Kidung Cinta di Hati Cempaka (Bag. 6)
Tiga bulan sudah Roy meninggalkan desa Cempaka. Kembali ke kota untuk melanjutkan aktivitasnya bersama orang tuanya dan juga teman-temannya. Roy kembali berkutat dengan perkuliahan dan berbagai aktivitas di kampus lainnya. Diapun mulai mengerjakan tugas akhir, sehingga hari-harinya terlihat begitu sibuk.
Sementara di desa, Cempaka sangat merindukan Roy. Hanya Roy yang bisa mengerti dirinya. Tak banyak pemuda pemudi desa yang mau bersahabat dengannya karena mereka tidak memahami bahasa Cempaka. Karena itulah, Cempaka lebih senang menyendiri dan mengisi hari-harinya dengan melukis dan membantu orang tuanya.
Pagi itu seperti biasa, Cempaka akan pergi ke sawah bersama kedua orang tuanya. Tiba-tiba, ada sebuah mobil berjalan pelan memasuki halaman rumahnya. Mereka menghentikan langkahnya, menunggu siapakah gerangan pengemudi mobil putih yang memasuki halaman rumahnya.
Mobil itu terus berjalan pelan, lalu berhenti di halaman rumah Pak Johar. Seorang pemuda tampan turun dari mobil itu. Dia mengenakan kaos berwarna biru langit dengan jeans biru dan sepatu kets berwarna hitam menambah ketampanannya. Pemuda itu tersenyum dan berjalan menuju ke rumah Cempaka.
“Assalamualaikum,” ucapnya sambil menyalami Pak Johar, Bu Johar dan Cempaka bergantian.
“Wa alaikum salam. Oh, Nak Roy. Saya kira siapa,” kata Pak Johar setelah menyadari bahwa ternyata yang datang adalah Roy, pemuda yang mencintai anaknya.
“Iya Pak. Ini saya, Roy,” jawab Roy sambil tersenyum.
“Mari, silahkan masuk Nak Roy,” kata Pak Johar sambil meletakkan cangkulnya.
“Maaf Pak. Saya mengganggu nih. Mau berangkat ke sawah ya?” tanya Roy.
“Tidak apa-apa Nak Roy. Mari masuk dulu ke rumah,” kata Pak Johar kemudian membuka pintu dan mempersilahkan Roy masuk ke rumah.
Roy mengikuti Pak Johar masuk ke rumah bersama Bu Johar dan Cempaka.
“Silahkan duduk Nak Roy,” kata Pak Johar.
“Terimakasih Pak,” jawab Roy kemudian duduk di sofa merah tua yang ada di ruang tamu Cempaka sambil tersenyum dan melirik ke arah Cempaka.
Cempaka tersipu malu lalu menundukkan kepalanya. Pak Johar duduk di kursi berhadapan dengan Roy.
“Cempaka, buatkan minum untuk Nak Roy,” kata Pak Johar.
Cempaka mengangguk lalu berjalan ke dapur untuk membuat kopi. Dia merebus air, mengambil gelas dari tempatnya dan mengisinya dengan satu sendok makan gula putih dan satu sendok teh kopi. Setelah air mendidih, cempaka menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian mengaduknya perlahan. Sementara itu, Roy masih berbincang dengan ayah dan ibu Cempaka di ruang tamu.
“Bagaimana kabarnya Nak Roy?” tanya Pak Johar memecah kesunyian.
“Alhamdulillah, baik Pak,” jawab Roy.
“Apa kegiatannya sekarang?” tanya Pak Johar sambil menyulut rokoknya.
“Sekarang, saya sedang mengerjakan skripsi Pak. Mohon doanya, semoga semuanya bisa berjalan dengan lancar dan saya bisa lulus tepat pada waktunya,” jawab Roy.
“Iya Nak Roy. Semoga semuanya lancar dan segera bisa menjadi sarjana,” kata Pak Johar sambil menghisap rokoknya perlahan.
“Aamiin. Ngomong-ngomong, sekarang lagi musim apa Pak?” tanya Roy.
“Lagi musim panen padi Nak Roy. Seminggu lagi, InsyaAllah sawah Bapak juga panen,” jawab Pak Johar.
Saat Roy dan pak Johar sedang berbincang, Cempaka muncul dari belakang, membawa dua gelas kopi lalu menghidangkannya kepada Roy dan ayahnya. Tangannya gemetar ketika meletakkan gelas di hadapan Roy. Pipinya memerah. Roy terus menatapnya hingga membuatnya semakin salah tingkah.
“Silahkan diminum Nak Roy,” kata pak Johar.
“Iya pak,” jawab Roy.
“Sudah ke rumah Pak Bayan?” tanya Pak Johar.
“Belum Pak. Tadi dari kota langsung ke sini. Rencananya, dari sini saya akan mampir ke rumah Pak Bayan,” jawab Roy.
“Berapa hari rencananya di sini?” tanya Pak Johar.
“InsyaAllah, dua hari Pak,” jawab Roy.
“Sebenarnya, kedatangan saya ke sini, selain ingin bersilaturrahmi juga ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu,” lanjutnya.
“Ada apa Nak Roy. Sepertinya penting sekali,” tanya pak Johar penasaran.
“Begini Pak. Beberapa waktu yang lalu, saya sudah menceritakan kepada Papa saya tentang hubungan saya dengan Cempaka. Beliau ingin bertemu dengan Cempaka. Kalau Bapak dan Ibu mengijinkan, Cempaka akan saya ajak ke kota untuk bertemu dengan Papa,” kata Roy.
“Apakah Papanya Nak Roy merestui hubungan kalian?” tanya Pak Johar menyelidik.
“Papa belum memberikan jawaban Pak. Beliau ingin bertemu dengan Cempaka dulu,” jawab Roy.
Sejenak Pak Johar terdiam. Ada rasa khawatir yang menyelinap dalam hatinya. Beliau sangat menyayangi Cempaka dan tak ingin anaknya kecewa karena cinta.
“Bagaimana ya Nak Roy. Saya benar-benar khawatir, jangan-jangan Papanya Nak Roy nanti menolak cempaka,” kata Pak Johar.
“InsyaAllah, Papa akan menerima Cempaka Pak,” jawab Roy.
“Nak Roy yakin?” tanya Pak Johar.
“InsyaAllah Pak,” jawab Roy.
“Baiklah. Tapi Cempaka tidak sendirian pergi ke kota. Dia akan ditemani oleh Intan,” kata Pak Johar.
Intan, adala salah seorang tetangga dekat Pak Johar yang juga satu-satunya pemudi desa yang peduli pada Cempaka. Dia sering menemani Cempaka, membangkitkan semangatnya dan juga sering membantu ketika Cempaka mengalami kesulitan dalam memahami materi sekolahnya. Usianya lebih tua dua tahun dari Cempaka.
“Iya Pak. Tidak apa-apa,” jawab Roy sambil tersenyum lega.
“Silahkan diminum kopinya Nak Roy. Nanti keburu dingin,” kata Pak Johar.
“Iya Pak,” jawab Roy kemudian meraih gelas kopi yang ada di depannya dan meminumnya.
“Kalau begitu saya pamit dulu Pak. Besok pagi, saya akan ke sini lagi untuk menjemput Cempaka,” kata Roy setelah menghabiskan kopi buatan Cempaka yang terasa sangat nikmat.
“Baiklah. Hati-hati di jalan,” jawab Pak Johar.
Roy beranjak dari duduknya, bersalaman dengan Pak Johar, Bu Johar dan Cempaka kemudian berjalan keluar dan melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pak Bayan. Sementara itu, Pak Johar dan keluarganyapun segera berangkat ke sawah. Pak Johar mengambil cangkul yang diletaknya di samping pintu sedangkan Bu Johar mengambil bekal makanan yang diletakkannya di atas meja dan membawanya ke sawah untuk makan siang.
Hari ini, Cempaka tidak melukis. Dia membanu ayahnya mengusir burung-burung yang memakan padi di sawah mereka. Berulangkali dia menarik tali yang dihubungkan antara gubuk dan patok-patok yang ada di sawah dan dihiasi dengan rumbai-rumbai plastik serta bekas kaleng susu yang diisi dengan beberapa kerikil sehingga ketika tali ditarik, rumbai-rumbai plastik tersebut akan bergoyang dan menimbulkan suara gaduh dari kaleng susu berisi kerikil untuk mengusir burung-burung yang memakan padi di sawah.
Pak johar dan istrinya berjalan mengelilingi sawah, melihat padi-padi mereka yang mulai menguning, menunggu untuk dipanen. Setelah puas berkeliling, mereka kemudian berjalan menuju ke gubug dan duduk bertiga bersama Cempaka sambil melihat hamparan sawah dengan padi-padi yang telah menguning.
“Cempaka, boleh Bapak bertanya?” kata Pak Johar sambil menghadap ke arah Cempaka.
Cempaka mengangguk dan melepaskan tali yang dipegangnya.
“Apakah kamu benar-benar mencintai Nak Roy?” tanya ayahnya.
“Iya,” jawab Cempaka malu-malu.
“Tadi pagi, Nak Roy bilang, dia akan mengajakmu ke kota untuk bertemu dengan ayahnya,” kata Pak Johar sambil menatap lekat Cempaka.
“Kapan?” tanya Cempaka dengan wajah berbinar.
“Besok pagi,” jawab Pak Johar masih tetap menatap lekat anaknya. Beliau sangat mengkhawatirkan putra semata wayangnya.
“Boleh, saya pergi dengan Roy?” tanya Cempaka.
“Boleh. Tapi tidak sendiri. Kamu akan pergi ke kota bersama Intan,” jawab ayahnya.
Cempaka mengangguk. Nampak kebahagiaan terpancar dari wajahnya yang cantik. Pak Johar semakin khawatir. Beliau tak ingin melihat anaknya kecewa.
“Apa kamu sudah siap bertemu dengan Papanya Roy?” tanya ayahnya.
Cempaka mengangguk. Pak Johar membelai rambut Cempaka lalu memeluknya. Siang semakin terik. Beberapa petani, naik ke gubug-gubug mereka untuk makan siang atau sekedar beristirahat. Bu Joharpun mempersiapkan makan siang untuk mereka bertiga. Beliau melepas rantang-rantang itu dari susunannya kemudian menatanya di lantai gubug.
“Ayo, kita makan siang dulu,” katanya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas untuk Pak Johar.
Pak Johar melepaskan pelukannya. Mengambil rokok dari saku bajunya kemudian menyulutnya. Menghisapnya pelan lalu menghembuskan asapnya ke udara. Seolah ingin membuang segala rasa yang ada.
“Ayo Pak, kita makan siang dulu,” kata Bu Johar.
“Ibu duluan saja. Bapak belum lapar,” jawab Pak Johar sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Pak, makan dulu. Saya tahu Bapak mengkhawatirkan Cempaka. Ibupun juga sama. Tapi Bapak harus makan. Jangan tunjukkan kekhawatiran itu pada anak kita. Doakan saja semoga tidak akan terjadi apa-apa dengan Cempaka,” kata Bu Johar sambil memandang Pak Johar yang kembali menyulut rokok untuk yang kedua kalinya.
“Iya. Bapak habiskan dulu rokok ini. Kalian makan saja dulu,” jawab Pak Johar sambil terus menghisap rokoknya.
“Bapak tidak makan?” tanya Cempaka.
“Nanti saja. Kamu makan dulu bersama Ibu,” jawab Pak Johar.
“Saya tunggu. Nanti setelah Bapak selesai merokok, kita makan bersama,” kata Cempaka dengan isyarat.
Pak Joharpun akhirnya mengalah. Beliau mematikan rokoknya kemudian bersiap untuk makan bersama istri dan anaknya.
Cempaka tersenyum. Dia mengambil beberapa centong nasi, memberinya sayur dan lauk lalu diberikannya pada ayahnya. Pak Johar menerimanya dan menikmatinya bersama istri dan anaknya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Menarik sekali Bunda
Terimakasih Bunda
Sip. Lanjut.
siap mbak ku
Cuthel cerkaknya? Kok nggak ada kata "bersambung" atau "tamat" Salam sehat selalu Bu Nur.
o iyo. hehe. lupa pak Isak. Masih bersambung itu. Salam sehat dan sukses juga buat Pak Isak