Nurma Inna

Nama saya Nurmainah. Tinggal di sebuah kota kecil bernama Panyabungan. Saat ini mengajar di SMP dan SMA IT Al Husnayain. Jadi guru adalah takdir saya. Menulis a...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bullying, Potret Buram Sekolah
Sumber Photo: zenius.net

Bullying, Potret Buram Sekolah

Tantangan Menulis Hari ke-34 #TantanganGurusiana

Akhir-akhir ini dunia maya dihebohkan dengan kasus bullying yang dilakukan oleh tiga orang siswa kepada seorang siswi berkebutuhan khusus. Dari video yang beredar terlihat penganiayaan itu dilakukan di dalam kelas. Tiga orang siswa secara bergantian menendang si siswi yang hanya diam tak berdaya. Belakangan diketahui korban adalah anak berkebutuhan khusus. Sebagai akibatnya korban mengalami trauma dan enggan bersekolah.

Tanggapan masyarakat pun seragam, menyesalkan sampai dengan mengutuk para pelaku yang masih duduk di bangku SMP. Bahkan Bupati Purwerejo, lokasi di mana kasus ini terjadi, menyatakan bahwa perbuatan para korban tidak bisa ditolerir. Gubernur Jawa Tengah sendiri merekomendasikan agar sekolah tersebut ditutup dengan alasan sekolah yang hanya memiliki 21 siswa itu dianggap tidak mempunyai kapasitas mengelola sekolah dengan adanya kasus ini. Dalam bahasa Indonesia bullying sendiri dimaknai sebagai penindasan, perundungan, perisakan, dan pengintimidasian dengan menggunakan kekerasan, ancaman atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain (Wikipedia). Bisa disimpulkan bahwa Bullying tidak hanya tindakan fisik seperti memukul, namun juga bersifat verbal seperti menama-namai dengan tujuan mengejek.

Kasus bullying di sekolah memang kerap terjadi. Menurut situs StopitSolution, di tahun 2019 terdapat 280.000 siswa yang dibully setiap hari di Amerika Serikat. Ini didasarkan pada sebuah penelitian yang dilakukan UCLA. Situs yang sama juga meliris data yang bersumber dari Bullying statistics.org bahwa di 14 persen siswa menengah pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri karena menjadi korban bully, dan hampir 7 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Di Jepang, menurut situs NHK, pada tahun 2017 kasus bullying di sekolah mencapai lebih dari 320.000 kasus. Angka ini mengalami kenaikan drastis hampi100.000 dari tahun 2015. Dari 244 kasus bunuh diri yang dilakukan pelajar, 10 diantarya dilakukan karena menjadi korban bullying. Bukan tidak mungkin dari 132 kasus yang tidak diketahui alasannya sebagian ada karena faktor bullying.

Di dalam negeri sendiri menurut KPAI (JawaPos.com), kasus-kasus pelanggaran hak anak sepanjang Januari hingga April 2019 didominasi oleh bullying dan kekerasan fisik. Kasus viral bullying di sekolah hanya pucuk Gunung es dari apa yang terjadi di lapangan.

Data dan fakta ini tentu memprihatinkan. Sekolah yang diharapkan sebagai tempat menyemai dan memupuk karakter yang bermoral justru menjadi tempat sebagian besar praktek bully. Ini tentu bisa dipahami karena di sekolahlah siswa dengan berbagai latar belakang sosial ekonomi serta psikologis bertemu dan berinteraksi hampir sepanjang hari. Namun sangat mengkhawatirkan apabila sekolah berubah tempat yang aman untuk melakukan bully. Seperti kasus anak SMP di atas, berdasarkan keterangan dari kepala sekolah kejadian berlangsung saat pergantian antar pelajaran. Bahkan menurut keluarga bullying ini sudah sering dikeluhkan oleh korban selama empat bulan terakhir sebelum viral di media sosial.

Meski sekolah menjadi tempat terjadinya sebagian besar bullying, namun menyalahkan dan melemparkan tanggung jawab pada sekolah tidaklah menyelesaikan masalah. Perilaku bullying tidak muncul secara serta merta. Ia dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan pola asuh, yang semua itu berada diluar kendali sekolah. Oleh karena itu orang tua sebagai sekolah pertama bagi anak serta lingkungan mempunyai andil paling besar pada tumbuhnya perilaku bullying ini. Kendati demikian, sikap awas dari sekolah bisa meminimalisir kasus dan mencegah jatuhnya korban.

Mengingat dampak bullying yang sangat destruktif, sudah saatnya pemerintah dalam hal ini Kemendibud membuat program atau gerakan anti bullying yang lebih terstruktur dan massif. Selama ini belum terdengar gebrakan yang berarti dari Kemendikbud terkait hal ini. Kalaupun ada gaungnya sangat kecil, kalah oleh hingar bingar gerakan literasi yang secara serius ditangani. Padahal tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Di dalamnya termasuk manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur.

Oleh karena itu diperlukan kesadaran bersama bahwa bullying di sekolah adalah permasalahan serius. Dengan demikian upaya sungguh-sungguh dan sinergi berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menekan angka bullying, yang selama ini telah menjadi potret buram sekolah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post