NUR IMAMAH DWIYANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kidung Cinta di Hati Cempaka (Bag. 8)

Kidung Cinta di Hati Cempaka (Bag. 8)

“Jam berapa Bu?” tanya Pak Johar yang sedang duduk-duduk di teras bersama istrinya.

“Sebentar saya lihat dulu,” jawab Bu Johar lalu berdiri dan melihat jam dinding yang tergantung di tembok ruang tamu.

“Jam setengah lima Pak,” katanya, lalu kembali duduk di samping suaminya pada kursi rotan yang sudah agak kusam.

“Kok Cempaka belum pulang ya Bu?” gumam Pak Johar lirih.

“Sebentar lagi mungkin Pak. Jarak kota ke sini kan jauh,” jawab Bu Johar mencoba menenangkan suaminya walau sebenarnya dia sendiri juga khawatir.

“Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Cempaka ya Bu,” kata Pak Johar sambil menyulut rokoknya.

“Iya Pak. Semoga Cempaka baik-baik saja,” jawab Bu Johar.

“Bapak benar-benar khawatir Bu,” kata Pak Johar setelah menghisap rokoknya lalu mengepulkan asapnya pelan ke udara.

“Naah itu, Cempaka datang Pak,” ucap Bu Johar sambil tersenyum lega saat melihat ada sebuah becak yang memasuki halaman rumahnya.

“Kok mereka naik becak Bu. Mana Roy?” tanya Pak Johar lalu beranjak dari duduknya.

“Iya ya Pak,” jawab Bu Johar.

Becak itu berhenti di halaman rumah Cempaka. Intan dan Cempaka turun dari becak. Cempaka berlari masuk ke dalam rumah, sementara Intan membayar ongkos becak lalu berjalan menemui Pak Johar yang berdiri di teras dengan wajah penuh tanda tanya.

“Cempaka, ada apa Nak?” tanya Bu Johar sambil mengejar Cempaka yang berlari ke dalam kamar. Menutup pintu kamar lalu menguncinya dari dalam.

“Tok...tok...tok. Cempaka, ada apa sayang?” tanya Bu Johar sambil mengetuk pintu kamar Cempaka.

“Cempaka. Buka pintunya,” kata Bu Johar yang masih berdiri di depan pintu kamar Cempaka.

Cempaka tak menjawab. Dia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Air matanya kembali mengalir. Hatinya benar-benar sakit. Kembali terbayang hardikan papa Roy. Tatapan mata keluarga Roy. Dia benar-benar merasa dihina, dipermalukan di hadapan keluarga Roy. Sementara itu, Bu Johar kembali ke depan menjumpai Intan yang masih duduk di ruang tamu bersama Pak Johar, suaminya.

“Ada apa Tan? Mengapa Cempaka menangis?” tanya Bu Johar sambil duduk di depan Intan.

Intanpun menceritakan kejadian yang dialami oleh Cempaka selama di kota bersamanya.

“Tuh, kan Bu. Apa yang bapak khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan,” kata Pak Johar sambil menoleh pada istrinya.

Bu Johar diam. Matanya berkaca-kaca. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh putrinya saat ini. Intan menggeser duduknya mendekati Bu Johar. Ia memeluk Bu Johar.

“Sabar ya Bu,” kata Intan.

Bu Johar tak menjawab. Air mata meleleh membasahi pipinya yang mulai keriput. Hatinya berontak. Mengapa banyak orang yang memandang sebelah mata kepada anaknya. Apa salahnya?

“Bu, Pak. Saya pulang dulu ya. Sudah hampir maghrib. Biarkan dulu Cempaka sendiri. Biarkan dia menenangkan dirinya dulu,” kata Intan kepada Pak Johar dan Bu Johar.

“Iya Tan. Terimakasih telah mengantar dan mendampingi Cempaka selama di kota,” jawab Pak Johar.

“Sama-sama Pak. Saya pamit dulu. Assalamualaikum,” kata Intan lalu beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan rumah Cempaka.

Pak Johar dan Bu Johar berdiri, masuk ke dalam rumah lalu mengunci pintunya dari dalam.

Malam semakin kelam. Sekelam hati Cempaka saat itu. Badannya terkulai lemah tak berdaya. Sudah seminggu ini, Cempaka tak menyentuh makanan sedikitpun. Dia hanya diam membisu. Keceriaannya tiba-tiba hilang ditelan waktu. Hal ini membuat ayah dan ibunya semakin khawatir.

“Tok...tok...tok,” Bu Johar kembali mengetuk pintu kamar Cempaka.

Tak ada jawaban. Bu Johar mencoba mendorong pintu kamar Cempaka. Ah, tidak dikunci. Perlahan, Bu Johar masuk ke dalam kamar anaknya. Cempaka terbaring di atas ranjang. Matanya sembab. Wajahnya pucat. Tubuhnya terkulai lemah. Bu Johar meletakkan segelas susu yang di bawanya di atas meja belajar lalu duduk di samping Cempaka. Membelai rambut Cempaka yang terlihat kusut.

“Sayang, kita makan dulu yuk,” ajaknya sambil membelai rambut Cempaka.

Cempaka tak menjawab. Pandangannya kosong, menatap ke langit-langit kamarnya.

“Sayang, kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus makan. Ibu ambilkan ya?” tanya Bu Johar sambil menggenggam tangan Cempaka.

Cempaka bangkit. Ia berusaha duduk dan bersandar di dinding kamarnya. Menatap ibunya lekat-lekat.

“Ibu. Mengapa aku bisu? Mengapa aku tidak bisa bicara seperti mereka?” tanya Cempaka sambil mengisyaratkan kata. Air matanya kembali meleleh membasahi pipinya. Tangisnya kembali meledak. Ia kembali terisak hingga air matanya membasahi bantal guling yang dipeluknya.

Bu Johar memeluk Cempaka erat-erat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan air matanya yang hendak tumpah. Dibelainya rambut Cempaka dengan penuh kasih. Dia mengambil bantal guling dari pelukan Cempaka, meletakkannya di samping Cempaka. Lalu dia duduk di depan Cempaka sambil menggenggam tangan anak semata wayangnya. Dipandangnya Cempaka dengan penuh kasih.

“Sabar sayang. Ini ujian untuk kita. Allah pasti punya rencana yang sangat indah untukmu,” jawab Bu Johar sambil menggenggam tangan Cempaka.

“Allah tidak adil,” kata Cempaka di sela isak tangisnya.

“Sayang. Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Allah itu Maha adil. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk hambaNya,” jawab Bu Johar dengan lembut.

“Tapi Papa Roy benci padaku karena aku bisu,” kata Cempaka sambil memandang ibunya.

“Sabar. Ibu yakin, suatu hari nanti pasti akan ada orang yang bisa menerima keberadaan kita. Selama kita selalu berbuat baik, Allah pasti akan mengirimkan orang yang baik pula untuk kita,” jawab Bu Johar sambil mengusap air mata Cempaka yang terus berlinang.

“Kita makan dulu yuk. Tadi ibuk masak sayur lodeh kesukaanmu,” lanjut Bu Johar sambil membelai rambut Cempaka.

Cempaka menggeleng.

“Cempaka. Kamu tidak boleh seperti ini. Ini namanya menyiksa diri. Allah tidak suka. Kamu harus kuat. Tunjukkan pada mereka bahwa kamu bisa seperti mereka supaya mereka tidak merendahkanmu lagi,” kata Bu Johar.

Cempaka terdiam. dia melepaskan tangannya dari genggaman ibunya. Menarik selimut lalu membungkus tubuhnya dengan selimut berwarna merah tua miliknya.

“Kalau tidak mau makan, minum susu dulu ya. Ini, tadi Ibu buatkan susu untuk kamu,” kata Bu Johar sambil menyodorkan segelas susu yang telah dibuatnya kepada Cempaka.

Cempaka menerima segelas susu yang diberikan oleh ibunya, meminumnya lalu merebahkan kembali tubuhnya di atas kasur. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal berwarna merah tua lalu berusaha memejamkan matanya.

Bu johar membelai rambut Cempaka, mencium keningnya lalu beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan Cempaka seorang diri di kamar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

09 Jun
Balas

Terimakasih Bapak. salam literasi

09 Jun

Keren cerpennya, Bu. Salam sukses selalu.

09 Jun
Balas

Terimakasih Bunda. sukses juga untuk panjenengan

09 Jun

Mengharukan biru. Semoga jadi buku.

09 Jun
Balas

Aamiin

09 Jun



search

New Post