NUR IMAMAH DWIYANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Suamiku Sayang, Suamiku Malang

Suamiku Sayang, Suamiku Malang

Bergegas aku berjalan ke lantai dua, menuju ke ruang praktik dokter Roy. Perlahan, kubuka pintu ruang praktek dokter Roy yang masih sepi, lalu aku mencatat nama suamiku pada buku kecil yang telah dipersiapkan di atas meja. Hari ini aku mendapat nomer 26. Sejenak kupandangi beberapa angka yang sudah ada di atas angkaku. Entah jam berapa orang-orang itu berangkat dari rumah hingga mereka bisa bertengger di atas dengan selamat. Setelah puas melihat angka-angka itu, akupun segera keluar dari ruang praktek dan duduk di kursi yang berada di depan ruang praktek dokter Roy. Masih sepi. Belum banyak pasien yang datang. Atau mungkin banyak yang tidak berani berobat ke rumah sakit karena takut dengan covid. Entahlah.

Sambil mengisi waktu, kuambil buku berwarna Pink dari dalam tasku. Buku warna cinta yang berisi cerita romansa. Kubaca kalimat demi kalimat hingga akupun larut dalam alur cerita yang ada. Tak terasa, dua jam lebih aku duduk di sudut ruangan itu hingga akhirnya nama suamiku dipanggil. Segera aku berdiri dan berjalan menuju ke ruangan dokter.

“Tumben,” batinku.

Sejak pandemi covid, bagi pasien lama tak ada lagi acara konsultasi dengan dokter. Mereka hanya datang, lalu mengambil resep, membayarnya di apotik dan pulang. Namun entah mengapa, hari ini tiba-tiba saja dokter memanggilku. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, akupun mulai berkonsultasi tentang penyakit suamiku. Walau sebenarnya aku sudah sering berkunjung ke rumah “Simbah G” namun rasanya tak puas jika tak mendengar penjelasan langsung dari dokter yang menangani suamiku.

Sebenarnya, beberapa tahun yang lalu, pernah juga aku berkonsultasi tentang penyakit suamiku pada dokter Roy. Namun entah mengapa aku selalu merasa tak yakin dan berusaha menepis penjelasan dari dokter Roy. Aku berkeyakinan, bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya karena Allah menurunkan penyakit dan juga menurunkan obatnya.

“Permisi Dok,” kataku sambil membungkukkan badan.

“Mari Bu. Silakan duduk,” dokter Roy mempersilakan aku duduk di kursi yang berada di hadapannya. Sejenak beliau memandang ke arahku.

“Bagaimana kondisi suaminya?” tanyanya

“Tremornya semakin parah Dok. Badannya kaku, sulit berjalan, tidak bisa memakai baju, sulit menelan dan sering terbatuk-batuk tanpa sebab,” jawabku.

“Obatnya tetap diminum kan?” tanya dokter Roy sambil memandangku.

“Iya Dok,” jawabku.

Dokter Roy diam. Kembali jari jemarinya menuliskan sesuatu pada kertas resep yang ada di hadapannya.

“Obatnya kemarin kapsul sama tablet ya?” tanyanya.

“Iya Dok. Tapi kok tidak ada perubahan sama sekali ya Dok?” tanyaku.

“Parkinson memang seperti itu. Semakin lama tubuhnya akan semakin kaku, karena yang diserang adalah bagian otak yang berhubungan dengan saraf motorik,” jawabnya.

“Sebenarnya apa sih Dok, penyebab penyakit parkinson ini?” tanyaku penasaran.

“Penyakit parkinson ini terjadi karena kelainan genetik. Apakah ada orang tuanya, kakek-neneknya atau mungkin saudaranya yang menderita sakit seperti ini?” tanya dokter Roy.

“Tidak ada Dok,” jawabku.

“Ini sudah lama ya sakitnya?” tanya dokter Roy sambil melihat data pasien yang ada ditangannya.

“Iya Dok. Apakah tidak ada obat yang bisa menyembuhkan suami saya Dok?” tanyaku.

“Tidak ada. Parkinson ini belum ada obatnya. Tapi dengan meminum obat yang saya berikan itu, akan membantu pasien untuk tetap bisa melakukan aktifitas sehari-hari,” jawabnya.

“Berarti penyakit suami saya tidak bisa disembuhkan ya Dok?” tanyaku.

“Iya. Semakin lama nanti kondisinya akan semakin memburuk,” jawab dokter Roy.

Aku mencoba tersenyum. Mencoba ikhlas atas segala apa yang baru saja aku dengar. Sementara itu dokter Roy menuliskan resep untuk suamiku.

“Ini, saya beri resep. Silakan diambil di apotik ya,” katanya sambil menyodorkan secarik kertas resep kepadaku.

Kuterima resep dari dokter Roy dan segera kutinggalkan ruangan praktek itu setelah mengucapkan terima kasih. Bergegas aku berjalan ke apotik untuk menebus obat. Sambil menunggu obat, kumainkan gawaiku sekedar untuk mengusir gundah yang tiba-tiba datang menyapa. Setelah beberapa lama menunggu, tiba juga giliranku menerima obat dari petugas apotik. Kuucapkan terima kasih lalu aku bergegas menuju ke tempat parkir dan pulang dengan mengendarai motor merah kesayanganku.

Sepanjang perjalanan, kata-kata dokter Roy terus menggema di telinga. Semakin kucoba mengusir suara itu, semakin dia menggoda rasa. Bulir-bulir beningpun mulai meluap tanpa bisa kubendung lagi, hingga membuat pandanganku terasa kabur. Aku tahu, Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah untukku. Namun aku tak kuasa melihat penderitaan yang dialami oleh suamiku. Dengan sekuat tenaga, kuhapus air mata yang terus meleleh. Aku harus kuat, demi suamiku, anak-anakku dan juga ibuku.

Nganjuk, 27 Agustus 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ya Allah, haru kisahnya. Smg sang istri kuat dan sehat selalu

28 Aug
Balas

Aamiin. terimakasih doanya Bunda. Semoga Bunda Erna sekeluarga juga selalu sehat

28 Aug

Semoga diberikan kesabaran dan keikhlasan.

29 Aug
Balas

Aamiin

30 Aug

Segala penyakit pasti ada obatnya. Betul bu. Semoga yang sedang sakit segera pulih. Mantap tulisannya, adinda.Salam literasi

27 Aug
Balas

Aamiin. salam literasi

27 Aug

Sudah saya follow ya bu

27 Aug
Balas

terimakasih Bund. sudah saya follback

27 Aug



search

New Post