatu yang ingin ia ketahui. Melihat keanehan yang terjadi pada putrinya, Bu Sumi, ibunya Tania merasa sangat khawatir. Hingga pada suatu hari, ketika Tania sedang mengambil air minum di dapur, ibunya memanggilnya.

“Tania, sini Nduk,” panggilnya.

“Ya Bu,” jawab Tania kemudian berjalan mendekati ibunya.

"Tolong, bantu ibu mengupas bawang merah dan bawang putih ini!’ kata ibunya sambil menyodorkan sebuah mangkok berisi bawang merah dan bawang putih kepada Tania.

Tania menerima mangkok itu lalu duduk di atas lincak (dipan yang terbuat dari bambu) yang berada di dekat rak piring. Tanpa berkata apapun, Tania segera mengupas bawang itu. Ibunya duduk di depan Tania, memotong sayuran sambil memperhatikan Tania.

“Nia. Ada apa Nduk?” tanya ibunya hati-hati.

“Tidak apa-apa Buk,” jawab Tania masih tetap menunduk.

“Akhir-akhir ini, Ibu perhatikan kamu tidak seperti biasanya,” kata ibunya sambil menatap lekat pada Tania.

Tania tak menjawab sepatah katapun. Dalam diam, tiba-tiba air matanya meleleh membasahi pipinya.

“Ada apa Nduk? Mengapa kamu menangis?” tanya Bu Sumi, lantas meletakkan sayuran yang dipegangnya dan duduk di samping Tania.

“Cerita pada Ibuk. Ada apa sebenarnya? Siapa tahu Ibuk bisa membantu,” kata Bu Sumi sambil memeluk Tania.

Tania semakin terisak dalam pelukan ibunya. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Kembali terbayang dalam ingatannya, peristiwa beberapa hari yang lalu. Waktu itu, ada tugas dari guru Geografi untuk mengerjakan soal-soal latihan yang ada di buku paket. Ada 50 soal yang harus diselesaikan oleh Tania. Namun ada satu soal yang ia tidak bisa mengerjakannya. Keesokan harinya, Tania mencoba bertanya kepada teman-temannya di sekolah. Namun mereka semua juga sama, tidak bisa mengerjakan soal itu.

Tepat pukul 09.00 WIB, Pak Bram, guru Geografi, masuk ke dalam kelas Tania. Seperti biasa, Pak Bram memulai pelajaran dengan mengajak anak-anak untuk berdoa, kemudian mengabsen siswa. Sesuai kesepakatan, hari ini mereka membahas soal-soal yang ditugaskan oleh Pak Bram beberapa hari yang lalu. Setiap siswa berkesempatan untuk menjawab soal. Tiba pada soal nomor 30, Anis, teman Tania berkesempatan untuk menjawab soal tersebut.

“Benar apa salah jawaban dari Anis?” tanya Pak Bram setelah Anis selesai menjawab.

Tak ada satupun siswa yang menjawab pertanyaan Pak Bram karena memang mereka semua bingung dengan soal ini. Mereka hanya asal menjawab saja. Tidak tahu apakah jawaban mereka benar atau salah sehingga tak satupun yang berani angkat bicara.

“Siapa yang membenarkan jawaban Anis, angkat tangan!” kata Pak Bram kemudian.

Beberapa siswa memberanikan diri untuk mengangkat tangan mereka.

“Siapa yang menyalahkan jawaban Anis, angkat tangan!” kata Pak Bram.

Beberapa siswa yang lainpun memberanikan diri untuk angkat tangan.

“Tania. Mengapa kamu diam saja? Kamu membenarkan atau menyalahkan jawaban temanmu, Anis?” tanya Pak Bram dengan suara keras.

“Maaf Pak, semalam saya belum menemukan jawabannya. Jadi saya tidak berani membenarkan atau menyalahkan,” jawab Tania agak takut.

“Kamu ini. Soal begitu saja tidak bisa. Kok tidak seperti kakakmu. Mereka itu pinter-pinter lo, nggak bodoh seperti kamu. Sini, maju ke depan!” kata Pak Bram dengan wajah agak kesal.

Perlahan Tania berdiri, lalu berjalan ke depan sambil menunduk. Tania memang tak sepandai kakaknya, namun Tania masih mengantongi peringkat kedua di kelasnya.

“Sudah. Kamu berdiri sana di tengah pintu. Biar terlihat oleh teman-temanmu dari lain kelas. Biar terlihat juga dari kantor. Biar ayahmu juga tahu, kalau kamu ini memang bodoh,” kata Pak Bram dengan wajah marah.

Ya...ayah Tania adalah salah seorang TU di sekolah tempat Tania menimba ilmu. Dengan berat hati, Taniapun berjalan menuju ke pintu. Berdiri di sana sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba saja, Tania merasa tubuhnya mengecil. Keciiil sekali. Seolah dia melihat semua orang mengelilinginya. Menunjuk ke arahnya sambil berkata;

“Kamu bodoh!...kamu bodoh!...kamu bodoh!.”

Tania memejamkan matanya. Dia terus menunduk. Hatinya hancur. Pelajaran Geografi begitu lama dirasakan olehnya. Ditahannya bulir-bulir bening yang mulai menggelayut di ujung matanya. Dia terus berdiri di tengah pintu sambil menundukkan wajahnya hingga pelajaran usai.

Waktu terus berlalu. Tania menjalani hidup dalam “kematian”. Kini, dia lebih suka menyendiri, bersama majalah remaja kesayangannya. Majalah yang berisi kumpulan cerpen remaja. Bahkan kadang dia membacanya hingga berulang-ulang. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk mengurangi kesedihan hatinya.

Tak terasa setahun sudah peristiwa menyakitkan itu terjadi. Kini, Tania sudah lulus dari sekolahnya dengan peringkat keenam dari lima ratus siswa. Diapun melanjutkan sekolahnya hingga memperoleh gelar sarjana. Namun, rasa minder terus menghantui dirinya. Dia selalu takut untuk melangkah. Kata "bodoh” masih tersemat dengan "indah" dalam benaknya. Hingga suatu hari, kakaknya mengajaknya untuk belajar menulis. Semula ia ragu untuk menerima tawaran itu. Namun tak henti kakaknya selalu memberikan semangat dan selalu meyakinkannya. Dengan berat hati, akhirnya diapun menerima ajakan kakaknya.

Mulailah Tania belajar menulis. Dia ungkapkan segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Segala resah, gelisah, kecewa semua dituangkannya di atas kertas. Kebiasaan menghayalpun dia tuangkan dalam sebuah cerita. Dia tayangkan beberapa cerita yang ia tulis ke dalam akun medsosnya. Tak disangka, karya-karyanya mendapat apresiasi dari teman dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tania mencoba memberanikan diri untuk mengirim naskah-naskah itu ke meja editor. Tiga buah novel telah dikirimnya. Tinggal beberapa langkah lagi, ketiga novel itu akan berada dalam pelukan Tania.

Kini, Tania terus berusaha bangkit dari "kematiannya". Dia juga berusaha menebar semangat pada orang-orang di sekitarnya karena tak ingin ada Tania Tania lain setelah dirinya. Lidah memang tak bertulang namun tajamnya lidah bisa melebihi tajamnya pedang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post